Abstrak
Kebijakan legislasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sebagai bagian dari reformasi yang hendak memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), namun demikian, pilihan kebijakan legislasi yang ditempuh dilihat secara yuridis formal telah menunjukkan sikap ‘greget’ anti korupsi, tetapi secara yuridis materiil justru sebaliknya memuat ketentuan yang dapat memperlemah upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perlemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian kebijakan legislasi yang kemudian berujung pada terbitnya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya, merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, telah membawa perubahan terhadap beberapa hal terhadap tindak pidana korupsi dan pengadilan tindak pidana korupsi, yaitu tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana biasa (umum) dan, oleh sebab itu, penanganan tindak pidana korupsi dilakukan melalui prosedur biasa/normal. Tidak lagi ada Pengadilan Tipikor yang khusus memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Berdasarkan asas kompetensi relatif pengadilan, KPK sekarang mengajukan perkara tindak pidana korupsi ke pengadilan di tempat mana tindak pidana terjadi (locus delicti).
Penanganan tindak pidana biasa melalui prosedur luar biasa dan diadili melalui pengadilan yang khusus berpotensi melanggar hak-hak hukum tersangka. Politik hukum pidana dan politik pemidanaan tindak pidana korupsi perlu ditinjau kembali agar dibedakan kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi (eksekutif) dan penegakan hukum terhadap tindak pidana (yudikatif), karena keduanya berada dalam wilayah pengaturan yang berbeda.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebaiknya hanya diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang termasuk luar biasa saja, diajukan ke pengadilan yang dibentuk secara khusus untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang luar biasa dengan tetap harus menghormati hak-hak hukum tersangka, karena hal ini menjadi kewajiban konstitusional bagi aparat penegak hukum manapun pada semua tingkatan.
Kata kunci : tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, pengadilan khusus tindak pidana korupsi, hukum pidana khusus, kejahatan luar biasa, pengadilan khusus, dan hak hukum tersangka/terdakwa.
A. Pendahuluan
Tindak pidana korupsi sebagai salah satu tindak pidana yang menyedot perhatian masyarakat dan bahkan menjadi icon gerakan reformasi dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Gerakan reformasi telah berhasil menggugah perhatian masyarakat mengenai arti pentingnya pencegahan dan penindakan pelaku tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, gerakan nasional penghapusan KKN dilanjuti dengan kebijakan legislasi yaitu mengubah dan mengganti undangundang yang melakukan perubahan pada hukum pidana materiil dan hukum pidana formil dan menambah lembaga baru yang bertugas untuk mencegah dan menangani perkara tindak pidana korupsi.
Perubahan undang-undang yang mengatur tindak pidana korupsi tersebut terus berlanjut, di samping mengatur langsung mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, juga mengatur secara tidak langsung tindak pidana korupsi, sebagian yang menekankan pada aspek pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi dan sebagian di antaranya mengatur hal-hal lain yang berkaitan langsung dengan penanganan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berfungsi untuk mendukung efektivitas pemberantsan tindak pidana korupsi. Bahkan, sebagian di antaranya adalah mengadopsi konvenan anti korupsi.
Pada awalnya, masyarakat sangat antusias terhadap kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi karena hampir semua lini kekuasaan memiliki komitmen untuk mendukung dan melakukan pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi. Semangat pemberantasan korupsi mulai membawa hasil yang dibuktikan dengan semakin bertambahnya pejabat tinggi yang diajukan ke pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi yang sebelumnya sulit untuk dijerat dan diajukan ke pengadilan karena alasan-alasan tertentu.
Dalam perkembangannya, citra efektivitas pemberantasan tindak pidana
korupsi tersebut mulai menurun, ketika muncul dugaan terjadinya
tindak pidana korupsi semakin meningkat dan telah merambah pada
semua lini penyelenggaraan negara dan lebih lagi dugaan itu ditujukan
kepada aparat penegak hukum yang diberi tugas untuk melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hasil evaluasi terhadap praktik pemberantasan dan penegakan
hukum tindak pidana korupsi dan perkembangan hukum nasional dan
internasional telah mendorong perubahan hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil dalam penanganan tindak pidana korupsi dan yang
terakhir adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan khusus
yang mengadili perkara tindak pidana korupsi dan perubahan tersebut
telah membawa implikasi hukum pada ketentuan undang-undang lain.
Tulisan ini hendak membahas mengenai beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan undang-undang yang mengatur pemberantasan tindak
pidana korupsi ditujukan pada 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Bagaimanakah perkembangan pengaturan penanganan tindak
pidana korupsi di Indonesia?
2. Bagaimanakah implikasi hukum dihapuskannya pasal-pasal tindak
pidana suap dan tindak pidana jabatan dari KUHP?
3. Bagaimanakah pengaruh dibentuknya Pengadilan Khusus Tipikor
terhadap hukum acara pidana untuk pengadilan tindak pidana
korupsi dan kewenangan KPK?
B. Perkembangan Pengaturan Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Problem tindak pidana korupsi menjadi perhatian hampir semua regim yang berkuasa di Republik Indonesia. Masing-masing regim telah menempuh upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara berbedabeda sesuai dengan tantangan yang sedang dihadapi pada masanya.
