oleh

Mitode Hukum Pembuktian

Jakarta – Cakranusantara.net | Pengantar metode Hukum Pembuktian, Hukum Pembuktian memberikan pemahaman agar kita dapat memahami mengenai proses pemeriksaan pidana dari tingkat penyidikan sampai pada tingkat persidangan dengan menggunakan analisis yuridis normatif dan yuridis empiris. Dengan pembuktian dalam proses di Pradilan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencari keadilan dan kepastian hukum, sehingga dengan hukum pembuktian mengedepankan keadilan di atas kepastian hukum, sehingga tercapai tujuan lebih jauh dari setiap sistem peradilan. Hukum pidana dalam pembuktian memberikan pemahaman dalam proses pemeriksaan dari Pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan? Mata dalam hukum Pidana pembuktian memberikan Ilmu pengetahuan tentang kajian proses pemeriksaan perkara pidana mulai dari tingkat penyidikan sampai tingkat persidangan.

  1. METODE PENEMUAN FAKTA SECARA AQUSATOIR DAN INQUSATOIR

Kajian ini tentu kita akan memahami tentang dua persoalan yang terkait dengan motode dalam proses menggali dan menemukan adanya fakta sebuah peristiwa dengan menggunakan dua motede yaitu aqusatoir dan inqusatoir. Hal ini tentu merupakan cara tersendiri dalam menggali dan menemukan fakta yang kemudian berakhir pada ditemukannya sebuah peristiwa pidana, lalu adanya si pelaku itu sendiri. Akan cukup menarik ketika kemudian metode ini bisa dijalankan dengan baik oleh pihak yang memiliki kewenangan, dan tidak boleh menyalahi prosedural hukum yang berlaku sebagaimana melalui KUHAP nya yang telah mengaturnya dengan benar.

Sebagai langkah awal tentu menjadi bagian penting untuk memahami materi adalah bagaimana kemudian bisa mendefinisikan satu persatu dari dua istilah tersebut, agar tidak keliru dalam menerapkan dalam tataran praktek dan sehingga persoalan menjadi jelas, yang pada prinsipnya mencari dan menemukan sebuah peristiwa pidana tidak timbul persoalan baru, apalagi kemudian sampai melanggar hukum.

Berbicara mengenai metode ini, tentu di setiap negara memiliki cara yang berbeda-beda, antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Termasuk negara yang menggunakan system Anglo Amerika dan Eropa Continental. Pendekatan dengan metode ini sesungguhnya harus bisa memberikan kejelasan sebuah fakta sekalipun tentu berbeda antara metode yang satu dengan metode lainnya. Kemudian untuk memberikan jawaban tentang bagaimana atau metode mana yang bisa digunakan atau tepat bisa dijadikan sebuah ukuran dalam penerapan system metode tersebut. Hal ini, keduanya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, kiranya kita mencoba untuk memahami dari masing-masing pengertian metode tersebut yang setidaknya bisa memberikan suatu gambaran dan bisa memberikan penjelasan tentang pengertian dari dua metode tersebut.

Inquisatoir merupakan arti kata yang bisa diartikan sebagai bentuk pemeriksaan. Yang mana hal ini menganggap bahwa tersangka merupakan objek, yang harus diperiksa berhubung dengan suatu pendakwaan. Dan pemeriksaan ini merupakan pendengaran si tersangka tentang dirinya.

Aquisatori merupakan bentuk pemeriksaan didalam persidangan, dan kebebasan dalam memberikan dan mendapatkan penasehat hukum, hal ini menunjukan bahwa tersangka dipandang sebagai subjek dan berhak memberikan keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan. Penting untuk dipahami dalam metode proses ini adalah pihak-pihak yang ada dalam metode aqusatoir tentunya adalah terdakwa, penasehat hukum, hakim, penitra dan jaksa.

Perbedaan pemeriksa Inqusatoir terletak pada tempat pemeriksaannya. Inqusatoir diperiksa ditingkat penyidikan, tersangka dijadikan sebagai objek, sedangkan Penasehat Hukumnya bersifat pasif. Saksi tidak disumpah, sehingga sumpah disini bukan merupakan alat bukti yang sah kecuali dalam Pasal 116 ayat 1 KUHP. Sedangkan Aquastoir pemeriksaan ditingkat pengadilan, terdakwa dijadikan sebagai subjek, penasehat hukum bersifat pasif, saksi disumpah, sehingga sumpah merupakan alat bukti yang sah, sesuai dengan Pasal 160 ayat 3 KUHP.

