oleh

VI, Hukum Administrasi Daerah : Dasar-Dasar Pembentukan Pemda

Jakarta – Cakranusantara.net | Dasar-Dasar Pembentukan Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan public guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Menguatnya gagasan memperluas kewenangan dalam konteks berpemerintah daerah ini berpangkal pada fakta-fakta yang terjadi sebelum reformasi, antara lain :

1. Sumberdaya alam daerah dikuras habis kemudian di bawa ke pusat, sehingga terjadi kesenjangan antara pusat dan daerah;

2. Putra-putra daerah tidak diakomodasi dalam struktur pemerintahan daerah apalagi di pusat, karena faktanya kepala-kepala dinas di daerah diisi dari pusat;

3. Sulitnya berkembang kehidupan demokrasi di daerah karena semuanya diatur pusat, bahkan sampai ketentuan tentang pemerintah desa di daerah diseragamkan di seluruh Indonesia

4. Kemungkinan mengembangkan kebudayaan daerah, kemandirian daerah juga semakin terbatas peluangnya, karena semuanya dikendalikan oleh pusat.

Latar belakang atau tujuan mengakomodasi gagasan memperluas kewenangan daerah, antara lain :
1. Ingin mendekatkan pelayanan dari pusat kepada daerah;

2. Menumbuhkembangkan kehidupan demokrasi di daerah;

3. Mengembangkan kebudayaan daerah serta potensi daerah;

4. Melakukan pembagian yang adil SDA antara pusat dan daerah;

5. Mereduksi kemungkinan terjadinya konflik yang berkelanjutan antara pusat dan daerah keinginan daerah tidak diakomodasi dalam berbagai peraturan.

MDasar-Dasar Pembentukan Pemerintah Daerah Apabila dilihat dari sejarah pembentukan UUD 1945, dapat dikatakan bahwa Moch. Yamin lah orang pertama yang membahas masalah pemerintahan daerah dalam sidang BPUPKI 29 Mei 1945. Moch. Yamin antara lain mengatakan sebagai berikut :

Negeri, desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasinalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah. Antara lain bagian atas dan bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan urusan Dalam, pangreh Praja”.

Pada kesempatan itu pula Much. Yamin melampirkan sementara perumusan Undang-undang yang memuat tentang pemerintahan daerah dan berbunyi :

Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahanya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memanang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak –hak asal –usul dalam daerah yang bersifat istimewah”.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 , Soepomo dihadapan sidang PPKI atas permintaan Soekarno memberikan penjelasan tentang Pemerintahan Daerah :” di bawah pemerintahan pusat ada pemerintahan daerah diisi hanya ada satu pasal saja yang berbunyi : pemerintah secara diatur dalam undang-undang hanya saja, dasar-dasar yang telah dipakai untuk Negara itu juga harus dipakai untuk pemerintahan daerah, artinya pemerintahan daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan kata lain harus ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati susunanya yan asli, akan tetapi itu keadaanya sebagai daerah, bukan Negara, jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya darah”.

Kesimpulan dari dua pendapat esesnsi dalam ketentuan pasal 18 UUD 1945 adalah : Pertama, adanya daerah otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan pada asas desentralisasi. Dua, satuan pemerintahan tingkat daerah menurut UUD 1945 dalam penyelenggaraanya dilakukan dengan “memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara”. Tiga, pemerintahan tingkat daerah harus disusun dan diselenggarakan dengan “memandang dan mengingat hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Dengan adanya perubahan terhadap pasal 18 UUD 1945, maka penjelasan UUD 1945 yang selama ini ikut-ikutan menjadi acuan dalam mengatur pemerintahan daerah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, satu-satunya sumber konstitusional pemerintahan daerah adalah pasal 18, 18A dan pasal 18B.

Selain meniadakan kerancuan, penghapusan pasal 18 UUD 1945 sekaligus juga sebagai penataan tatanan UUD baik dari sejarah pembuatan penjelasan maupun meniadakan keganjilan bahkan anomaly.

Perubahan pasal 18 UUD 1945 dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian daerah dalam NKRI yang meliputi daerah propinsi dan dalam daerah propinsi terdapat daerah kabupaten dan kota. Ketentuan pasal 18 ayat 1 mempunyai keterkaitan erat dengan ketentuan pasal 25A mengenai wilayah NKRI.

Istilah dibagi atas bukan terdiri atas dalam ketentuan pasal 18 ayat 1 bukanlah istilah yang digunakan secara kebetulan. Istilah itu langsung menjelaskan bahwa Negara kita adalah Negara kesatuan dimana kedaulatan Negara berada di tangan pusat.

Hal ini konsisten dengan kesepakatan tetap mempertahankan bentuk Negara kesatuan. Berbeda dengan istilah terdiri atas yang lebih menunjukan letak kedaulatan berada di tangan Negara – Negara bagian.

Baik secara konseptual maupun hukum, pasal-pasal baru pemerintahan daerah dalam UUD memuat berbagai paradigm baru dan arah politik pemerintahan daerah yang baru pula. Hal-hal tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan berikut :

1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantu (pasal 18 ayat 2). Ketentuan ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah adalah suatu pemerintahan otonom. Prinsip baru dalam pasal 18 setelah perubahan lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai suatu pemerintahan sentralisasi dalam pemerintahan daerah. Gubernur, Bupati dan Walikota semata-mata sebagai penyelenggara otonomi daerah.