Menelusuri sejarah hukum pemberantasan tindak pidana korupsi membuktikan bahwa semua rezim yang berkuasa di Indonesia sama-sama memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi kebijakan yang ditempuh berbeda-beda. Perbedaan kebijakan hukum dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi pada masing-masing rezim tersebut dideskripsikan sebagai berikut :
Pertama, pada masa orde lama, pendekatan yang dilakukan pada awalnya menekankan pada kebijakan penegakan hukum dengan cara mengefektifkan penegakan hukum dengan menggunakan instrumen hukum pidana materiil dan hukum pidana formil yang ada pada saat itu, yaitu mengefektifkan penerapan pasal-pasal tindak pidana yang terkait dengan penyelenggaraan negara oleh pegawai negeri yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan negara. Pada masa ini, tema besarnya adalah penyelamatan keuangan negara.
Kemudian setelah dievaluasi, problem efektivitas pemberatasan tindak pidana korupsi untuk menyelamatkan keuangan negara tersebut membutuhkan prosedur hukum acara pidana yang lebih efektif, maka pilihan kebijakan hukum yang ditempuh adalah mengatur hukum acara khusus pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, masa Orde Baru. Pada masa ini telah dilakukan evaluasi produk hukum pada masa Pemerintahan Orde Lama. Kebijakan legislasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi muncul Tahun 1971 ketika Pemerintah Orde Baru hendak melaksanakan pembangunan yang dirancang secara periodik, jangka pendek (lima tahun) dan jangka panjang (25 tahun). Persoalan korupsi diantisipasi dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai langkah penyempurnaan dan penguatan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pada masa Orde Baru telah menempuh kebijakan hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan hukum pidana yang secara khusus mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam bidang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Kebijakan ini hendak menempatkan tindak pidana korupsi sebagai suatu tindak pidana yang khusus dan memerlukan perhatian dan penanganan secara khusus, kemudian dikenal dengan hukum pidana khusus. Kekhususan dari hukum pidana khusus adalah tindak pidana yang diatur dalam hukum pidana khusus sebagai tindak pidana yang dalam bahasa kebijakan hukum disebut kejahatan luar biasa (extra ordinary/serious crimes) yang penanganannya memerlukan dukungan hukum pidana yang khusus (extra ordinary criminal law) yang menyimpangi dari ketentuan umum hukum pidana, baik di bidang hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil.
Substansi hukum pidana materiil tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dibedakan menjadi tiga yaitu;
pertama, ketentuan umum (genus) tindak pidana pidana korupsi dimuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3; kedua, ketentuan khusus tindak pidana korupsi dimuat dalam rumusan tindak pidananya merujuk kepada pasalpasal KUHP yang ancaman pidana diperberat; dan, ketiga, ketentuan tambahan, yaitu tindak pidana yang terkait dengan penegakan tindak pidana korupsi, perluasan tindak pidana korupsi dan subjek hukum tindak pidana korupsi.
Model pengaturan tindak pidana korupsi dengan cara merujuk pasalpasal KUHP yang dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi kemudian memperberat ancaman pidana, sebagai model pengaturan yang lebih tepat, apabila pasal-pasal KUHP tersebut dikaitkan dengan tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP. Ada beberapa model pengaturan norma hukum pidana dalam KUHP yang dikaitkan dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP:
1. merujuk tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP tanpa mengubahnya;
2. merujuk tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP dengan memperberat ancaman pidananya;
3. merujuk tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP dengan menambah unsur-unsur baru baik secara eksplisit dalam rumusan delik atau secara diam-diam dan memperberat ancaman pidananya;
4. menggandakan rumusan tindak pidana yang dimuat dalam pasalpasal KUHP dengan menambah unsur baru dan memperberat ancaman pidana; dan
5. Menghapus tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP dan menempatkan dalam undang-undang di luar KUHP.
Yang terakhir ini tidak menunjukkan adanya keterkaitan pemberlakuan pasal-pasal KUHP dengan tindak pidana dalam undangundang baru, tetapi penghapusan pasal-pasal KUHP yang kemudian materi hukumnya dipindahkan ke dalam undang-undang tersebut umumnya dilakukan untuk membentuk sistem hukum pidana
tersendiri di luar KUHP. Kebijakan legislasi seperti ini tidak tepat dalam
sistem hukum pidana nasional yang menganut kodifikasi.
Ketiga, masa Reformasi. Pada masa reformasi ini perubahan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak dilakukan dan dirancang
melalui kajian ilmiah yang mendalam sehingga menghasilkan undangundang tindak pidana korupsi yang kurang sempurna. Hal ini ditandai dengan beberapa kelemahan mendasar dari undang-undang yang mengatur tindak pidana korupsi:
1. Tidak diaturnya ketentuan peralihan (hukum transisi) dalam UndangUndang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menghapus Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baru kemudian, setelah ada kritik, ketentuan peralihan dimuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Dimasukkannya kata “dapat” sebelum kalimat “merugikan keuangan negara…” dengan maksud untuk mengubah rumusan delik materiil menjadi delik formil, telah menimbulkan problem penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, karena menurut doktrin masuknya kata “dapat” tersebut telah mengganggu dan bertentangan dengan asas kepastian hukum dan pengalaman sejarah diberlakukannya Undangundang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi yang juga menggunakan kata “dapat” yang diikuti dengan keadaan hukum dalam praktik penegakannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan hak-hak hukum tersangka/ terdakwa dan kemudian dicabut melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
3. Memperberat ancaman pidana dan memasukkan ancaman minimum
khusus yang relatif tinggi/berat, yaitu 4 tahun penjara dan ancaman minimum denda tanpa memberi rambu-rambu penerapannya menimbulkan problem dalam praktik penegakan hukum dan
penjatuhan pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi, karena masing-masing pelaku dalam tindak pidana penyertaan memiliki peran yang berbeda-beda yang dinilai terlalu berat jika dikenakan ancaman pidana minimum khusus penjara atau nilai kerugian yang relatif kecil yang tidak seimbang dengan ancaman minimum denda.
