Jakarta – Cakranusantara.net | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini membuka kasus yang terjadi di internalnya sendiri, disinyalir sebagai peralihan isu kasus Ketua KPK yang beberapa kali lolos dari etik Dewas KPK, Selasa (4/7/2023).
Kasus internal yang terjadi beragam, mulai dari tindak pidana korupsi (Tipikor) hingga moral dan asusila, serta pada kasus dugaan transaksi mencurigakan eks Kasatgas KPK Rp 300 miliar.
“Kasus dugaan pungli di rumah tahanan (Rutan) dianggap sebagai temuan Dewas KPK, dan ternyata terjadi sejak tahun 2018. Ironisnya, KPK tak pernah menindaklanjuti secara tuntas. Itu sudah lama, kenapa baru diungkap ke publik ditengah pimpinan mereka yang sedang mempunyai kasus yang kini di tangani Polda Metro Jaya?” ungkapnya.
Selain permasalahan uang, ternyata ada petugas yang ditempatkan di Rutan melakukan pelecehan seksual terhadap istri salah satu tahanan.
“Petugas itu dikabarkan hanya diberi sanksi ringan dengan pelanggaran etik sedang. Ia melanggar kode etik yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf n Peraturan Dewas KPK Nomor 3 tahun 2021,” lanjutnya.
Dalam putusan Dewas yang dibacakan pada 12 April 2023 lalu, petugas rutan telah dihukum dengan sanksi permintaan maaf secara terbuka dan tidak langsung.
“Sidang pelanggaran etik terkait dugaan asusila telah dilaporkan ke Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM), dan diteruskan kepada Dewas pada Januari 2023 lalu,” jelasnya.
Namun, Dewas hanya memberikan sanksi sedang dan berat tapi tidak ada pelaporan pidana dan administrasi, pengembalian dan penyitaan akan sulit adanya penegakan disiplin dan kode etik pegawai.
“Pegawai KPK sekarang adalah ASN, artinya sanksi berat dapat dijatuhkan, seperti pemecatan tanpa uang pensiun dan tunjangan lain. Ada sanksi tambahan pengembalian uang,” paparnya.
Kemudian, menyinggung soal masa jabatan komisioner KPK yang akan diberikan sanksi berat, akan tetapi sudah mengundurkan diri terlebih dahulu.
“Upaya komisioner mengubah aturan UU KPK tentang usia, semula minimal 4 tahun menjadi 5 tahun,” bebernya.
Selanjutnya, Dr Kurnia Zakaria menyoroti kasus dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp 300 miliar, seperti disampaikan oleh Novel Baswedan. Tri Suhartanto mengatakan sudah diperiksa oleh Inspektorat KPK dan internal Polri.
“Adapun nominal dalam rekening merupakan perputaran uang sejak tahun 2004 hingga 2018, Kurnia menilai kasus yang terjadi di internal KPK itu merupakan bukti bahwa Ketua KPK, Firli Bahuri gagal memberikan keteladanan kepada anak buahnya,” tegasnya.
Sebab Firli diketahui dilaporkan ke Dewas KPK terkait dugaan pelanggaran etik. Dia dilaporkan mulai kasus pencopotan Brigjen Endar Priantoro hingga dugaan membocorkan dokumen penyelidikan kasus korupsi di Kementerian ESDM.
“Kasus itu disetop oleh Dewas, karena tidak menemukan bukti pelanggaran etik, namun dilanjutkan di Polda Metro Jaya yang kabarnya telah naik ke tahap penyidikan,” imbuhnya.
Dalam teori white collar crime kejahatan pungli dan gratifikasi adalah jenis kejahatan yang diduga sering dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) untuk mempercepat atau menghambat suatu proses hukum.
“Dengan permohonan proses hukum yang sama, dengan dasar alasan hukum yang sama tapi dalam dua kasus berbeda. Misalnya, ada dua perbedaan pelayanan hukum yang diberikan, satu karena tanpa gratifikasi suap permohonan ditolak. Sedangkan, suap gratifikasi permohonan diterima,” jelasnya lagi.
Bukan sekedar dugaan pungli saja, akan tetapi juga gratifikasi seksual, kasus adanya pungli terungkap. Yang di khawatirkan disiplin dan moralitas pegawai menurun, serta pelanggaran etika jika dibiarkan, tidak ada sanksi pidana dan administrasi berat maka akan jadi budaya.
“Seorang tahanan (koruptor) bisa beli sel di hotel Prodeo dengan harga kamar sekelas hotel bintang 5. KPK gagal menghukum berat koruptor walaupun tuntutan hukum tinggi tapi vonis hakim rendah, karena kurangnya bukti pendukung,” pungkasnya.
(Rmn)
Komentar