2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (pasal 18 ayat 5). Meskipun secara historis UUD 1945 menghendaki otonomi seluas-luasnya, tetapi karena tidak dicantumkan, yang terjadi adalah penyempitan otonomi daerah menuju sentralisasi, maka sangat tepat, pasal 18 setelah perubahan menegaskan pelaksanaan otonomi seluas-luasnya. Daerah berhak mengatur dan mengurus segala urusan atau fungsi pemerintahan yang oleh undang-undang tidak ditentukan sebagai yang diselenggarakan pusat.

3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (pasal 18A ayat 1). Prinsip ini mengandung makna bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam. Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh berbagai keadaan khusus dan keragaman setiap darah.

4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (pasal 18B ayat 2). Yang dimaksud masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum rechtsgemeenschap yang berdasarkan hukum adat atai istiadat seperti desa, marga, nagara, gampong, meusanah, huta, negorij dan lain-lain. Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat bersifat territorial atau geneologis yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak kedalam atau keluar sebagai satu kesatuanhukum yang mandiri dan memerintah dri mereka sendiri.

5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (pasal 18B ayat 1). Ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintah bersifat khusus atau istimewa (baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota atau desa).

6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (pasal 18 ayat 3). Hal ini telah terealisasi dalam pemilihan umum anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (pasal 18A ayat 2). Prinsip ini diterjemahkan dalam UUD No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan menyatakan bahwa hubungan itu meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan, sumber daya alam dan sumber daya lainya, yang dilaksanakan secara adil dan selaras (pasal 2 ayat 5 dan 6).

Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terdapat tiga hubungan antara pusat dan daerah, yaitu:
1. Hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi territorial, hubungan ini tidak bukan merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing mandiri. Satuan pemerintahan territorial dekonsentrasi tidak mempunyai wewenang mandiri. Satuan pemerintahan territorial dekonsentrasi merupakan satuan wewenang dengan departemen yang bersangkutan. Sifat wewenang satuan pemerintahan territorial dekonsentrasi adalah delegasi atau mandate, tidak ada wewenang yang berdasarkan atribusi.

2. Hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi territorial. Otonomi territorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan Negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi Negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Dalam otonomi territorial pada dasarnya seluruh fungsi kenegaraan dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintah pusat yang kemudian dipencarkan kepada satuan-stuan otonomi. Pemencaran ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

a. Undang-undang menetapkan tegas berbagai fungsi pemerintahan (administrasi Negara) sebagai urusan rumahtangga daerah. Cara-cara ini mirip dengan cara-cara dalam system federal yang merinci ekuasaan Negara bagian.
b. Pusat dari waktu ke waktu menyerahkan berbagai urusan baru kepada satuan otonomi.
c. Pusat mengakui urusan-urusan pemerintahan tertentu yang “ diciptakan” atau yang kemudian diatur dan diurus satuan otonomi baik karena tidak diatur dan diurus pusat maupun atas dasar semacam concurrent power.
d. Membiarkan suatu urusan yang secara tradisional atau sejak semula dikenali sebagai fungsi pemerintahan yang mengatur dan diurus satuan-satuan otonomi.

3. Hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal, merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing berdiri sendiri. Hal ini memiliki kesamaan dengan hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi teritoria.

Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Dalam kaitanya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan kewenangan mempunyai dua pengertian yakni horizontal dan vertical. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dan wewenang vertical berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah Negara secara keseluruhan.

Dalam Negara kesatuan, semua kekuasaan pemerintahan ada ditangan pusat. Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kekuasaanya kepada unit-unit konstituen tetapi apa yang didelegasikan itu mungkin juga ditarik kembali. Dalam Negara kesatuan pada asanya kekuasaan seluruhnya dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya peraturan-peraturan pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya sendiri. Daerah otonom juga turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral, pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom tersebut.

Berdasarkan hal tersebut tersebut terdapat tiga model hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu:

1. Model Otonomi Relative, model ini memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dan pada saat yang sama tidak mengingkari realitas Negara bangsa. Penekanya adalah dengan memberikan kebebasan bertindak pada pemerintah daerah dalam kerangka kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah ditentukan. Hubungan pusat dan pemerintah daerah oleh karenya ditentukan oleh perundang-undangan, pengawasan dibatasi. Pemerintah daerah meningkatkan kebanyakan dari penghasilanya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi elatif pemerintah daerah dapat membuat kebijakan yang dibagi dengan pemerintah pusat atau yang berada dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

2. Model Agensi, ini adalah model pemerintahan daerah yang dilihat terutama sebagai agen pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini diyakinkan melalui spesifikasi yang terperinci dalam peraturan, perkembangan peraturan dan pengawasan.

3. Model Interaksi, dalam model ini sulit ditentukan ruang lingkup kegiatan pemerintah pusat dan daerah karena mereka terlibat dalam pola hubungan rumit yang penekanya ada pada pengaruh yang menguntungkan saja.

Hubungan kewenangan antara lain bertalian juga dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga darah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas:

a. Urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara katagoris dan pembangunanya diatur dengan cara-cara tertentu pula.
b. Apabila system supervise dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonomi kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
c. System hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang membatasi ruang gerak otonomi daerah.

Sistem Pemerintahan Daerah
Struktur kewenangan pemerintah daerah pada Undang-Undang No. 32/2004 tidak lagi berbentuk piramida yang berarti kabupaten/kota memiliki kewenangan luas, provinsi memiliki kewenangan terbatas dan pusat dengan kewenangan terbatas. Tetapi struktur kewenangan lebih berbentuk persegi panjang dan terbalik meruncing ke atas. Struktur kewenangan ini berarti kewenangan pemerintah pusat tetap terbatas pada hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan kewenangan daerah (provinsi, kabupaten/kota) bersifat luas bahkan seluas-luasnya. Dosen Sri Mastuti (Rohman)

Komentar

Tinggalkan Balasan