Jakarta – Cakranusantara.net | Polisi pengatur lalu lintas sipil/ swasta atau yang biasa disebut pak ogah saat Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah ada aturan, dimana petugas dilakukan penertiban, diberi seragam khusus jaket dan terdata.
“Tetapi saat pandemi tahun 2020 pak ogah resmi bertindak tanpa ada aturan, ada kemungkinan saat itu orang dilarang keluar ketempat umum, dan tidak lagi mempunyai penghasilan. Keributan lahan putar balik dijalan yang strategis seperti jalan raya menjadi rebutan para preman dan pemuda setempat, sebab saat itu banyak PHK dan pengangguran.
“Sekolah dan kantor secara online, sehingga menimbulkan peningkatan angka kemiskinan. Demi mendapatkan uang mereka rela berpanas-panasan, tidak menghiraukan debu dan rawan kena Covid daripada kelaparan. Sehingga, rebutan lahan putar balik dan lahan parkir pun terjadi oleh preman yang dibekingi oknum Ormas maupun warga lingkungan setempat,” ungkap Dr. Kurnia Zakaria, Senin (27/3/2023).
Sehingga, bila ada mobil yang tidak memberi uang pasti ada saja, mulai ditimpuk atau di baret cat mobilnya. Sedangkan, dalam aturan Undang-Undang lalu lintas no. 22 tahun 2009 seharusnya mendahulukan kendaraan yang lurus daripada yang belok atau putar arah, kini menjadi terbalik oleh pak ogah.
“Putaran atau puteran mobil dalam satu tempat terbagi shift kerjanya dengan berbagai kelompok. Bisnis ini menguntungkan, satu orang dalam sehari dengan bekerja 2 sampai 4 jam bisa mendapatkan uang 50 hingga 100 ribu rupiah. Tentu saja resiko ditabrak dapat terjadi, tapi karena mereka selalu minimal 2 orang dan perlu doping ‘keberanian nyali’ sebelum bertugas,” lanjutnya.
Kerjanya santai, bebas tanpa ada ikatan kontrak kerja. Tidak sedikit kasus anggota TNI-Polri maupun petugas Dishub sering bentrok dengan kelompok pak ogah, karena mobilnya di baret gara-gara tidak kasih jasa penyeberangan atau merasa dihalangi di depan mobil. Bahkan, seringkali petugas swasta ini menimbulkan kemacetan daripada memperlancar lalu lintas.
“Justru ini yang menimbulkan keributan antar pengendara dengan petugas, tentu saja anggota polisi ataupun TNI tidak suka bila perjalanan terganggu macet, akibat perilaku pak ogah yang seringkali ribut teman-temannya datang ngeroyok, saat itu juga mereka kadang- kadang pemimpin kelompok bawa pisau atau senjata tajam (sajam) juga tumpul yang bisa dipakai untuk melukai lawannya,” cetusnya.
Kadang-kadang mereka juga dibekingi oknum aparat pemerintahan setempat, hingga oknum aparat penegak hukum (APH) dengan kewajiban tiap hari harus ada setoran. Seakan pak ogah ini tidak mau diajak untuk teratur, karena karakter dan etos kerjanya santai tapi syaratnya berani.
“Ia seringkali melihat pemimpin mereka setor sama petugas APH patroli, maupun RT/RW setempat pada setiap harinya. Hal itu sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, tiap puteran ada “jago lokalnya” yang ngatur pak ogah ini. Yang jelas bisnis jalanan ini ada cuannya, dan pasti mendapatkan, bebas tanpa seragam cukup modal kayu pendek dikasih bendera dan peluit,” imbuhnya.
Selain itu, oknum APH dan oknum pemerintah lokal memiliki pemasukan cuan tiap harinya, tidak menutup kemungkinan atasannya juga dibagi jatahnya.
“Jadi pak ogah inipun seperti ada pembiaran dari aparat yang berwenang, karena tidak adanya lampu merah atau kuning hingga jika diperlukan penutupan puteran jalan tertentu,” tandas Dr Kurnia Zakaria selaku pakar hukum dan juga dosen Universitas Indonesia.
(Rmn)
Komentar