Dengan demikian bahwa Inquisatoir itu sendiri dianut dalam pasal 164 HIR diantaranya adalah:

a) Bukti surat; dalam bukti surat ini dalam pembuktiannya tentu harus berhubungan dengan suatu peristiwa, sehingga alat bukti surat ini bisa menjadi kekuatan dalam pembuktian. Dan yang terpenting dalam pembuktian alat bukti berupa surat ini tentu harus memiliki keabsahan, dan dalam konteks kasus pidana misalnya bisa berupa contoh hasil dari otopsi atau hasil dari keterangan oleh seorang ahli dalam bidang keilmuan tertentu yang dalam keterangannya disampaikan di luar pengadilan. Sehingga kemudian jika segala sesuatu tidak ada atau tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau sekalipun memuat tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung sebuah pemikiran, maka tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.

b) Bukti saksi; sehubungan dengan alat bukti berupa keterangan saksi ini, tentu memiliki kekuatan dalam pembuktian ketika saksi itu terpenuhinya syarat sah nya seorang saksi, yang dalam ketentuan KUHAP adalah saksi harus mendengar, melihat dan mengalami. Ketentuan ini harus menjadi dasar utama seorang saksi yang bisa dipertanggungjawabkan keterangannya ketika disampaikan didalam persidangan di depan Majelis Hakim. Pasal 1 angka 26 KUHAP memberikan ketentuan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Ini yang merupakan prinsip dasar ketentuan alat bukti sehubungan dengan saksi.

c) Sangkaan; Persangkaan pada intinya merupakan bentuk kesimpulan oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum kearah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum (Pasal 1915 KUHPerdata), Pasal 173 HIR, Pasal 310 RBg. Kamudian persangkaan juga diaritkan uraian hakim, dari fakta yang terbukti menyimpulkan fakta yang tidak terbukti. Sekalipun memang telah ditegaskan dalam undang–undang bahwa persangkaan itu merupakan bagian dari alat pembuktian, para ahli hukum tidak puas dengan ketentuan tersebut, maka dikemukakanlah berbagai dalih untuk menggugurkan ketentuan tersebut, antara lain yang dikemukakan oleh Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., oleh karena persangkaan adalah kesimpulan belaka, maka dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan alat bukti lain, misalnya kesaksian atau surat–surat atau pengakuan suatu pihak, yang membuktikan, bahwa suatu peristiwa adalah terang ternyata (peristiwa).

d) Pengakuan; pengakuan ini merupakan alat bukti yang ketentuannya diatur didalam Pasal 1923 KUHPerdata, dan Pasal 174 HIR. Yang pada prinsipnya adalah pengakuan merupakan bentuk pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara. Pernyataan atau keterangan itu dilakukan dimuka hakim atau dalam sidang pengadilan. Dalam kontek pembuktian yang menyangkut pengakuan ini merupakan bagian dari apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan atau sebagain.

e) Dan sumpah. Memahami alat bukti sumpah ini juga menjadi bagian yang tak kalah penting dalam konsep pembuktian, karena hal ini menyangkut kejujuran dan pertanggungjawaban seseorang dalam kesaksiannya dengan membawa mambawa nama Tuhan. Sumpah merupakan sebagai alat bukti atau keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan dengan tujuan. Agar orang yang bersumpah dalam memberikan keterangan atau pernyataan itu takut atas murka Tuhan apabila ia berbohong. Rasa takut ini merupakan bagian dari pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan hal yang sebenar-benarnya.