Permasalahan hukum tersebut telah membawa problem tersendiri dalam praktik penegakan hukum pidana tindak pidana korupsi, di satu pihak dituntut untuk menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara tegas dan konsisten sesuai dengan tuntutan reformasi, tetapi di pihak lain, jika hukum ditegakkan secara tegas dan konsisten dapat menimbulkan ketidakadilan bagi pelanggar hukum pidana yang dijadikan tersangka/ terdakwa/ terpidana. Acapkali pilihan untuk tidak mengajukan pelanggar hukum pidana ke pengadilan dinilai oleh aparat penegak hukum lebih tepat dan bijaksana daripada memproses dan mengajukan ke pengadilan yang sudah jelas berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap prinsip penegakan hukum dan keadilan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
C. Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyisakan dua problem hukum yaitu memuat ketentuan peralihan yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan pencabutan pasal-pasal KUHP yang kemudian normanya dipindahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dinilai masih banyak kekurangan yang memerlukan perubahan yang mendesak, terutama tidak adanya ketentuan peralihan yang menyebabkan terjadinya interpretasi bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak lagi berlaku dan tidak dapat diberlakukan lagi karena tidak ada ketentuan peralihan sebagai hukum peralihan. Tidak adanya ketentuan peralihan tersebut menurut hukum administrasi perundang-undangan adalah janggal, apalagi terbitnya undang-undang baru tersebut berisi perubahan terhadap undang-undang lama. Semestinya hal itu tidak terjadi, meksipun dengan dalih telah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang isinya menyatakan bahwa:
Pasal 1
(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) memuat asas hukum yang menyatakan bahwa apabila perubahan undang-undang diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka/ terdakwa adalah asas hukum yang murni berlaku untuk pemberlakuan hukum pidana. Penerapan asas hukum tersebut dimaknai dalam dua pembatasan; pertama, dalam arti sempit yakni berlaku untuk undang-undang hukum pidana saja; dan, kedua, dalam arti luas yakni berlaku untuk semua undang-undang yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan, baik di bidang hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi.
Menurut doktrin hukum, Pasal 1 ayat (2) dimaknai secara luas, maka perubahan undang-undang tersebut mencakup perubahan undangundang dalam lapangan hukum lain yang terkait dengan tindak pidana yang didakwakan. Ketentuan peralihan diperlukan dalam setiap penerbitan suatu undang-undang, baik undang-undang di bidang hukum administrasi, hukum keperdataan, dan hukum pidana. Adanya ketentuan peralihan dalam suatu undang-undang yang baru diperlukan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan konflik hukum antara ketentuan lama dengan ketentuan baru, atau problem hukum yang terjadi sehubungan dengan pemberlakuan hukum baru, apalagi terbitnya suatu undang-undang tersebut berisi perubahan sampai dengan pencabutan terhadap materi hukum yang diatur dalam dalam undang-undang sebelumnya. Jadi, persoalan ketentuan peralihan adalah persoalan hukum administrasi pembetukan peraturan perundang-undangan, bukan persoalan hukum pidana.
Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut telah menimbulkan akibat hukum, yaitu hukum yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi dan hukum yang baru dinyatakan berlaku. Permasalahan hukum yang terkait dengan hukum yang lama yang telah dicabut tidak dapat diteruskan lagi, karena tidak ada dasar hukum pemberlakuannya (tidak ada hukum peralihan), dan jika diselesaikan dengan mendasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, pencabutan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dipandang sebagai pertimbangan yang menguntungkan bagi tersangka/ terdakwa, yakni dikenakan hukum yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Permasalahan hukum yang muncul, undang-undang yang mana diberlakukan ketentuan peralihan yang dimuat dalam Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001? Ketentuan Pasal 43A ayat (1) dikutip selengkapnya:
Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-Undang ini dan Pasal 13 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan tersebut jelas merujuk kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang berarti peralihan dimaksud adalah dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan kepada UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menurut doktrin hukum tidak lazim, karena undangundang tersebut telah dinyatakan dicabut (tidak berlaku lagi) berdasarkan ketentuan Pasal 44 Bab VII Ketentuan Penutup UndangUndang 31 Tahun 1999:
Pasal 44
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku. Berdasarkan Pasal 44 tersebut, sejak 16 Agustus 1999 tanggal diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian, undang-undang tersebut tidak bisa dihidupkan lagi berdasarkan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 melalui Pasal 43A ayat (1). Ketentuan peralihan tersebut hanya berlaku terhadap peralihan dari UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Mengenai permasalahan hukum ini pembentuk hukum melalui Penjelasan Umumnya menyatakan :
Sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan.
