oleh

Bunyi Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku

Cakranusantara.net, Jakarta | Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators di dalam perkara Tindak Pidana Tertentu (Tipidter), Kamis (28/11/2024).

1. Tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.

2. Dalam upaya menumbuhkan partisipasi publik guna mengungkap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada butir kesatu di atas, harus diciptakan iklim yang kondusif antara lain dengan cara memberikan perlindungan hukum serta perlakuan khusus kepada setiap orang yang mengetahui, melaporkan, dan/atau menemukan suatu hal yang dapat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan menangani tindak pidana dimaksud secara efektif.

3. Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003 antara lain mengatur sebagai berikut:

Ayat (2): Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu “mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.

Ayat (3): Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Justice Collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.

4. Ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (United Nation Convention Against Transnasional Organized Crimes 2000);

5. Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dan berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2009 telah pula meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi tersebut, oleh karena itu nilai-nilai moralitas hukum dari konvensi tersebut sepatutnya diadopsi di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait;

6. Perlindungan terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) memang telah diatur di dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai berikut:

(1) Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikannya.

(2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana.

Akan tetapi disadari bahwa ketentuan tersebut di atas masih perlu pedoman lebih lanjut di dalam penerapannya.

7. Dengan merujuk pada nilai-nilai di dalam ketentuan tersebut diatas dengan ini Mahkamah Agung meminta kepada Para Hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya;

8. Pedoman-pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus yang melibatkan Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) adalah sebagai berikut:

a. Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya;

b. Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

9. Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:

a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

b. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana;

c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal hal penjatuhan pidana sebagai berikut:

i. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau

ii. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

d. Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

i. Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan

ii. Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Diterbitkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2011, ditandatangani Ketua Mahkamah Agung, Harifin A Tumpa. Editor : Rohman

Komentar

Tinggalkan Balasan