Jakarta – Cakranusantara.net | Menurut Dr. Kurnia Zakaria mengapa terdakwa Irjen Pol Teddy Minahasa mantan Kapolda Jawa Timur lulusan Akpol 1993 kelahiran 23 November 1971 yang juga Ketua Umum Harley Davidson Club Indonesia (Komunitas Motor gede), yang divonis Ketua Majelis Hakim Jon Sarman Saragih, SH., pada 9 Mei 2023 di PN Jakarta Barat, dengan vonis hukuman seumur hidup, itu lebih ringan dari tuntutan JPU, yakni hukuman mati.
“Karena telah terbukti menjual sabu-sabu sitaan yang dijadikan sebagai barang bukti Polda Sumatera Barat, saat terdakwa menjabat Kapolda, terbukti melanggar pasal 114 ayat (2) juncto pasal 132 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkoba juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP bersama-sama terdakwa lain. AKBP Doddy Prawiranegara mantan Kapolres Bukit Tinggi Polda Sumbar, dan Linda Pujiastuti alias Anita Cepu pemilik klub hiburan malam di Jakarta Utara dan Kompol Kasranto mantan Kapolsek Kalibaru Polres Metro Jakarta Utara Polda Metro Jaya, yang sama-sama divonis oleh Majelis Hakim PN Jakarta Barat yang diketuai Jon Sarman Saragih, SH. debgan vonis hukuman 17 tahun penjara untuk ketiga terdakwa lainnya,” ungkap Dr. Kurnia Zakaria, selaku pakar hukum dan juga salah satu Dosen di UI.
Sedangkan, dua terdakwa lain belum selesai proses sidangnya, yakni Aiptu Janto Situmorang anggota Polres Khusus Pelabuhan Tanjung Priok dan Aipda Achmad Darmawan anggota Polres Metro Jakarta Barat. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Polri memang diperbolehkan sidang Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) terhadap Polisi yang bermasalah hukum pidana berat dapat dilakukan setelah yang bersangkutan mendapatkan hukuman berkekuatan hukum tetap dari Peradilan Pidana Umum (incracht) sesuai UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
“Dalam peraturan disiplin Polri diatur dalam PP No.2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota. Tetapi dalam sidang KKEP Polri melakukan diskriminasi atau perlakuan berbeda, antara Irjen Pol Teddy Minahasa, dengan pelaku pembunuhan berencana, mantan Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Pol Ferdy Sambo dan Irjen Pol Napoleon Bonaparte mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Interpol) Mabes Polri pelaku pencabutan red notice DPO BLBI Djoko Tjandra, dimana keduanya divonis KKEP dengan Pemecatan Dengan Tidak Hormat (PDTH),” sambungnya.
Perlakuan Teddy Minahasa sama dengan Irjen Djoko Susilo mantan Kakorlantas Mabes Pori dalam kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU/ money laudry) Simulator SIM dan blangko STNK. Sedangkan AKBP Achiruddin Hasibuan Akpol ke 44 tahun 1996/1997, mantan Bin Opsnal Ditnarkoba Polda Sumut (Poldasu) sudah di PTDH, dalam kasus, pembiaran anaknya menganiaya Ken Admiral di depan rumahnya dan disaksikan di depan matanya sendiri.
“Selanjutnya, kasus Polisi diduga TPPU, Tipikor dan laporan tidak wajar LHKPNnya. Walaupun Achiruddin Hasibuan belum selesai proses penyidikan karena berkas belum lengkap (P.21) proses tahap 2 pra penuntutan. Sejak 7 Oktober 2022 lalu pihak Divisi Propam Mabes Polri menjanjikan segera menyidangkan di KKEP, akan tetapi hingga sekarang 12 Mei 2023 belum ada sidang KKEP Teddy Minahasa,” terang Dr. Kurnia.
LHKPN Teddy Minahasa mengaku hanya mempunyai harta 29.9 miliar rupiah, dimana harta berupa barang tidak bergerak (Tanah dan bangunan) sebesar Rp. 25.813.200.000,-, harta bergerak (mobil mewah dan moge) Rp. 2.075.000.000,- dan harta bergerak lainnya 500 juta rupiah, Kas Rp. 1.523.717.203,- dan Surat Berharga 62,5 juta rupiah. Bila kita melihat Live sidangnya Linda Pujiastuti dan Doddy Prawiranegara di media sosial (Medsos) atau berita online yang bisa disaksikan melalui Youtube, Snack, Tiktok, Instagram, Facebook Live Streaming, TV Online/ Digital yakni Kompas, iNews, Metro, serta TVOne, para pemirsa, masyarakat maupun Netizen medsos mengetahui jelas-jelas ada perintah dari Teddy Minahasa untuk sisihkan BB narkoba serta proses jual belinya.