Hal ini disebabkan Pasal 44 undang-undang tersebut menyatakan bahwa
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Persoalan ketiadaan ketentuan peralihan tersebut jelas dilakukan secara sengaja oleh pembentuk hukum, dan baru kemudian setelah ada protes, dilakukan ralat melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Atas dasar permasalahan hukum tersebut, pertanyaan hukum yang mendasar adalah mengapa pembentuk hukum pada masa reformasi yang semestinya mengambil kebijakan hukum yang ketat dan tegas dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi justru mengambil kebijakan hukum yang longgar yaitu tidak mencatumkan ketentuan peralihan ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memberi peluang kepada terduga pelaku tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 yang melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 meloloskan diri atau tidak dapat diproses dan diajukan ke pengadilan? Akibat ketiadaaan ketentuan peralihan tersebut, banyak
perkara tindak pidana korupsi tidak diproses dan yang sedang diproses
diberhentikan dan sebagian diputus lepas dari tuntutan hukum. Bagian lain diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah dicabutnya beberapa pasal KUHP dan normanya dimuat dalam undang-undang ini. Pencabutan pasal-pasal KUHP tersebut didasari dengan maksud penegasan bahwa tindak pidana suap adalah tindak pidana korupsi, maka pasal-pasal yang mengatur tindak pidana suap dicabut
dari KUHP dan dipindahkan ke dalam undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi. Pencabutan tersebut diatur dalam Pasal 43B:
Pasal 43 B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.
Pencabutan sebanyak 13 pasal KUHP dan dipindahkan ke dalam undang-undang di luar KUHP tersebut tidak lazim, karena di samping maknanya menjadi berubah dan kebijakan tersebut telah mengubah sistem hukum pidana nasional Indonesia yang berbasis kodifikasi menjadi hukum pidana yang parsial dan serba eksepsional.
Pencabutan dan pemindahan tersebut telah membawa akibat hukum lain terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
1. Semua tindak pidana suap dengan segala bentuknya adalah tindak pidana korupsi dan tidak ada lagi suap yang bukan tindak pidana korupsi. Sebelumnya, tindak pidana dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana suap yang termasuk delik umum (KUHP) dan tindak pidana suap yang termasuk sebagai tindak pidana korupsi yang termasuk ketegori tindak suap yang ‘luar biasa’;
2. Telah menghilangkan sifat keluarbiasaan hukum pidana (extra ordinary criminal law) yang dimuat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berfungsi untuk mengatasi tindak pidana (kejahatan) yang luar biasa (extra ordinary crimes), sekarang telah menjadi kejahatan yang biasa (ordinary crimes). Sifat ordinary tersebut terjadi ketika dicabutnya pasal-pasal KUHP yang kemudian dimasukkan ke dalam undang-undang tindak pidana korupsi (Nomor 20 Tahun 2001), karena pasal-pasal yang mengatur tindak pidana suap yang nilainya yang paling kecil sampai dengan luar biasa besar (‘mega suap’), sehingga tidak pada tempatnya mengkategorikan tindak pidana biasa dan ringan sebagai tindak pidana luar biasa yang ditangani dengan prosedur yang luar biasa hanya disebabkan karena ditempatkan dalam undang-undang khusus di luar KUHP;
3. Nilai kerugian keuangan negara tidak dibatasi jumlah minimumnya, sedangkan nilai suap dibatasi hanya untuk kepentingan pembuktian dan dalam hal tertentu dijadikan dasar pemidanaan. Akan tetapi kebijakan umum perumusan ancaman pidananya dinaikkan disertai dengan ancaman pidana minimum khusus, menunjukkan arah perubahan politik hukum pidana dan politik pemidanaan yang tidak jelas dan tidak konsisten. Sebagai contoh, ketentuan gratifikasi yang diberi batasan sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) yang dijadikan dasar penentuan kewajiban pembuktian, tetapi tidak ada batasan minimum gratifikasi, menunjukkan bahwa pembentuk hukum hendak menempatkan sifat jahatnya tindak pidana gratifikasi terletak pada perbuatan dan, oleh karena itu, ditempatkan sebagai kejahatan yang luar biasa. Ancaman pidana terhadap tindak pidana gratifikasi adalah sama berapapun jumlah gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pembentuk hukum mengabaikan ketentuan Pasal 12C yang menunjukkan corak hukum administrasi dari tindak pidana gratifikasi yaitu melapor atau tidak melapor kepada KPK (laporan hanya disampaikan kepada KPK). Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara setelah menerima gratifikasi dalam jangka waktu 30 hari tidak melapor kepada KPK, maka perbuatan menerima gratifikasi tersebut sebagai tindak pidana (melawan hukum). Sebaliknya, jika penerima gratifikasi melapor sebelum batas waktu 30 hari perbuatan tersebut adalah bukan sebagai tindak pidana (tidak melawan hukum). Jadi sifat melawan hukum perbuatan gratifikasi terletak pada tidak melapor penerimaan gratifikasi tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Sulit dimengerti, mengapa ancaman pidana terhadap tindak pidana gratifikasi termasuk kategori sangat berat dan tidak proporsional dibandingkan dengan sifat tercelanya atau melawan hukumnya tindak pidana gratifikasi yang bersumber dari hukum administrasi. Sementara pemberi gratifikasi tidak dikenakan sanksi pidana, sebagai salah satu bentuk pidana suap. Semestinya pemberi gratifikasi yang menjadi pasangan dalam tindak pidana suap gratifikasi juga dikenai sanksi pidana yang sama dengan penerima gratifikasi, mengingat niat untuk memberikan gratifikasi sepenuhnya bersumber dari pemberi gratifikasi.
