Pati – Cakranusantara.net | Aksi Demo 10 Agustus 2023 dirumorkan akan diikuti berbagai lapisan masyarakat dan mahasiswa apakah bersifat meniru aksi “Peole Power” tahun 1965 dan 1998 atau seperti aksi Damai. Yang ditakutkan akan menimbulkan kemacetan dan menghambat perjalanan pulang pergi orang kerja dan menimbulkan kerusuhan sehingga menghambat perekonomian, Jum’at (11/8/2023).
Tetapi apa yang terjadi pada Kamis 10 Agustus 2023 di Jakarta hanya demo buruh yang berpusat di Tugu Patung Kuda Jalan MH. Thamrin dengan mengusung tema “Cabut UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja UU No.6 Tahun 2023 perubahan dari UU No.11 Tahun 2020” demo kedua dikawasan Istana Aliansi masyarakat proses hukum Rocky Gerung oleh kelompok pendukung Jokowi, dan demo ketiga tentang turunkan presiden Jokowi didepan gedung DPR oleh lapisan masyarakat gabungan mahasiswa dan organisasi buruh dari berbagai sumber informasi yang didapat Penulis.
“Aksi demo itu baru surut, karena dipaksa bubar sekitar Jam 23.00 WIB. Sedangkan UU Kebebasan Perpendapat dijamin dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat dimuka umum untuk menyampaikan asprirasi suara rakyat di tempat umum atau “Parlemen Jalanan” karena menganggap agar dapat perhatian dari berbagai kalangan dan pejabat pemerintahan maupun pejabat Aparat Penegak Hukum (APH),” hal itu diungkapkan oleh Dr H. Kurnia Zakaria selaku dosen Pascasarjana UIC dan juga Advokat.
Mereka menganggap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tumpul dalam membela kepentingan masyarakat, dan hanya bisa berjanji belaka tanpa action (bertindak). Tetapi demo Parlemen Jalanan atau gerakan “People Power” di Indonesia tahun 1966 berhasil menumbangkan Pemerintahan Orde Lama dimana Presiden Soekarno dimakzulkan (diberhentikan) oleh MPRS melalu Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12 Maret 1967 dan Tahun 1998 Pemerintahan Orde Baru tumbang juga saat Presiden Soeharto mundur tanggal 21 Mei 1998.
“Pemerintahan Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh MPR 23 Juli 2001 setelah demo damai rakyat dan Wakil Presiden Megawati menggantikan karena mengeluarkan Maklumat Presiden (Dekrit Presiden jilid II) tanggal 23 Juli 2001 berisikan bubarkan DPR/MPR, mempercepat Pemilu, dan bubarkan Partai Golkar,” lanjutnya.
“People Power” gerakan demostrasi damai maupun dengan Kekerasan bersifat Parlemen Jalanan, mendesak Perubahan dengan segera Pergantian Pemerintah karena dianggap gagal dalam Pemerintahan dimana terjadinya Inflasi semakin tinggi, angka kemiskinan makin bertambah banyak, jumlah penganggiran semakin tinggi, Perusahaan atau bidang usaha tutup atau rasionalisasi dan terjadinya PHK massal, turunnya nilai mata uang rupiah ke mata uang asing.
“Dimana bunga bank tinggi dan terjadinya kebijakan devaluasi atau harga barang-barang diserahkan ke harga pasar (kaum kapitalis), Pemerintahan bersifat Otoriter, Korup, penuh Kolusi dan Nepotisme diberbagai bidang, menutup suara kritik dan mengancam orang berpendapat dengan UU (Pemidanaan) dengan UU pasal karet seperti UU ITE UU No.19 Tahun 2016 perubahan UU No.11 Tahun 2008. Pemerintah bersifat Feodalisme dan menutup suara Publik. Lebih fokus dengan meningkatkan perekonomian belaka tetapi sebenarnya mementingkan kepentingan pemilik modal dan investor dari Negara Super Power (RRC dan USA). Jadi Eksekutif sangat dipengaruhi oleh Oligarki.
Dalam gerakan “People Power” ada harus ada musuh bersama dan ditujukan pada Pemerintahan yang Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), bersifat Otoriter dan Militeristik serta menutup kebebasan berpendapat dan Informasi publik. Namun lebih mementingan kepentingan kaum Oligarki (Pengusaha dan Penguasa yang mempunyai modal/investasil dan usaha) daripada Rakyat.
Pembangunan Infrastruktur yang sia-sia karena rakyat tidak membutuhkan hanya proyek mercusuar karena tanpa rencana dan amdal uji kelayakan pendapat publik, dan lingkungan hidup serta asas manfaat tentang fungsi dan kegunaan hasil pembangunan infrakstruktur yang baru,” terangnya.