“Dengan sepengetahuan Teddy Minahasa dan kesaksian saksi Mahkota Anita Cepu yang menyatakan bahwa sering pergi berdua, dan mengatur, antara, mana jaringan narkoba yang harus “ditangkap” dan yang “dikondisikan”. Hingga kesaksian Teddy mendatangi pusat Pabrik pembuatan narkoba di Asia Timur,” imbuhnya.
Masih menurut Dr. Kurnia Zakaria, bahwa Kejahatan Luar Biasa adalah Tipikor, TPPU, Terorisme, dan Narkoba, bila pelaku ternyata anggota Polri maupun TNI dan ASN sudah harus PTDH. Karyawan maupun buruh saja Absen tanpa ijin lebih dari 7 hari secara berturut-turut bisa dipecat tanpa pesangon. Pengurus Ormas/Lembaga Hukum Sosial/anggota Parpol dianggap melakukan perbuatan tercela dan mempermalukan organisasi di PTDH.
“Teddy Minahasa sudah terbukti melakukan tindak pidana dan pelanggaran berat sesuai Perkap No.14 Tahun 2011, seharusnya sebelum disidang jangan membiarkan Pimpinan Polri di daerah menduduki jabatan terlalu lama, karena akan ada indikasi “bermain dengan nyaman di zona nyaman” sehingga tidak berprestasi dan berpotensi menyalahgunakan dan penyelewengan wewenang jabatan,”
Meskipun seringkali dilaporkan ke Propam Polda maupun Mabes Polri, laporannya “dipeti es kan/ dibekukan” ada penolakan atau laporan tidak dapat diterima. Contoh AKBP Sumarni, Kapolres Subang Polda Jabar, ia rasa gagal tugas, dalam ungkap kasus pembunuhan ibu dan anak secara sadis di rumah, yang kedua mayatnya ditaruh di mobil Alphard,x kampung Ciseuti jalan Cagak, Subang pada 18 Agustus 2021 lalu.
“Sekarang mengungkap kasus hilangnya anak balita, Darrel Gaisan Rafasa (3,5), Desa Cikaso, Kalijati Timur sejak 24 April 2023 lalu. Selain kesehatan fisik menurun, narkoba juga bisa berdampak buruk pada kesehatan jangka panjang, menyebabkan kerugian bagi orang lain, keluarga berantakan, kendali diri akan sulit, di penjara masih bebas peredaran Narkobanya, dimana bandarnya tetap bisa mengendalikan transaksi peredaran tersebut. Hanya terpidana Freddy Budiman agar tidak ungkap para oknum “dewan jendral” TNI/POLRI yang terlibat jaringan Narkoba Afrika dan lokal Asia yang sudah “habis” saja dieksekusi mati, sedangkan yang lain tetap di “zona nyaman” sel narkoba menunggu tanpa kepastian hukuman mati.
Penyalahgunaan obat-obatan berdampak pada perubahan fungsi hati, liver dan syaraf otak yang mempengaruhi kognitif (sulit berkonsentrasi, tidak bergairah, tidak termotivasi) dan perilaku pencandu paranoid. Hanya dirinya sendiri yang sadar, jauhkan dari narkoba demi keluarga dan juga masa depan. Aturan oknum polisi yang terlibat narkoba artinya melanggar pasal 5 huruf a PP No.2 tahun 2003 jo pasal 6 dan pasal 7 Perkapolri No.14 Tahun 2011. Dapat dilakukan sidang KKEP tanpa menunggu putusan pidana peradilan umum, sesuai pasal 12 ayat (1) PP No.2 Tahun 2003 jo pasal 28 ayat (2) Perkapolri No.14 Tahun 2011.
“Tentang bersalah atau tidaknya oknum anggota polri atas dugaan pelanggaran UU No.35 Tahun 2009 ada aturan hukum beracara di pengadilan sesuai pasal 8 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bagi anggota Polri yang diduga melanggar UU No.35 Tahun 2009 dapat di PDTH oleh KKEP sesuai Pasal 12 ayat (1) huruf a PP No.1 tahun 2003 tentang Pemberhentian anggota Polri dan diarahkan ke pasal pemberatan berlapis, karena selaku aparat penegak hukum (APH) telah melakukan pelanggaran hukum pidana. Hal itu demi menjaga nama baik dan citra Polri yang Presisi,” harap Dr Kurnia Zakaria mengakhiri perkataannya.
(Rmn)
Komentar