Hal ini juga untuk menghindari kemungkinan disalahgunakannya gratifikasi untuk merusak kehormatan atau nama baik pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima gratifikasi, pada hal yang bersangkutan tidak ada niat dan maksud untuk mendorong orang lain menyerahkan gratifikasi kepada dirinya.
Terkait dengan nilai kerugian, dari beberapa ketentuan pidana yang berasal dari KUHP, dikelompokkan berdasarkan nilainya lebih dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang dijadikan dasar penentuan perbedaan ancaman pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A :
Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Tindak pidana korupsi yang nilainya lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) diancam dengan pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, sedangkan tindak pidana yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) diancam dengan pidana yang sama yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Perlu diketahui bahwa ancaman pidana dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 ancaman pidananya dari paling lama pidana penjara 5 tahun sampai dengan pidana penjara seumur hidup. Jadi, Pasal 12A dalam merumuskan ancaman pidana dilakukan berdasarkan nilai uang yang dijadikan transaksi (diserahterimakan dalam suap) dengan ancaman pidana yaitu lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) lebih berat dan kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) diancam dengan pidana yang lebih ringan tetapi ancaman pidananya sama (paling lama 3 tahun penjara).
Politik pemidanaan dalam pasal-pasal yang dikutip tersebut di atas, ternyata tidak sama dengan politik pemidanaan dalam ketentuan yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang menyamaratakan ancaman pidana terhadap semua pelaku, tanpa membedakan nilai kerugian keuangan negara akibat tindak pidana.
Politik pemidanaan tersebut menunjukkan bahwa adanya keinginan untuk menyamaratakan ancaman tindak pidana korupsi sebagai bentuk konsekuensi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, tetapi di sisi lain mengakui bahwa adanya perbedaan yang signifikan nilai atau jumlah materi dalam tindak pidana suap yang termasuk kategori ringan. Berdasarkan argumen hukum tersebut, menunjukkan bahwa setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (juga diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009), tindak pidana korupsi tidak lagi dipandang sebagai tindak pidana atau kejahatan yang luar biasa, melainkan tindak pidana biasa dan sebagian di antaranya adalah tindak pidana yang diperberat atau yang dikualifisir.
Perubahan hukum pidana khusus untuk menangani kejahatan yang luar biasa menjadi hukum pidana biaslogik. a yang dipergunakan untuk menangani tindak pidana biasa tersebut merupakan konsekuensi logik dari politik hukum pidana dan politik pemidanaan yang dipilih oleh pembentuk hukum sebagaimana yang dimuat dalam undang-undang perubahan, meskipun hal ini tidak dikehendaki oleh pembentuk hukum.
Implikasi hukum dihapuskannya pasal-pasal suap dan tindak pidana jabatan dari KUHP menjadi tindak pidana korupsi melalui UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 telah menimbulkan problem hukum tersendiri, yaitu menghilangkan sifat eksepsionalitas tindak pidana korupsi yang semula sebagai tindak pidana yang sangat berat dan memiliki kualitas sebagai tidak pidana luar biasa (extra ordinary crimes)
menjadi tindak pidana biasa (ordinary). Di samping itu, memperlemah
penanganan tindak pidana suap yang semula sebagai tindak pidana
umum dimuat dalam KUHP yang ancaman pidananya relatif ringan,
menjadi tindak pidana yang ancaman pidana berat, sehingga aparat penegak hukum cenderung menempuh untuk tidak memproses dan mengajukan ke pengadilan yang disebabkan oleh beratnya ancaman pidana (minimum dan maksimum khusus) yang dinilai tidak proporsional dengan nilai materi suap. Dalam praktiknya, praktis hampir tidak ada pasal-pasal suap yang relatif kecil tersebut dilaporkan oleh masyarakat, apalagi diproses dan diajukan ke pengadilan.
D. Terbentuknya Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sama sekali tidak mengamanatkan dibentuknya pengadilan khusus tindak pidana korupsi, tetapi mengamanatkan
dibentuknya komisi independen pemberantasan tindak pidana korupsi
(Pasal 43 ayat 1). Kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai
dasar hukum pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang disingkat menjadi KPK.
Ide pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi muncul dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dimuat dalam Bab VII tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Pasal 53 sampai dengan Pasal 62. Pembentukan Pengadilan Korupsi dimuat dalam Pasal 53 dikutip selengkapnya:
Pasal 53
Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dibentuk dan bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK permasalahan hukum :
1. Pengadilan Tipikor dibentuk berdasarkan Undang-udang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimuat dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 62. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatur tentang kekuasaan eksekutif tetapi di dalamnya mengatur kekuasaan yudikatif. Dalam pembentukan Pengadilan Tipikor tersebut, konsideran hukumnya tidak merujuk kepada Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagai undang-undang organik dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur lebih lanjut penggunaan kekuasaan kehakiman. Akibat teknik pembentukan perundangundangan yang demikian ini, Pengadilan Tipikor tidak memperoleh mandat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjadi alasan ketidakabsahan Pengadilan Tipikor dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
2. Pengadilan Tipikor dibentuk hanya untuk memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Hal ini berarti bahwa Pengadilan Tipikor hanya melayani kebutuhan hukum KPK, pada hal pembentukannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Model pengaturan yang demikian ini, dapat mempengaruhi independensi atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang harus dijalankan oleh para hakim di Pengadilan Tipikor dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan dan mengesankan bahwa Pengadilan Tipikor berada di bawah kekuasaan eksekutif KPK.
