oleh

Moral Pelaku Hukum Bobrok, Dikriminalisasi Suap Pegawai KPK Menjadi Pelanggaran Etika

Jakarta – Cakranusantara.net | Tragisnya Miralitas Hukum, 93 orang oknum Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga telah menerima suap dan gratifikasi dari para Tahanan/ Keluarga Tersangka/ Terdakwa/ Terpidana Tipikor dan/ atau TPPU hanya dijatuhi sidang etika dan disiplin oleh Dewan Pengawas (Dewas KPK), ” hal itu diungkapkan oleh Dr. Kurnia Zakaria.

Masih lanjut, Kurnia, cukup hanya dijatuhi hukuman Klarifikasi permohonan maaf saja, yang dilakukan tanggal 26 Februari 2024 yang lalu. Sesuai Peraturan Dewas KPK No.3 Tahun 2021 yang dilakukan sebanyak 78 orang pegawai KPK, sedangkan 12 orang pegawai KPK diserahkan perkaranya untuk ditindaklanjuti pimpinan KPK (Sekretaris Jenderal KPK) entah apa sanksi administrasinya?.

“Dalam keterangan pers, Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean (mantan Komisioner KPK/ mantan Jaksa) hari Kamis 15/2/24 lalu. Sedangkan 3 orang pegawai KPK sebagai aktor intelektual (Koordinator Lapangan) dan penerima jatah pungli paling besar akan segera disidangkan, sidang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku yang dijanjikan pada 3 Maret 2024 nanti (terasa lama jedanya??),” lanjutnya.

Kurnia menilai, hukumannya sangatlah ringan, walaupun itu aturan Perdewas KPK No.3/2021. Orang diluar KPK saja dikenakan UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No.20 Tahun 2001 tentang Tipikor, UU No.11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, sanksi hukumnya saja berat minimal diatas 1 tahun penjara dan pemecatan. Belum lagi dikenakan KUHP (UU No.73 Tahun 1958 juncto UU No.1 Tahun 1946 bukan UU No.1 Tahun 2023 karena baru berlaku 1 Januari 2026)

“Dulu berani memecat, tahun 2021 memecat 75 pegawai yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), sedangkan apakah Nilai Tunduk pada Pimpinan dan Fanatisme Pancasilais lebih berharga dan bernilai lebih tinggi dari kejujuran dan berani, nyaman hidup sederhana sesuai penghasilan dan halal. Sedangkan, Ketua KPK Firli Bahuri diduga menerima gratifikasi dalam proses penyidikan tersangka Mentan Syahril Yasin Limpo,” terangnya.

Alangkah lucunya negeri ini, mengutip judul film komedi satire Deddy Mizwar yang rilis 21 April 2010 lalu, melihat Diskriminasi hukuman Pungli pegawai KPK, dengan apa tugas KPK sendiri dalam memberantas korupsi. Seharusnya KPK ganti nama jangan pakai Komisi jadi kesannya “fee/ jatah/ upeti/ sumbangan dan wajib setoran bagi hasil keuntungan atau uang jasa”.

Selama ini makin banyak masalah utama dalam kejahatan adalah pemidanaan, bukan perilaku kriminal. Mengapa suatu pola perilaku tertentu dinyatakan kriminal, sedangkan pola lain yang sama tidak. Pada level lain, mengapa individu tertentu melakukan kejahatan diidentifikasi dan ditangani sebagai penjahat, sedangkan pada individu lain yang mempunyai kaitan relasi kuasa dan solidaritas korps melakukan kejahatan yang sama tidak dipandang sama juga.

“Diskriminasi dan ketidaksetaraan hukum. Fokus masalah ini, menurutnya, yang harus dilihat adalah pembuat peraturan dan perilaku hukum. Pembuat aturan harus memahami filosofi hukum itu sendiri dan bisa membuat naskah akademik aturan yang akan dibuat. Perilaku Penegak Hukum harus baik, berani, berakhlak, bertanggungjawab, dan jujur. Mungkin lebih baik Aturan jelak tapi Aparat Hukumnya Bagus tentu Hukum akan adil, daripada Aturan Bagus tapi APH nya bobrok/ jelek tentu hukum disalahgunakan dan diselewengkan.

“Tapi yang kita harapkan, tentu saja Aturan dan APH bagus, tentu Hukum menjadi Adil tanpa Diskriminasi Hukum. Aparat Penegak Hukum jangan jadi Keparat Hukum!!, Jadi pola rekruitment pegawai ditinjau ulang, jangan hanya mementingkan Tes Wawasan Kebangsaan tapi Tes Motif dan Motivasi pegawai, dan rekam jejak Idealiasme dan Perilaku moralitas, etika bukan hanya kesetiaan pada pemerintahan tapi jiwa yang Disiplin, Kinerja yang pernah dicapai, latar belakang religi dan jiwa patriotik,”

Kembali ke Khittah KPK pertama kali berdiri dengan penuh keterbatasan, dan tantangan dari pihak yang terganggu “zona nyamannya”. Punishment and reward atas kinerja pegawai dan bersifat kontinyu. Harus bisa membaur dan solid ke kalangan aparat penegak hukum lain dan penyidik PNS instansi terkait. Jangan merasa ekslusif dan kebal hukum. Saran saya sanksi 93 pegawai seharusnya menjatuhkan hukuman berat Pemecatan Dengan Tidak Hormat (PTDH) dan hukuman ringan Demosi (Nonjob/ Turun pangkat dan Tunjangan Kinerja). Jangan takut Hapus, banyak Aktivis Anti Rasuah Siap gantikan posisi 93 pegawai yang bermasalah dan kembalikan peraturan pimpinan KPK sudah harus berakhir 20 Desember 2023 sesuai UU KPK No. 30 Tahun 2002. Kurnia tidak setuju dengan Keputusan Majelis Hakim MKRI No.112/PUU-XX/2022 sehingga memperkuat Perubahan Pertama UU KPK NO.15 Tahun 2015 dan Perubahan Kedua KPK No.19 Tahun 2019. Karena menurut Kurnia Putusan MKRI 112/2022 mulai berlaku untuk Pimpinan Komisioner KPK Periode 2023-2028, bukan periode Komisioner Firli Bahuri dan kawan-kawan Komisioner KPK periode 2019-2023.

“Tapi intrik Pemohon Nurul Ghufron (Wakil Ketua KPK) dan Anwar Usman (Ketua MKRI) yang menafsirkan sendiri keputusannya untuk kepentingan pribadi dan relasi kuasa rezim penguasa sekarang untuk memperpanjang masa jabatan 4 tahun menjadi 5 tahun. Jadi ulah pimpinan KPK yang tidak menghormati peraturan yang sudah ada demi kepentingan pribadi, tentu saja jadi contoh para anak buah sendiri,” ujarnya.

“Pimpinannya saja tidak baik, tentu saja bisa disimpulkan sendiri merusak instansi yang dipimpinnya. Jangan harap murid berprestasi dan berkarakter baik jika gurunya jelek perilaku dan moralnya. Jangan harap Indonesia Emas Tahun 2045 jika pimpinan masih tidak beretika dan bermoral baik. Solusinya perbaiki yang sudah baik dan buang yang sudah rusak dan bobrok,” pungkasnya. (Rohman)

Komentar

Tinggalkan Balasan