oleh

Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak, Restoratif Justice dan Diversi

Jakarta – Cakranusantara.net | Pengertian tentang Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA), Restoratif Justice (RJ) serta Diversi. Sebagaimana seperti kita ketahui saat ini Aparat Penegak Hukum (APH) baik Kejaksaan maupun pihak Kepolisian, mengutamakan untuk melakukan RJ terlebih dahulu sebelum di bawa ke persidangan

  1. Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sistem peradilan pidana anak (SPPA) adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang sedang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional.

Perampasan kemerdekaan dan Pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA.

Dalam SPPA adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana;

Terhadap anak yang belum berumur 12 tahun, tidak dapat dilakukan proses peradilan pidana, tapi anak dikembalikan kepada orang tuanya. Jika anak yang berhadapan hukum itu sudah berusia 12 sampai 14 tahun maka hukumannya dapat berupa pendidikan formal dan pembinaan didalam Lembaga Pembinaan Anak (LPA).

Untuk anak yang sudah berusia 15 hingga 17 tahun dapat menjalani proses peradilan pidana anak dan hukuman atas tindak pidananya dapat berupa pidana penjara, dengan dikurangi setengah dari ancaman pidana maksimum dari pasal yang dilanggar. Pidana mati atau seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada anak, tetapi diganti dengan pidana penjara maksimum 20 tahun penjara.

Anak yang menjadi korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun), yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana terhadap anak diatur dalam UU No. 23 Tahun 2020 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Termasuk jenis-jenis tindak pidana dalam KUHPidana yang dilkukan oleh Anak.

Anak yang menjadi saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/ atau dialami;

2. Keadilan Restoratif Justice

RJ merupakan salah satu kekhususan dari peradilan pidana anak ini tujuannya adalah untuk mencapai Keadilan Restoratif yaitu Keadilan yang dikembalikan kepada pelaku dan korban.

Menurut pasal 5 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA, wajib mengutamakan keadilan RJ. Yaitu penyelesaian perkara tindak pidananya wajib melibatkan pelaku, korban atau keluarga masing-masing pelaku dan keluarga korban termasuk pihak lain yang terkait seperti pembina atau pendamping anak, secara bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali seperti semula, bukan suatu pembalasan atas tindak pidana yang dilakukan sianak (mengganti rugi atas kerugian korban baik fisik maupun Nok fisik).

Biasanya dalam peradilan pidana, kepentingan si korban sudah diwakili oleh negara melalui penyidik dan penuntut, apa yang menjadi keinginan si korban untuk memperoleh suatu keadilan atas perbuatan pelaku tindak pidana itu.

Sementara penyidik dan penuntut berasumsi bahwa rasa keadilan si korban sudah terakomodir melalui putusan pengadilan yang terberat yang dijatuhkan pada pelakunya, meskipun korban berpendapat bahwa ras keadilannya bukan hanya soal berat ataupun ringannya hukuman yang dijatuhkan pada pelaku, tetapi lebih tertuju pada penggantian sejumlah kerugian atau lebih jelasnya uang untuk pengobatan dan ganti rugi yang dapat diterima oleh si korban.

Maka pada peradilan pidana anak hal itu atau keadilan si korban lebih diakomodir karena diberi kesempatan dan ruang pada korban untuk mengutarakan apa saja kemauannya atas tindak pidana yang dilakukan oleh si anak sebagai sang pelaku tindak pidana tersebut.

Keadilan Restoratif Justice ini dapat di capai melalui program Diversi yang mempertemukan pelaku dengan korban secara langsung guna mencapai kesepakatan tentang penyelesaian tindak pidana yang sudah dilakukan oleh pelaku diluar persidangan.

Hanya saja perlu diketahui bahwa tidak semua tindak pidana dapat dilakukan Diversi, tetapi terbatas hanya pada tindak pidana anak yang ancaman pidananya maksimal 7 tahun, jika ancaman pidananya melebihi 7 tahun, maka proses peradilan pidananya akan tetap terus berjalan hingga menjadi suatu putusan, kalau ada perdamaian diantara kedua belah pihak dalam peradilan pidana ini, hal itu akan menjadi pertimbangan hukum dari Hakim, dapat lebih meringankan hukuman yang dijatuhkan pada si anak pelaku tindak pidana itu.