3. Ketentuan yang mengatur pembentukan Pengadilan Tipikor yang ditempatkan sebagai bagian dari lembaga pemberantas tindak pidana korupsi tersebut di atas telah mempengaruhi cara kerja Pengadilan Tipikor yang harus menghukum terdakwa tindak pidana korupsi demi pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran pengadilan Tipikor yang demikian ini tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan peradilan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan Pengadilan Tipikor melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut telah diuji materiil dan hasil pengujian materiil tersebut dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 yang intinya menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimuat dalam Pasal 53-62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah inskonstitusional.
Atas dasar Putusan MK tersebut telah diterbitkan produk hukum baru yaitu Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan ketentuan Pasal 39 telah mencabut berlakunya Pasal 53-62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Pengadilan Tipikor ini berbeda dengan Pengadilan Tipikor sebelumnya yang hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana yang penuntutannya diajukan oleh KPK.
Ada beberapa perubahan dalam pembentukan Pengadilan Tipikor,
yaitu:
1. Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus di lingkungan
peradilan umum Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus diatur dalam Pasal 2: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Berarti tidak ada lagi pengadilan umum atau khusus lain yang memiliki wewenang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi selain pengadilan khusus yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 yang berada pada pengadilan umum. Berbeda dengan sebelumnya, Pengadilan Tipikor hanya
berada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2. Pengadilan Tipikor diberi wewenang untuk mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya dari Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan Pengadilan Tipikor diperluas bukan hanya berwenang
mengadili perkara tindak pidana korupsi tetapi juga diberi wewenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana
korupsi.
3. Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Pengadilan Tipikor merupakan “satu-satunya pengadilan” yang diberi wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Perkara tindak pidana korupsi tidak lagi diproses melalui pengadilan ganda seperti sebelumnya yaitu Pengadilan Umum yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan penuntut umum dari kejaksaan dan Pengadilan Tipikor di Pengadilan Jakarta Pusat yang penuntutannya diajukan oleh KPK, melainkan menjadi satu-satunya pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntut
umum, baik penuntut umum yang berada di bawah manajemen Kejaksaan Agung maupun penuntut umum di bawah manajemen KPK.
Penataan ulang penyelenggaraan peradilan tindak pidana korupsi melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tersebut telah membawa implikasi hukum:
1. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadi pengadilan khusus yang mengadili (semua) perkara tindak pidana korupsi. Sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum dan keadilan telah membawa perubahan ke arah yang positif, yaitu penegakan asas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan memberi peluang penyelenggaraan peradilan yang adil (fair trial) dan non-diskriminatif.
2. Karena Pengadilan Tipikor sudah menjadi pengadilan khusus yang mengadili semua perkara tindak pidana korupsi, maka semua perkara tindak pidana korupsi memiliki kedudukan yang sama, dan semestinya diproses dengan menggunakan prosedur hukum acara pidana yang sama. Tidak lagi diperbolehkan adanya prosedur hukum acara pidana yang berbeda terhadap semua tersangka/ terdakwa perkara tindak pidana korupsi yang dapat diperiksa dan diajukan ke Pengadilan Tipikor, meskipun diproses oleh lembaga atau instansi yang berbeda.
3. Di hadapan Pengadilan Tipikor, penuntut umum baik di bawah manajemen kejaksaan maupun di bawah manajemen KPK memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang istimewa atau diistimewakan, tetapi semua perkara tindak pidana korupsi adalah perkara pidana yang menjadi prioritas untuk diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan. Keberadaan Pengadilan Tipikor ini telah menggeser kedudukan penuntut umum pada KPK (karena telah menjadi sama dengan penuntut umum pada kejaksaan) mengenai beberapa hal:
a. Mengajukan perkara pidana tindak pidana korupsi di seluruh wilayah Pengadilan Tipikor yang ada di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan dasar penetapan kompetensi relatif Pengadilan Tipikor.
b. Tunduk kepada prosedur beracara pidana khusus pada Pengadilan Tipikor sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009, di samping harus tindak kepada hukum acara pidana umum yang diatur dalam KUHAP.
c. Perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum pada KPK menjadi sama kedudukannya dengan perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum pada kejaksaan dan berlaku pada semua tingkatan pengadilan sampai dengan Mahkamah Agung.
d. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK sebagai kompetensi penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK bukanlah kompetensi absolut, karena perkara tindak pidana korupsi tersebut dapat juga ditangani oleh penyidik polisi dan penyidik jaksa, dan penuntutannya dapat dilakukan oleh penuntut umum pada kejaksaan. Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 11:
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). menjadi kehilangan ‘jiwa’ hukumnya dan tidak lagi memiliki sifat eksepsionalitas prosedur penegakan hukumnya sebagai suatu tindak pidana korupsi yang memiliki kualifikasi khusus yang memerlukan proses peradilan yang khusus.
