Jakarta – Cakranusantara.net | Secara umum, pengertian “nien bis in idem” menurut Hukum pedia adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan, kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya, berlaku secara umum untuk semua ranah hukum.
Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas “ne bis in idem” ini dapat kita temui dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni, seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Asas ne bis in idem ini berlaku dalam hal seseorang telah mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) lihat Pasal 75 ayat [2] KUHP.
Selain itu, dalam ranah hukum perdata, asas “ne bis in idem” ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”), apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem.
Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya (dikutip dari buku “Hukum Acara Perdata”, M. Yahya Harahap, S.H., hal. 42)
Terkait dengan pengujian undang-undang, dapat juga kita temui dalam Pasal 60 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diterapkan pula asas “ne bis in idem” yaitu terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Pelaksanaan asas ini, ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas “Ne bis In Idem”.
Dalam surat edaran tersebut Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, Bagir Manan, mengimbau para ketua pengadilan untuk dapat melaksanakan asas tersebut dengan baik. Demi kepastian Hukum, bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda.
Jadi, suatu gugatan dapat dinyatakan “ne bis in idem”. Dalam hal itu, sebelumnya telah ada putusan berkekuatan hukum tetap yang memutus perkara, waktu dan tempat kejadian yang sama (tempus dan locus delicti-nya sama) dan putusan tersebut telah memberikan putusan vrijspraak, onstlag van alle rechtsvolging atau pemidanaan veroordeling terhadap orang yang dituntut.
Adapun tujuan atau dasar filosofis dari “Nie bis in idem” ini adalah untuk melaksanakan asas Legalitas atau kepastian hukum sebagai satu asas yang dilaksanakan dalam perundang-undangan di semua negara yang menganut sistim hukum Kontinental dengan prinsip “Ius Civile atau Civil Law” yaitu prinsip yang mengutamakan hukum tertulis yang diatur dalam suatu undang-undang.
Dari “Civil law” ini lahir beberapa teori hukum “al teori Legisme” yang berpendapat Hukum adalah Undang-undang. Tidak ada hukum diluar Undang-undang. Kepastian hukum menjadi dasar yang kuat dalam pelaksanaan “Nie bis in idem” ini, melalui kepastian hukum ini di harapkan tercipta suatu keadilan hukum.
Tidak boleh seseorang yang sudah dihukum atas perbuatannya setelah terpidana bebas selesai menjalani hukumannya, ditangkap lagi dan diadili atas perbutan yang baru diketahui oleh penyidik saat terpidana di penjara, dan tindak pidana yang ba disidik oleh penyidik dan terpidana ditangkap setelah selesai menjalani pidananya dengan macam2 alasan penyidik utk membenarkan pemidanaan yang kedua bagi si terpidana.
Apapun alasannya tetap tidak boleh selama tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana itu adalah sebelum dia diadili. Jika masih ada tindak pidana yang dilakukan belum disidik maka tindak pidana tsb masuk dalam Concursus berlanjut atau Concursus Realis yang hukumannya adalah dijatuhkan pada satu tindak pidana yang terberat. Jadi dihitung dari tempus delictinya.
Dalam KUHP, Nie bis in idem diatur dalam pasal 76 KUHP bahwa Pengadilan tidak boleh memutus dua kali dalam perkara yang sama. Dan ini adalah perintah Undang-undang, jadi harus dilaksanakan. Contoh sederhana.
A pada malam hari tanggal 24/12/2021 mencuri di rumah B, selain mengambil barang, ia memperkosa nyonya rumah dan keluar dari rumah ditengah jalan ketemu dengan musuhnya dan menusuk si C musuhnya itu hingga meninggal. Penyidik menetapkan tsk melanggar pasal 363 KUHP pencurian berat Ancaman Pidana (AP) 7 tahun dan melanggar pasal 285 KUHP pemerkosaan AP 12 tahun, serta melanggar pasal 338 KUHP pembunuhan AP 15 thn. Jika dijumlah total hukuman adalah 34 tahun.
Sementara penyidik tahu kalau maksimal pidana penjara yang boleh dijatuhkan hanya 20 tahun penjara. Penyidik merasa keenakan pelaku ini kalau hanya diancam 20 tahun penjara. Karena itu, sengaja disimpan atau tidak disidik atas pembunuhan pada C sehingga yang didakwakan dalam persidangan dalam bentuk Concursus Relis dalam hal ini dijatuhkan pidana adalah terberat yaitu Pemerkosaan pasal 285 KUHP 12 tahun penjara, ditambah 1/3 = 16 tahun, bukan 1/3 dari pencurian beratnya pasal 363 KUHP, dengan harapan setelah pelaku terpidana selesai menjalani pidananya ini, dia ditangkap dan di pertanggung jawabkan melakukan pembunuhan pada C musuhnya itu pasal 338 KUHP 15 tahun.