3.Adapun Tujuan Diversi adalah sebagai berikut.

1). Untuk mencapai perdamaian antara si korban dan pelaku anak.

2). Untuk menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan atas tindak pidana yang dilakukannya.

3). Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak pelaku tindak pidana.

4). Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan.

5). Mendorong masyarakat untuk aktif berpartisipasi.

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak sesuai (Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang SPPA).

Selanjutnya dalam hal itu, anak yang belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk menyerahkan kepada orang tua/ wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejahteraan sosial yang tercantum pada (Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas Tahun).

Sebaliknya dalam perkara dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap tingkatan pemeriksaan tidak perlu didampingi orang tua/ wali namun dalam perkara anak berhadapan hukum perlu didampingi orang tua/ wali.

4. Proses Pemeriksaan Anak.

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana anak yakni Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial.

Penyidik adalah Penyidik Anak;

Jaksa Penuntut Umum adalah Jaksa Penuntut Umum Anak;

Hakim adalah Hakim Anak;

Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana;

Pekerja Sosial adalah seseorang yang bekerja baik pada lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, dan/ atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan masalah sosial;

Proses Penyidikan dan Penuntutan terhadap Perkara Anak.

Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan kepala kepolisian atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian RI sedangkan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung (Jagung) atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jagung.

Dalam melakukan penyelidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran-saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan kemudian Balai Penelitian Kemasyarakatan wajib menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan paling lama 3 (tiga) hari sejak permintaan penyidik.

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial atau tenaga kesejahteraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan; selanjutnya terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum (ABH) pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib diupayakan diversi.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut dengan syarat-syarat sebagai berikut:

Diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan pengulangan tindak pidana;

Selanjutnya selain ketentuan tersebut, berlaku pula terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan) (Pasal 7 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak))

Diversi sendiri bertujuan:

Mencapai perdamaian antara pelaku dan korban anak;

Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan;

Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab pada anak;

Dalam proses Diversi itu sendiri tentu ada pihak yang dilibatkan yakni anak, orang tua, korban, dan/ atau orang tua/ wali, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan RJ yang mengandung arti bahwa penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban dan pihak-pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Dari hasil kesepakatan diversi perdamaian dapat berupa dengan/ atau mengganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/ wali, keikutsertaan dalam pendidikan/ pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS, pelayanan masyarakat.

Dalam hal kesepakatan tercapai, maka setiap pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan diversi untuk diterbitkan penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan perkara dan bilamana tercapai maka proses pemeriksaan dilanjutkan.

Selanjutnya dalam hal tidak terjadi kesepakatan dalam waktu yang ditentukan maka pembimbing kemasyarakatan segera melaporkan kepada pejabat untuk menindaklanjuti proses pemeriksaan.

4. Proses Pemeriksaan Anak

Penyidik, JPU, Pembimbing Kemasyarakatan dan/ atau pemberi bantuan hukum dan petugas lainnya dalam memeriksa perkara anak, anak korban dan/ atau anak saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), kemudian dalam setiap tingkatan pemeriksaan anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping dengan ketentuan yang berlaku; Bahwa terkait penahanan terhadap anak (Pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) adalah sebagai berikut:

Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal memperoleh jaminan dari orang tua atau lembaga bahwa anak tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau merusak barang bukti atau tidak akan mengulangi tindak pidana;

Penahanan dapat dilakukan dengan syarat: Umur anak 14 (empat belas) tahun keatas yang Diduga telah melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara selama 7 tahun atau lebih.

Penahanan terhadap anak tentunya berbeda pula dengan terdakwa (dewasa) terhadap penahanan anak yang berkonflik hukum tersebut yakni sebagai berikut:

Penahanan oleh Penyidik paling lama 7 hari dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum, selama 8 hari; sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20 hari dengan perpanjangan 40 hari;

Penahanan oleh Penuntut Umum, paling lama 5 hari kemudian dapat diperpanjang oleh Hakim selama 5 hari sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20 Hari dan diperpanjang selama 30 hari;

Penahanan Hakim selama 10 hari kemudian diperpanjang selama 15 hari oleh Ketua PN, sedangkan terdakwa dewasa adalah 30 hari dan dapat diperpanjang selama 60 hari.

