Solo – Cakranusantara.net | Takut terbongkar bobroknya, Rancangan Undang-undang (RUU) versi 2024 tentang Penyiaran bakal membungkam kebebasan Wartawan/ Jurnalis saat menyuarakan kebenaran, hingga sejumlah kalangan Organisasi Pers gelar aksi damai di Plaza Manahan, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (21/5/2024) sore, Pukul 16.00 WIB.
Mereka berasal dari berbagai media masa, seniman dan penggiat seni, mahasiswa, hingga pelaku konten kreator pada sejumlah aplikasi, diantaranya YouTube atau yang biasa dikenal YouTubers.
Aksi berawal dengan teatrikal diperankan oleh dua jurnalis. Salah satu darinya diikat rantai dan mulut dilakban. Menggambarkan kebebasan Pers dikebiri atau dibatasi.
Partisipan lain, tampak membentangkan spanduk, dan poster-poster dengan berbagai tulisan menyindir RUU Penyiaran 2024. Sebab, mereka menilai regulasi itu dianggap bakal mengancam demokrasi dan kebebasan pers.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo, Mariyana Ricky mengatakan, bahwa aksi yang mereka gelar diinisiasi dari sejumlah organisasi jurnalis yang ada di Kota Solo.
“Organisasi Pers AJI, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Forkom Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solo, dan sejumlah jurnalis televisi,” katanya.
Lantaran, RUU Penyiaran 2024 memiliki pasal yang problematik, diantaranya tentang larangan konten eksklusif mengenai jurnalisme investigasi.
“Selain itu, juga mengambil alih wewenang Dewan Pers oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),” ujar Mariyana.
Menurutnya, RUU Penyiaran 2024 diajukan diduga kuat ada beberapa pihak yang takut terbongkar dengan jurnalisme investigasi. Para peserta aksi menolak pasal yang menyatakan larangan itu.
“Jurnalisme investigasi yang paling menjadi perhatian masyarakat salah satunya adalah kasus Sambo, dimana bukti CCTV dihilangkan, tapi kemudian dibongkar. Itu adalah kerja jurnalistik yang luar biasa,” ujarnya.
“Kemungkinan ini ketakutan oligarki dan konglomerasi saat mereka terjerat kasus pidana atau perdata bisa dibongkar jurnalisme investigasi,” cetusnya.
Tidak ada kejahatan yang bisa disembunyikan. Jurnalis menjadi mata dan telinga bagi publik. Selain jurnalisme investigasi, dia juga menyebut ada beberapa pasal dalam RUU yang problematik, yakni soal potensi melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran.
“Draf RUU Penyiaran ini menghapus pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran no 32/2002, di mana pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan pada konglomerasi tertentu saja,” tegasnya.
Pasal penyensoran dan pemberedelan konten di media sosial itu bakal mengancam kebebasan konten kreator, maupun lembaga penyiaran yang mengunggah konten di internet.
“Sangat disayangkan RUU Penyiaran disusun dengan terburu-buru. Dikhawatirkan, bisa seperti pembahasan RUU Omnibus Law beberapa waktu lalu yang dikebut dalam semalam dan langsung ditetapkan,” ujarnya.
Dia berharap, melalui aksi dan penolakan ini, paling tidak pasal-pasal problematik dihilangkan. Apalagi saat ini sudah ada ketetapan anggota DPR yang baru, kenapa buru-buru membahas UU yang tidak perlu.
“Setelah berorasi secara bergantian, para jurnalis meletakkan kartu pers, serta poster dan spanduknya di lantai Plaza Manahan, sembari menyanyikan lagu Padamu Negeri,” pungkasnya. Editor : Rohman
Komentar