E. Penanganan Tindak Pidana Korupsi oleh KPK
Berdasarkan analisis hukum tersebut di atas menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi yang semula dipersepsi sebagai tindak pidana yang luar biasa, dengan dihapuskannya pasal-pasal KUHP yang kemudian materinya dimasukkan sebagai materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka menghilangkan sifat keluarbiasaan dari tindak pidana korupsi. Permasalahan hukumnya adalah apakah masih diperlukan prosedur yang luar biasa dalam menangani tindak pidana korupsi?
Sesuai dengan doktrin hukum, prosedur penanganan suatu kejahatan diukur dari sifat kejahatan itu sendiri, prosedur yang luar biasa hanya cocok untuk menangani kejahatan yang luar biasa dan tidak cocok untuk menangani kejahatan yang biasa. Penanganan dengan menggunakan prosedur yang luar biasa dapat berpotensi melanggar hak-hak tersangka/terdakwa yaitu hak untuk diproses dan diadili secara adil (fair trial).
Berdasarkan asumsi yang menjadi dasar pembentukan undangundang tindak pidana korupsi dan undang Pengadilan Tipikor bahwa semua perkara tindak pidana korupsi adalah sama, diproses melalui prosedur yang sama, diajukan oleh lembaga yang berbeda, dan diadili oleh pengadilan yang sama, maka ada beberapa alternatif pengaturan tindak pidana korupsi:
1. Semua tindak pidana yang termasuk kategori tindak pidana korupsi adalah tindak pidana biasa (umum), tempat pengaturannya dikembalikan ke dalam KUHP, tetapi penegakan hukumnya menjadi perhatian yang khusus dan kebijakan penegakan hukumnya diprioritaskan (kembali kepada kebijakan legislasi pada tahap awal yaitu mengefektifkan pasal-pasal KUHP untuk memberantas perkara tindak pidana korupsi).
2. Dari tindak pidana korupsi yang biasa tersebut dibuat kriteria sebagai tindak pidana korupsi yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi yang ‘luar biasa’ sehingga perlu ketentuan tersendiri sebagai hukum pidana khusus (extra ordinary criminal law) untuk menangani kejahatan korupsi yang ‘luar biasa’. Sifat eksepsionalitas penanganan tindak pidana korupsi hanya ditoleransi kepada tindak pidana korupsi yang termasuk ketegori ‘luar biasa’.
3. Semua aparat penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi diberi wewenang yang sama dan tunduk kepada hukum prosedur/acara yang sama, kecuali terhadap penanganan tindak pidana korupsi yang termasuk kategori ‘luar biasa’.
4. Oleh sebab itu, kewenangan KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 perlu diubah dengan menempatkan KPK diberi tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan hanya terhadap perkara tindak pidana korupsi yang termasuk kategori ‘luar biasa’ dengan menggunakan prosedur hukum acara pidana yang menyimpangi dari hukum acara pidana yang umum sebagai bentuk pengecualian (eksepsional).
Eksepsionalitas prosedur penanganan perkara tindak pidana korupsi yang termasuk ketegori yang ‘luar bisa’ tersebut hanya dimiliki oleh KPK (sebagai satu-satunya lembaga), sedangkan polisi dan jaksa diberi wewenang untuk menangani perkara tindak pidana korupsi yang termasuk kategori biasa/umum dengan menggunakan prosedur hukum acara pidana umum.
Tidak bijaksana jika tetap mempertahankan bahwa semua tindak
pidana korupsi sebagai tindak pidana yang luar biasa dan ditangani dengan menggunakan prosedur yang luar biasa. Sesungguhnya dalam menangani perkara tindak korupsi agar memiliki daya cegah yang efektif adalah terletak pada “greget” aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, bukan terletak pada sifat eksepsionalitas hukum pidana materiil atau hukum pidana formil.
Ketersediaan sumber daya manusia aparat penegak hukum yang berkualitas, jujur, memiliki komitmen dan berani merupakan hal lebih penting dan utama dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di masa sekarang dan di masa datang, dibanding dengan
melakukan kebijakan pembaruan hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil, sebagaimana kebijakan yang ditempuh selama ini. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa hukum yang baik dan sempurna akan menjadi rusak karena aparat penegak hukumnya dan hukum yang rusak dan tidak sempurna akan menjadi baik dan sempurna karena
aparat penegak hukumnya. Tetapi, aparat penegak hukum yang baik saja tidaklah cukup, dibutuhkan adanya keberanian dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Jika lembaga KPK tetap dipertahankan memiliki wewenang yang
berbeda dengan aparat penegak hukum lain, perbedaan itu ditentukan berdasarkan kompetensi penanganan perkara pidana yang khusus atau disebut ‘luar biasa’ (Pasal 11 yang perlu direvisi) dan satu-satunya lembaga yang diberi wewenang penyelidikan/penyidikan dan
penuntutan adalah lembaga KPK. Jika kriteria tindak pidana korupsi yang ‘luar biasa’ tersebut diterima, maka dapat ditoleransi adanya pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang bersifat luar biasa yang hanya diberi wewenang untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi yang ‘luar biasa’.
Penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK melalui Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 menjadi tidak efektif dan efisen karena
keterbatasan sumber daya manusia pada KPK jika harus mengajukan perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di seluruh wilayah Republik Indonesia berdasarkan kompetensi relatif Pengadilan Tipikor. Oleh sebab itu, KPK perlu segera melakukan reorientasi kebijakan penanganan perkara tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 agar lebih efektif dan efisien dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengingat, KPK memiliki tugas yang lebih variatif dibandingkan dengan polisi dan jaksa sebagaimana dimuat dalam Pasal 6, yaitu:
Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Berdasarkan ketentuan di atas, KPK perlu segera melakukan langkah-langkah strategik dan melakukan peninjauan ulang kebijakan selama ini guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum yang terjadi baik langsung atau tidak langsung berkaitan dengan tindak pidana korupsi, khususnya telah dibentuknya Pengadilan Tipikor.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan hukum yang terjadi, pilihan menempatkan tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam Pasal 11 huruf c sebagai alternatif pilihan yang terakhir (ultimum remedium) setelah melaksanakan tugas huruf a, b, d dan huruf e hasilnya tidak efektif dalam melakukan pemberantasan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Pilihan tersebut tidak mengurangi eksistensi lembaga KPK yang dibentuk sebagai lembaga khusus yang fokus menangani pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi justru dengan pilihan tersebut, KPK dapat menjalankan pelaksanaan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara total dengan menggerakkan lembaga lain yang diberi wewenang untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Jika KPK tetap mempertahankan kebijakan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam Pasal 11 huruf c sebagai pilihan utama dan diutamakan (seperti sekarang), maka selama itu pula KPK telah menjadi kompetitor dengan lembaga lain yang diberi wewenang untuk melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Keadaan seperti ini justru menjadi faktor yang memperlemah kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi secara nasional dan KPK kehilangan jiwanya sebagai lembaga independen yang fungsi dan tugasnya untuk menggerakkan semua lembaga yang diberi tugas untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Apabila semua lembaga tersebut telah berfungsi secara efektif, peran KPK dikurangi dan bahkan dipertimbangkan untuk dihapuskan.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kebijakan legislatif dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dalam rangka menjalankan amanat reformasi secara yuridis formal telah menghasilkan terbitnya beberapa undang-undang yang dimaksudkan untuk memperkuat dan mengefektifkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian, secara yuridis materiil mengandung kelemahan dan dapat memperlemah pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Perlemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian kebijakan legislasi yang kemudian berujung pada terbitnya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya, merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 telah membawa perubahan terhadap beberapa hal terhadap tindak pidana korupsi dan pengadilan tindak pidana korupsi, yaitu tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana biasa (umum) dan, oleh sebab itu, penanganan tindak pidana korupsi dilakukan melalui prosedur biasa/ normal. Dengan demikian lagi ada Pengadilan Tipikor yang khusus memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK dan berdasarkan asas kompetensi relatif pengadilan, KPK mengajukan perkara tindak pidana korupsi ke pengadilan di tempat tindak pidana terjadi.
Dalam kaitannya dengan hukum pidana materiil, politik hukum pidana dan politik pemidanaan pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perlu ditinjau kembali agar dibedakan kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum terhadap tindak pidana, karena keduanya berada dalam wilayah pengaturan yang berbeda yang tidak boleh disatukan. Pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi kompetensi kekuasaan eksekutif dan penegakan hukum menjadi kompetensi kekuasaan yudikatif yang terkait dengan penggunaan kekuasaan kehakiman dalam rangkana penegakan hukum dan keadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka untuk mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi di masa datang perlu dipikirkan mengenai beberapa hal, yaitu :
Pertama, kelemahan dan ketidakefektifan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang bersumber dari sumber daya aparat penegak hukum tidak tepat jika direspon dengan melakukan perubahan materi hukum pidana materii dan memberikan wewenang eksepsional dalam bidang hukum pidana formil. Perubahan dengan cara yang demikian ini dapat merusak tatanan sistem hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Memperkuat peran aparat penegak hukum dengan cara mengatur pemberian wewenang yang melebihi dari ketentuan hukum pidana formil atau pemberian wewenang khusus yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana formil (eksepsional) dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum, tetapi keadaan tersebut berpotensi melanggar hak-hak hukum tersangka/ terdakwa yang juga dilindungi oleh hukum dan konstitusi.
Kedua, tidak semua tindak pidana korupsi yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 adalah tindak pidana yang termasuk kategori tindak pidana yang luar biasa, maka perlu dipikirkan secara mendalam mengenai tindak pidana korupsi yang mana yang termasuk kategori tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary criminal law dan extra ordinary crimes) yang memerlukan penanganan khusus yang menyimpangi dari prosedur hukum acara biasa (extra ordinary criminal law procedure).
Ketiga, dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK sebaiknya hanya diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang termasuk luar biasa dan merupakan satu-satunya lembaga yang diberi wewenang untuk itu, diajukan ke pengadilan yang dibentuk secara khusus untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang luar biasa. Meskipun demikian, hak-hak tersangka/ terdakwa dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi tetap harus dihormati dan ditegakkan, karena hal ini menjadi kewajiban konstitusional bagi aparat penegak hukum manapun pada semua tingkatan.
Sumber : Dr. Kurnia Zakaria, S.H., M.H.
Editor ; A Rohman (UBK)
Komentar