Sebenarnya, perbuatan pembunuhan ini harus dimasukkan dalam Concursus Realis, tapi sengaja ditinggalkan supaya hukumannya tidak digabung dalam concursus realis. Kembali ke laptop, jika bisa lolos atau P21 di kejaksaan atas dakwaan pembunuhan pada C, maka PN yang mengadilinya akan memutuskan dengan putusan lepas dari tuntutan hukum ( Onslag ) karena masuk asas Nie bis in idem.
2. Tentang Daluwarsa. Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) daluarsa merupakan salah satu alasan hapusnya kewenangan menuntu ext dan menjalankan hukuman. KUHP mengenal adanya dua macam daluarsa yaitu daluarsa untuk menuntut dan daluarsa untuk menjalankan hukuman pidana. Pengertian dari penuntutan adalah sebagaimana diatur Pasal 1 angka 7 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
Selain berwenang melakukan penuntutan sebagai penuntut umum, jaksa juga berwenang melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum (Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP).
Contoh : saat berlakunya daluwarsa.
Bunyi ketentuan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan yaitu:
Pasal 372
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Sedangkan, penggelapan dengan pemberatan yang diancam dengan hukuman pidana yang lebih berat dari Pasal 372 KUHP antara lain:
a. Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun (Pasal 374 KUHP).
b. Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun (Pasal 375 KUHP)
Secara umum, daluwarsa penuntutan dan daluarsa menjalankan hukuman pidana terjadi karena tertuduh/ terpidana meninggal dunia (Pasal 77 jo. Pasal 83 KUHP).
Apabila pelaku tindak pidana masih hidup, daluarsa untuk melakukan penuntutan tindak pidana penggelapan maupun penggelapan dengan pemberatan adalah sesudah 12 tahun (lihat Pasal 78 ayat [1] angka 3 KUHP). Jika pada saat melakukan tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan pelaku belum berusia 18 tahun, maka daluarsa penuntutan menjadi sesudah 4 tahun (lihat Pasal 78 ayat [2] KUHP).
Perhitungan daluarsa penuntutan tersebut mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan (Pasal 79 KUHP). Jadi, apabila dalam kurun waktu yang telah disebutkan setelah dilakukan tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan, penuntut umum tidak melakukan penuntutan, maka hapuslah kewenangan untuk menuntut si pelaku (strafsactie). Apabila kemudian penuntut umum melakukan penuntutan, daluarsa penuntutan dihentikan dan dimulai tenggang daluarsa baru (Pasal 80 KUHP).
Sebagai contoh akan kami jelaskan sebagai berikut:
A berusia 21 tahun melakukan penggelapan uang kantor pada 1 April 2003, maka jika sampai sesudah 2 April 2015 tidak dilakukan penuntutan, maka kewenangan penuntut umum untuk menuntut A menjadi hapus. Ternyata, pada 17 Juli 2005 A dituntut oleh Penuntut Umum atas penggelapan yang telah dilakukannya, maka tenggang daluarsa dihentikan.
Selain daluarsa penuntutan, diatur pula mengenai daluarsa menjalankan hukuman pidana. Karena yang Saudara tanyakan adalah tindak pidana penggelapan, maka daluarsa menjalankan hukuman pidana adalah sesudah 16 tahun dan mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan (lihat Pasal 84 ayat [2] jo. Pasal 85 ayat [1] KUHP).
Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa baru, dalam hal ini adalah sesudah 16 tahun (Pasal 85 ayat [2] KUHP).
Untuk menjelaskan hal ini, kita kembali menggunakan perumpamaan yang telah dijelaskan sebelumnya ;
Jika A yang telah dituntut di pengadilan kemudian diputus hakim hukuman penjara selama 4 tahun pada 10 Agustus 2005 dan putusan sudah dapat dijalankan pada 18 Agustus 2005, maka mulai 19 Agustus 2005 sampai dengan 19 Agustus 2021 berlakulah tenggang daluarsa menjalankan hukuman pidana dan dalam hal ini penuntut umum sebagai eksekutor putusan hakim harus memasukan A ke penjara. Ternyata pada 20 November 2005, A melarikan diri dari penjara, maka dalam hal ini mulai 21 November 2005 sampai dengan 21 November 2021 berlakulah masa tenggang daluarsa yang baru untuk menjalankan hukuman pidana. Masa tenggang daluarsa ini akan berhenti setelah A ditangkap kembali dan dimasukan ke penjara.
Jadi daluarsa menuntut tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan adalah sesudah 12 tahun (4 tahun jika pelaku saat melakukan belum berumur 18 tahun) mulai hari sesudah pelaku melakukan tindak pidana. Sedangkan, masa daluarsa menjalankan hukuman pidana untuk tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan adalah sesudah 16 tahun dan mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.
(Rohman)
Komentar