  • S. Tarif, SH., dalam pendapatnya mengatakan sebagai berikut “tersangka sebagai objek yang harus diperiksa”. Pemeriksaan ini berupa pendengaran, keterangaan-keterangan tersangka tentang dirinya, dan biasanya pemeriksa sudah apriori berkeyakinan bahwa memang kesalahannya tersangka, sehingga sering terjadi paksaan terhadap tersangka untuk mengaku kesalahannya sehingga kadang-kadang dilakukannya penganiayaan.
  • Menurut pendapat Abdurrahman SH. system Inquisatoir adalah suatu system pemeriksaan yang memandang seseorang tertuduh sebagai subjek dalam pemeriksaan yang berhadapan dengan para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup. Pendapat lain menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam metode Inqusatoir adalah tersangka, penasehat hukum dan polisi.

Pihak-pihak yang ada dalam metode aquisatoir adalah Terdakwa, Penasehat Hukum, Hakim, Panitra, dan Jaksa. Hal ini kiranya dapat memberikan gambaran yang jelas terkait metode aquisatoir bahwa keterlibatan terdakwa sangat penting. Sehingga kalau toh terdakwa tidak bisa hadir dalam proses pemeriksaan maka proses untuk mencari fakta yang dilakukan pada saat persidangan tidak boleh dilakukan, mengingat dalam kasus pidana adalah mencari kebenaran materiil sehingga ketika terdakwa tidak bisa hadir maka tidak boleh dilanjutkan persidangannya.

Hal tersebut diatas memberikan suatu gambaran terkait dengan proses persidangan yang berjalan dengan agenda pembuktian dengan dihadiri oleh para pihak, dengan menunjukan barang bukti, alat bukti, dan keterangan dari saksi-saksi yang kemudian di konfrontir oleh terdakwa. Proses ini menggambarkan sebagai bentuk proses menggali sebuah fakta yang harus digali melalui proses pembuktian di pengadilan. Kiranya bisa memberikan suatu penjelasan dan pemahaman terhadap publik khususnya fakultas hukum yang mendapatkan matakuliah hukum pembuktian. Menjadi sangat penting ketika ada sebuah ilustrasi atau contoh yang bisa menjawab kajian materi dengan dikaitkan proses pembuktian secara praktik dilapangan.

  • Prof Mr. Dr. L.J Van Apeldoorn mengemukakan sebagai berikut:

“Sifat accusatoir dari acara pidana yang dimaksud adalah prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak. kebalikannya ialah asas “inquisitoir” dalam mana hakim sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri bertindak sebagai orang yang mendakwa, jadi dalam mana tugas orang yang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim disatukan dalam satu orang.”

2. CATATAN AKHIR

Dengan demikian apa yang telah dijelaskan diatas, tentu bisa memberikan suatu gambaran atau penjelasan sebagai berikut:

a) Keududukan tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena dalam system inquisitoir tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa. Para petugas pemeriksa atau pendakwa biasanya mendorong atau memaksa tersangka untuk mengakui kesalahanya dengan cara pemaksaan bahkan seringkali dengan penganiayaan.

b) Bersifat rahasia atau tertutup, ini berarti bahwa pemeriksaan pidana dengan menggunakan system inquisitoir khusus pada pemeriksaan pendahuluan masih bersifat rahasia sehingga keluarga dan penasihat hukumnya belum berkenan mengetahui atau mendampingi si tersangka.

c) Tersangka belum boleh menghubungi penasihat hukumnya.

d) Penguasa bersifat aktif sedangkan tersangka pasif.

Dengan demikian bahwa hal ini yang harus diperhatikan dan dikaji bagi para hakim atau Jaksa Penuntut Umum, dan termasuk Terdakwa melalui kuasa hukumnya untuk menggali dan menemukan fakta-fakta hukum yang sesungguhnya terjadi. Karena proses diluar pengadilan dalam arti proses penyelidikan atau penyidikan bisa saja terjadi kekeliruan dalam penerapan hukum atau proses dalam menggali keterangan terhadap tersangka telah terjadi intimidasi terhadap tersangka, maka perlu dan penting untuk dibuktikan kembali melalui proses pembuktian di persedingan, melalui proses pemeriksaan barang bukti, alat bukti dana tau keterangan dari para saksi atau pun keterangan dari Terdakwa itu sendiri. Pertemuan ke II

Baca Juga : Perkenalan Hukum Pembuktian Dalam Sistem Peradilan

Baca Juga : Hukum Pembuktian Sesi Satu

Komentar

Tinggalkan Balasan