oleh

Dr. Kurnia Zakaria : Saksi Ahli Memberikan Keterangan Tidak Benar

JakartaCakranusantara.net | Dr. Kurnia Zakaria, SH., MH., berpendapat terkait Saksi Ahli dapat dipidana sesuai pasal 224 KUHAP dimana ancaman pidananya berupa kurungan paling lama 9 bulan penjara, apabila Saksi Ahli secara sengaja tanpa alasan tidak mau hadir di persidangan, walaupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah memanggilnya secara layak dan benar.

Saksi Ahli, sebelumnya sudah memberikan keterangan tertulis baik dalam Surat Keterangan (Suket) maupun Laporan Pemeriksaan Medis/ Forensik/ Laboratorium, yang telah dilakukan Saksi Ahli.

“Saksi Ahli telah membuat secara tertulis Pendapat Hukumnya (legal Opinion) atau sudah pernah diperiksa secara langsung oleh Penyidik dalam hal memberikan keterangan, dan tertulis dalam Berita Acara Keterangan Saksi Ahli dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh Penyidik,” ungkap Kurnia. Kamis (22/12/2022).

Selain keterangan tertulis, juga perlu diperdengarkan keterangannya secara lisan didepan persidangan (didepan majelis hakim). Sedangkan Pihak Terdakwa, dan/ atau Kuasa Hukumnya dapat mendatangkan ke persidangan sebagai Saksi Ahli “A De Charge” tanpa perlu ada proses pemeriksaan verbal (DI- BAP-kan) terlebih dahulu.

“Namun, langsung saja atas persetujuan majelis hakim untuk menghadirkan Saksi Ahli “ade charge” setelah Saksi-saksi Fakta dan Saksi Ahli semuanya didatangkan oleh pihak JPU, baik yang didengarkan secara lisan maupun keterangan tertulis atas persetujuan bersama, keterangan saksi ahli dibacakan, bila saksi ahli berhalangan tetap (ada alasan wajar dan logis tidak bisa hadir dipersidangan),” terangnya.

masih lanjut Kurnia, tidak sependapat dengan Komaruddin Simanjuntak, Kuasa Hukum keluarga korban J (almarhum Yosua Hutabarat) yang berencana akan melaporkan saksi Ahli Psikologi Forensik Reni Kusumawardhani dengan dugaan melanggar pasal 242 KUHP, karena saksi dalam sumpah memberikan keterangan tidak benar dipersidangan kelima pada Rabu (21/12) yang lalu di PN Jakarta Selatan.

“Dimana saksi ahli Reni Kusumawardhani dalam keterangan lisannya menyatakan, jika hasil pemeriksaan psikologi klinis forensik terhadap Putri Candrawati (terdakwa) bahwa adanya dugaan tindakan kekerasan seksual waktu di Magelang pada awal Juli 2022 hasilnya dapat dipercaya,” lanjutnya.

Pendapat Reni berpendoman atas standar pemeriksaan yang dilakukan Prof Bull tahun 2004 dimana dari 7 unsur syarat kebenaran asesmen psikogi forensik terperiksa. Dalam keterangan lisan di sidang perkara pidana pada 21/12 di PN Jakarta Selatan menyatakan bahwa terperiksa Putri Candrawati memenuhi 2 unsur dari 7 unsur yang harus dipenuhi :

Unsur pertama memenuhi syarat memberikan keterangan secara detail informasi kejadian yang dapat diceritakan secara rinci berurutan ditunjang ada saksi Susi melihat pintu kamar dibuka dan ditutup, dan saksi Kuat Ma’rup melihat J masuk diam-diam ke kamar tidur terperiksa.

“Unsur kedua ada akurasi yang sesuai dengan kejadian dikamar yang dilakukan J terhadap terperiksa dan situasi terperiksa PC setelah kejadian telepon saksi Riky Rizal dan Richard Eliezer segera pulang ke rumah saat bertugas “pengamanan dan pelayanan” kedua putra PC dan FS di SMA Taruna Nusantara Magelang,” ujarnya.

Kurnia Zakaria berpendapat keterangan Saksi Ahli yang didatangkan oleh JPU itu keterangannya malah menguntungkan/ meringankan terdakwa, bahwa JPU tidak cermat dan tidak teliti, seharusnya sudah mengantisipasi keterangan saksi ahli tidak memperingan terdakwa tapi secara ilmiah dan hasil laboratorium membuktikan kesalahan terdakwa.