Pemimpin yang tampil seolah-olah sederhana dan merakyat, tapi cenderung Kolusi dan Nepotisme. Pemerintahan justru cenderung bersifat Dinasti dan Feodalisme. Demokrasi seakan-akan terbuka tetapi penuh kecurangan dan membuat teror para aktivis dan pengamat bersuara kebenaran dan keadilan, dan meniadakan oposisi dan membangun koalisi mayoritas pendukung Pemerintah.
“Dalam hal pemakzulan atau Impeachment Presiden Republik Indonesia. Menurutnya, Dr H. Kurnia Zakaria, sangat sulit dan membutuhkan waktu lama, karena harus melalui tahapan usulan DPR lalu dibawa ke MK dan diserahkan ke DPR untuk diusulkan ke MPR untuk pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden sesuai Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 juncto UU No 42 Tahun 2008 Perubahan UU No 23 Tahun 2003 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,”
Oleh sebab itu, hanya bisa dengan “Peole Power” damai di seluruh wilayah Indonesia atau melalui kudeta politik baik oleh sipil dengan dukungan Partai Poltik, militer, dan Mayoritas Rakyat maupun kudeta oleh militer ataupun melalui jalur perubahan /pergantian UU yang sebelumnya melalui permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan/ atau Mahkamah Agung (MA) atau pernyataan mosi tidak percaya mayoritas (lebih dari 2/3 anggota DPR/MPR).
Dalam aturan pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 diatur dalam beberapa tahapan :
1. Diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR dalam bentuk menyatakan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam pasal 178 – 182 Peraturan DPR No.1 Tahun 2014 dengan menyertakan :
– Materi dan alasan pengajuan usuan menyatakan pendapat DPR
– Materi dan bukti-bukti yang sah secara hukum dan peraturan perundang-undangan
2. Usulan tersebut dibawah ke Pimpinan DPR untuk diumumkan di Rapat Paripurna DPR.
3. Lalu dalam Rapat Paripurna DPR usulan Menyatakan Pendapat dibawa untuk dibahas ke Badan Musyawarah DPR agar para anggota usul dan mendiskusikan ke Fraksi-fraksi Partai Politik (Parpol) untuk disetujui.
4. Setelah mayoritas fraksi Parpol menyetujui lalu disahkan sebagai hasil Badan Musyawarah DPR lalu dibahas kembali ke Rapat Paripurna.
5. Lalu Rapat Paripurna DPR membentuk Panitia Khusus DPR untuk dimatangkan lebih lanjut dan hasilnya dibawa kembali ke Rapat Paripurna DPR untuk menjadi Putusan Usulan DPR untuk Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 9 ayat (3) Peraturan MK No.21 Tahun 2009.
6. MK menyidangkan Permohonan DPR tentang Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam 6 tahap maksimal 90 hari diatur dalam UU No. 7 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga UU No.24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah UU No.8 Tahun 2011 sebagai UU perubahan pertama sebagaimana telah diubah Perpu No.1 Tahun 2013 dan menjadi perubahan kedua UU No.4 Tahun 2014 tentang MK.
7. Bila Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berat dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden maka usulan menyatakan Pendapat DPR menjadi Putusan MK.
8. Lalu putusan MK tersebut oleh DPR dibawa ke MPR, dan paling lambat 30 hari harus memutuskan dalam Sidang Istimewa, sesuai dengan Peraturan MPR No 1 Tahun 2014 dan Pasal 117 ayat (1) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, & DPRD.
9. Bila Presiden dimakzulkan maka MPR mengangkat Wakil Presiden sebagai Presiden hingga akhir masa jabatan. Dalam Sidang MPR yang dihadiri minimal tiga per empat dari seluruh anggota, dan disetujui oleh dua per tiga anggota yang hadir. Setelah itu paling lambat 60 hari MPR harus memilih Wakil Presiden minimal dari 2 orang Calon Wakil Presiden atas usulan dari Presiden.
10. Bila Presiden dan Wakil Presiden dimakzulkan maka MPR mengangkat Pelaksana Tugas Kepresidenan paling lama 30 hari sebagai Plt Kepala Negara/Kepala Pemerintahan adalah dijabat bersama-sama Triumvirat Menteri Utama adalah Menteri Dalam Negeri. Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan sesuai pasal 8 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
11. Setelah 30 hari Triumvirat Menteri Plt Kepresidenan, dalam Sidang Istimewa MPR menyelenggarakan Pemilihan Presiden dan Wakil presiden minimal dari 2 calon Presiden/Wapres yang diusulkan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilu Pilpres sebelumnya hingga berakhir masa jabatan Presiden dan wakil Presiden.
Kesimpulannya pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak mempercepat Pemilihan Presiden (Pilpres) yang sudah diatur oleh Undang Undang Pemilu yang berlaku,” tandas Dr H Kurnia Zakaria, Dosen Pascasarjana UIC dan juga Advokat.
(Rmn)
Komentar