Proses pemeriksaan pada sidang pengadilan

Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap anak dalam tingkat pertama dilakukan dengan hakim tunggal, namun Ketua Pengadilan dalam pemeriksaan perkara anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam pidana penjara 7 tahun atau lebih sulit pembuktiannya.

Hakim dalam memeriksa perkara anak dalam sidang anak dinyatakan tertutup untuk umum kecuali pembacaan putusan.

Kemudian dalam proses persidangan (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) Hakim wajib memerintahkan orang tua/ wali atau pendamping atau pemberi bantuan hukum lainnya; dalam hal orang tua/ wali atau pendamping tidak hadir, sidang dilanjutkan dengan didampingi advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/ atau pembimbing kemasyarakatan.

Bahwa pada saat memeriksa anak korban/ atau anak saksi, hakim dapat memerintahkan agar anak dibawa keluar (Pasal 58 Undang-Undang R.I. Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Dalam hal anak korban atau anak saksi tidak dapat untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, hakim dapat memerintahkan anak korban/ atau anak saksi didengar keterangannya di luar persidangan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dengan dihadiri penyidik atau JPU dan Advokat/ atau pemberi bantuan hukum, melalui pemeriksaan jarak jauh atau teleconference (Pasal 58 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan kepada orang tua/ wali/ pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak, kemudian pada saat pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak.

5. Sanksi Pidana Anak.

Penjatuhan hukuman terhadap anak yang berkonflik hukum dapat dikenakan pidana dan tindakan, dan anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

Bahwa terhadap anak yang berkonflik hukum yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan, yang meliputi pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, dan perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan Surat Ijin Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya.

Sedangkan anak yang sudah berusia 14 tahun ke atas tersebut dapat saja dijatuhi pidana dengan macam-macam pidana sebagaimana dalam Pasal 71 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni sebagai berikut:

Pidana pokok yang terdiri dari

a. pidana peringatan;

b. pidana bersyarat (pembinaan pada lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan);

c. pelatihan kerja;

d. pembinaan dalam lembaga dan penjara;Pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pemenuhan kewajiban adat.

Apabila dalam hukum materil seorang anak yang berkonflik hukum diancam pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana denda diganti denan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun.

Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), sedangkan terhadap ketentuan minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak (Pasal 79 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum ditempatkan pada Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), sedangkan tempat anak menjalani masa pidananya ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Kemudian terhadap tempat anak mendapatkan pelayanan sosial berada pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).

Terhadap putusan Hakim pada tingkat pertama, baik anak yang berkonflik hukum maupun JPU tentunya dapat melakukan upaya hukum selanjutnya yakni banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK).

Terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum, yakni anak korban dan anak saksi, berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal Anak melakukan tindak pidana dan tidak dapat dilakukan Diversi untuk memperoleh Restorative Justice, baik karena tidak dicapainya kesepakatan atau perdamaian dengan keluarga korban maupun karena ancamaan pidana atas tindak pidana yang dilakukan diancam 7 tahun atau lebih, maka proses peradilan pidana pada sianak tetap berjalan dengan ketentuan sebagai berikut.

Anak yang berusia 12 -13 tahun ancaman pidananya di kembalikan ke orangtuanya dengan kewajiban melapor dalam waktu tertentu dan mengikuti pembinaan dari pendamping. Dan anak yang berusia 14 – 15 tahun mengikuti pembinaan didalam lembaga pembinaan anak sementara dalam kurun waktu tertentu dan bagi anak yang berusia 15 – 17 tahun dapa dijatuhkan pidana penjara dengan ketentuan ancaman pidana maksimal dikurangi setengah dari ancaman pidana bagi orang dewasa, dan tidak boleh di jatuhkan pidana mati tapi diganti dengan pidana penjara paling lama 10 tahun (pengganti dari hukuman 20 tahun penjara).

(Red)

Komentar

Tinggalkan Balasan