Saksi Ahi bukan yang mengalami, mendengar, atau melihat sendiri urutan fakta kejadian tapi berdasarkan ilmu pengetahuan dan skill/ kemampuan ahli dalam menganalisa dan memberikan pendapatnya pada kasus. Jadi bisa menyatakan dimana salah benarnya tindakan pelaku dan alasan pelaku/ motif apakah wajar atau tidak, logis atau tidak.

Baca Juga : Dr. Kurnia Zakaria: Bripka Matius Marey Ajudan Ferdy Sambo Belum Dimintai Kesaksian

Baca Juga : Analisis Kasus Sambo, Houtlan Napitupulu: “Pasal 340 Atau 338 KUHPidana”

Saksi Ahli bisa berpendapat apakah menguntungkan atau memperberat terdakwa sesuai keahlian dan analisa ilmu pengetahuan saksi ahli. Dalam kesimpulan Saksi Ahli Reni tidak dapat memenuhi unsur 242 KUHP. Saksi ahli adanya hak immunitas dalam memberikan keterangan sesuai keahlian dan pengetahuan, tanpa bisa diintervensi pihak manapun.

Dan punya kekebalan “Hak Akademis” tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata. Pernah kejadian sepengetahuan Kurnia dalam kasus saksi Ahli Tamri Tomagola pernah dituntut, karena kesaksian dalam suatu perkara dianggap “menghina Sara etnis suku tertentu sesuai adat dalam kasus pidana” tetapi akhirnya hanya dijatuhi secara hukum adat harus memberi kompensasi “ganti kerugian secara adat”.

Karena saksi ahli memberikan keterangan tertulis maupun lisan berdasarkan pengetahuan dalam pekerjaannya maupun keahlian dalam profesi yang dijalaninya. “Tiada Kesalahan dapat Dipidana, Tiada UU dapat dikenakan tanpa ada aturannya”.

Apalagi kasus saksi berbohong didepan persidangan, itu tidak bisa dilakukan proses hukum, tanpa adanya tindakan JPU yang melakukan tindakan hukum atas perintah Majelis Hakim. Boleh saja pihak dirugikan melaporkan ke polisi tapi sepengetahuan (Kurnia) akan sulit menemukan bukti-bukti pelanggaran pasal 242 KUHP.

Apakah Saksi Ahli (Reni Kusumawardhani) saat disidang dihadirkan oleh siapa? JPU atau Kuasa Hukum Terdakwa?.

Kalau JPU yang menghadirkan malah menguntungkan terdakwa PC dan motif FS, tetapi berdasarkan saksi ahli (Reni), bahwa hasil pemeriksaan psikologis klinis apakah bisa meyakinkan Majelis Hakim dalam membuat Keputusan nanti.

Apalagi saksi ahli deteksi kebohongan menyatakan terdakwa PC punya kecenderungan Berbohong Tingkat Tinggi (hasil laboratium minus 25 ; sering berbohong). Masalah bisa diterima atau diabaikan, tergantung keyakinan hakim.

Hanya PC dan tuhan yang tahu kejadian yang sebenarnya. Dalam kasus perzinaan unsurnya bila ada dua lawan jenis yang cukup umur dan salah satu orang dalam ikatan perkawinan dalam sebuah kamar, dalam ruangan tertutup (privasi) dalam waktu tertentu (short time/long time) dapat diduga terjadinya perzinaan.

Rumor perselingkuhan, atau PC marah karena J tidak terima mau menikah dan menolak “bermesraan” mungkin saja bisa terjadi ataupun tidak, hanya PC yang harus Jujur. Apalagi PC tidak melaporkan kejadian perkosaan itu di Magelang dan tidak adanya visum “et repertum“, akan sulit untuk menguatkan alasannya bahwa ia menjadi korban perkosaan walaupun sempat memberi kesaksian “Saksi Mahkota” (terdakwa sekaligus saksi mata/ korban dalam perkara yang berbeda) dalam sidang terdakwa RR, RE dan KM secara tertutup pada 12/12 yang lalu di PN Jakarta Selatan.

Sementara itu, info yang Kurnia dapatkan bahwa PC dibanting oleh J sebanyak tiga kali kemudian diraba-raba anggota tubuhnya. Namun akan tetapi bila tidak ada bukti (media) sulit untuk bisa menguatkan keterangan PC,” hal itu semua diungkapkan oleh Dr. Kurnia Zakaria., SH., MH.

(Rohman)

Komentar

Tinggalkan Balasan