oleh

Dr. Kurnia Zakaria : Ketidakjelasan Eksekusi Penangkapan Harun Masiku

Pati – Cakranusantara.net | Buronan Harun Masiku bersama kader PDIP lainnya, Saeful Bahri yang menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan melalui mantan Bawaslu Agustiani Tio Fridelina pada 8 Januari 2020 lalu.

Dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penerimaan suap sebesar 150 juta rupiah dari Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Daerah Pilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) 1, karena meninggalnya Nazaruddin Kiemas (adik ipar Megawati Soekarnoputri) sehingga pemenang dengan perolehan suara no 2 yakni Rieky Aprilia yang harus naik, Selasa (17/1/2023).

Akan tetapi Fraksi PDIP mengusulkan pemenang no 5 yakni Harun Masiku. Namun, KPU tetap menetapkan Rieky Aprilia dalam rapat Pleno, walaupun Partai PDIP sendiri tidak setuju dan meminta KPU untuk membatalkan putusan dengan diperkuat Fatwa Mahkamah Agung tahun 2019 membolehkan PAW itu menjadi hak Harun Masiku.

Dalam putusan Terdakwa Wahyu Setiawan putusan Kasasi MA No.1857K/Pid.Sus/2021 tanggal 2 Juni 2021 jo Putusan PT Jakarta No.37/Pid.Sus.TPK/2020/PT.DKI jo Putusan PN Jakarta Pusat No.28/Pid.Sus. TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020 merubah putusan hukuman penjara terdakwa Wahyu Setiawan dari 6 tahun menjadi 7 tahun dan denda menjadi 200 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan dari 150 juta rupiah subsider 4 bulan kurungan dan hukuman tambahan judex facti dicabut hak Politik menjadi selama 5 tahun dari 4 tahun setelah bebas nanti.

Terdakwa Wahyu Setiawan terbukti menerima suap 600 juta rupiah yang disepakati dari permintaan terdakwa sebesar 900 juta rupiah, dari Harun Masiku dan dakwaan kedua menerima suap 500 juta rupiah dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandaan lewat Sekretaris KPU Papua Barat Rose Muhammad Thamrin Payopo tentang hasil Pilkada Provinsi Papua Barat.

Terdakwa Wahyu Setiawan kelahiran Banjarnegara 5 Desember 1973 lulusan S1 FISIP Universitas Tujuh belas Agustus Semarang dan S2 Ilmu Administrasi Universitas Jendral Soedirman Purwokerto. Jabatan publik Ketua KPU Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah tahun 2003-2013, Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah tahun 2013-2018 dan terpilih menjadi Komisioner KPU RI Tahun 2018-2022. Barang bukti yang disita 654,8 juta rupiah dan 41.350 dolar Singapura.

Pada 6 Januari 2023 lalu, menurut Direktur penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu, DPO Harun Masiku yang dinyatakan sejak 29 Januari 2020 dan dinyatakan Red Notice Interpol (DPO Interpol) sejak 30 Juli 2021, Penyidik KPK memantau Harun Masiku berada disebuah pedalaman negara Asia yang sedang pandemi Covid 19 dan daerah konflik, dan diduga berganti nama (memakai nama lain).

Seharusnya, pihak DPO Interpol bisa segera menangkapnya, sesuai perintah Perkap Polri No.14 Tahun 2012 jo Perkaba Polri No.3 tahun 2014 jo UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Dan apabila ada yang melindungi keberadaannya dapat dikenakan Pasal 221 ayat (1) KUHP.

Menurut keyakinan Koodinator MAKI Boyamin Saiman ada informasi jika Harun Masiku sudah meninggal diluar Negeri, entah “dimatikan’ atau karena kena covid-19. Ia diduga “Mafia Kecurangan Pemilu” sejak tahun 2009.

Harun Masiku kelahiran 21 Maret 1971 lulusan S1 FH Universitas Hasanuddin Ujungpandang tahun 1994 dan S2 di Universitas of Warwick United Kingdom (Inggris) tahun 2009. Sempat menjadi anggota tim sukses Calon Presiden(Capres) Susilo Bambang Yudhoyono Tahun 2009, dan menjadi anggota Partai Demokrat, dan pindah menjadi anggota PDIP sejak tahun 2019.

Sebagai Caleg dari Partai Demokrat tahun 2014 dan 2019, namun dari PDIP malah gagal terpilih. Terakhir memberi kabar kepada istrinya pada 7 Agustus 2020 sudah ada di Jakarta. Setelah itu, tanpa kabar dan tidak memberi nafkah lahir maupun batin, maka istrinya Hildawati Djamrin yang belum mempunyai anak mengajukan gugatan marital secara verstek dan diputuskan cerai oleh PN Makassar tertanggal 16 Maret 2021 lalu dengan No perkara No.238/Pdt.G/2020/PN. Mks.

Seharusnya KPK bersama-sama Bagjaninter NCB Interpol Indonesia pasti tahu keberadaannya di Negara mana, dan bisa melakukan upaya ekstradisi dalam waktu segera setelah masa endemi Covid 19, tinggal niat, baik “keinginan mengungkap siapa saja dibalik Mafia Pemilu”.

Kecuali ada upaya melindungi pihak-pihak tertentu, agar tidak terungkap kecurangan Pemilu Pileg dan Pilpres Tahun 2004, 2009, 2014, 2019 dan Pilkada dari Tahun 2009 hingga Tahun 2019.

Buronan Nunun Nurbaiti istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun, Muhammad Nazaruddin, Djoko Tjandra, dan Apeng dapat ditangkap dan dideportasi untuk menjalani proses hukum pidana. Bila Red Notice/ cegah tangkal DPO disengaja tidak diperpanjang oleh aparat penegak hukum (APH) sendiri, buronan dapat dikenakan ancaman pidana UU No.6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Di China menyelenggarakan SkyNet yaitu operasi penanganan tindak pidana korupsi dengan tujuan untuk menangkap tersangka kejahatan yang melarikan diri keluar Negeri dan mencegah tersangka melarikan diri Komisi Pengawas Nasional (KPN RRC) berperan memburu buronan dan memulihkan aset hasil Tipikor.

Mahkamah Agung RRC bertugas mengejar keberadan aset hasil kejahatan tersangka serta keberadaan tersangka/terdakwa. Kementerian Keamanan Publik (MPS RRC) memburu hasil kejahatan korupsi para terpidana/ buronan korupsi. Bank Rakyat Tiongkok (BRT) dan MPS RRC bertanggung jawab untuk mencegah dan pemindahan uang transfer TPPU (money laundry).

Departemen Organisasi Komite Sentral Partai Komunis China (PKC) menangani akuisisi korporat yang terkena sanksi pidana korupsi dilakukan perampasan oleh negara. Keberhasilan SkyNet RRC meringkus 1.841 buronan DPO Internasional dipulangkan ke China dan ada ratusan orang dieksekusi mati dan memulihkan kerugian negara 4 milyar yuan.

Anehnya, di Indonesia dibuat makin melemah dengan UU NO. 19 Tahun 2019 perubahan UU No.10 tahun 2015, berdasarkan Perpu No.1 Tahun 2015 tentang Peraturan Penganti Undang-undang UU No.30 Tahun 2002. Lalu upaya hukum (vonis hukum) terpidana “diperlemah” dengan PERMA No. 1 Tahun 2020.

Hal itu semua diungkapkan oleh Dr.Kurnia Zakaria, yang sekaligus mengusulkan agar Hukuman Terpidana Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dikenakan hukuman pidana berat, jika perlu dengan pidana denda dikenakan golongan kelima KUHP UU No.1 Tahun 2023 dan ganti kerugian negara minimal 2-3 kali lipat, dan hukuman tambahan pencabutan hak politik dipilih sebagai pejabat publik untuk seumur hidup.

Perlu ada perubahan hukuman pidana dalam RUU Perubahan UU No.20 Tahun 2001 tentang UU Perubahan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Segera disahkan RUU perampasan aset dan pemiskinan Narapidana (Napi) Tipikor, Narkotika dan TPPU.
Pencegahan dengan saksi administrasi kebebasan berpendapat dengan melibatkan Media massa (elektronik/cetak) dan masyarakat, oleh APH dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Pembentukan Lembaga khusus pencegahan Tipikor, dibuat aturan pelaksana UU NO.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC sebagai dasar hukum kerjasama antara lembaga KPK, Kejaksaan Agung, POLRI, Polisi Militer TNI, NCB Interpol Polri, Dirjen Imigrasi Kemenkumham, Komisi Ombudsman, PPATK, OJK, Bawaslu, DKPP, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Badan Kehormatan DPR/DPD/DPRD, Bawasda, Dewan Pertimbangan Presiden dan Kantor Staf Kepresidenan dalam usaha Pencegahan dan Penindakan Tipikor dan TPPU seperti SkyNet RRC.

(Rohman)

Komentar

Tinggalkan Balasan