oleh

Kajian Akademik, Pelaksanaan Undang-Undang Nomor  31 Tahun 2014 Tentang LPSK

Cakranusantara.net, Jakarta | Kajian Akademik, Pelaksanaan Undang-Undang Nomor  31 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

A. PENDAHULUAN

1. Negara Indonesia menjunjung tinggi HAM termasuk di dalamnya hak asasi bagi Saksi dan Korban yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan hak untuk Saksi dan Korban tindak pidana dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Sebagai bentuk dari implementasi Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pengaturan mengenai perlindungan Saksi dan Korban juga telah diatur dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Adapun konvensi internasional yang mengatur tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu United Nations Convention Against Transnational Organized Crime sebagaimana telah diratifikasi melalui UndangUndang Nomor 5 Tahun 2009, United Nation Convention Against Corruption, dan International Convenant The Protection of All Persons from Enforced Disappearance.

2. Sebagai implementasi dari konvensi internasional tersebut, Negara Indonesia memberikan perlindungan kepada Saksi dan Korban dengan mengesahkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 (UU Perlindungan Saksi dan Korban). Dasar pertimbangan lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban dikarenakan perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Sebab, dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM. Selain itu, Perubahan UU Perlindungan Saksi dan Korban juga didasarkan pada pertimbangan bahwa masih ditemukannya beberapa kelemahan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban terdahulu baik dari sisi kelembagaan, kewenangan, sampai dengan perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.

3. Atas dasar tersebut, melalui Perubahan UU Perlindungan Saksi dan Korban, dilakukan beberapa perubahan pengaturan yang di antaranya meliputi penguatan kelembagaan LPSK; penguatan kewenangan LPSK; perluasan subjek perlindungan yang meliputi Saksi
Pelaku (Justice Collaborator), Pelapor (Whistle-Blower), dan Ahli; perluasan pelayanan perlindungan terhadap Korban; peningkatan kerjasama dan koordinasi antar-lembaga; pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan terhadap Saksi Pelaku;
mekanisme penggantian Anggota LPSK antar waktu; dan perubahan ketentuan pidana, temasuk tindak pidana yang dilakukan korporasi. Perubahan-perubahan materi UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan upaya perlindungan Saksi dan Korban dengan memberikan rasa aman dalam semua tahap proses peradilan pidana.

4. UU Perlindungan Saksi dan Korban telah beberapa kali dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK), di antaranya Perkara Nomor 43/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 90/PUU-XVI/ 2018. Adapun dalam Perkara Nomor 43/PUU-VIII/2010, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban yang dianggap Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XVI/2018, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 1
angka 2 dan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU Perlindungan Saksi dan Korban yang
menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, kedua perkara tersebut ditolak oleh MK dikarenakan pasal-pasal a quo yang diajukan oleh Pemohon dalam kedua permohonan tersebut dianggap oleh Majelis Hakim MK tidak bertentangan dengan konstitusi dan dalil
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

5. Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, salah satu fungsi konstitusional DPR RI ialah fungsi pengawasan. Penegasan dan pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI lebih lanjut dalam Pasal 69 ayat (1) j.o Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 4 ayat (1) j.o Pasal 5 ayat (3) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) sebagai salah satu dari sistem pendukung (supporting system) di bidang keahlian kepada DPR RI telah melakukan kegiatan pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Perlindungan Saksi dan Korban ke 3 (tiga) provinsi, yaitu Provinsi Lampung, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sumatera Utara.

6. Metode pemantauan pelaksanaan UU Perlindungan Saksi dan Korban dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil pemantauan pelaksanaan UU Perlindungan Saksi dan Korban akan diurai dengan analisis deskriptif kualitatif yang didukung berbagai data informasi, baik data primer maupun data sekunder. Selanjutnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk mengkaji dan membahas permasalahanpermasalahan yang diperoleh sesuai dengan fakta yang ada di daerah yang kemudian dikaitkan dengan norma-norma hukum yang berlaku dan teori hukum yang ada. Dalam proses pengumpulan data dan informasi akan dilakukan pendalaman melalui dengar pendapat (public hearing) melalui media video conference dan tatap muka dengan akademisi dan para pemangku kepentingan terkait lainnya. Selanjutnya, hasil pengumpulan data dan informasi tersebut akan dilakukan kajian dan evaluasi terkait efektivitas pelaksanaan UU Perlindungan Saksi dan Korban menggunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dan teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Hasil kajian dan evaluasi tersebut akan disampaikan kepada Dewan sebagai bahan masukan dalam menjalankan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan.

B. HASIL PEMANTAUAN

1. ASPEK SUBTANSI HUKUM

a. Perluasan Definisi Saksi Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur bahwa “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”. Pendefinisian Saksi tersebut juga diatur dalam KUHAP yang kemudian pendefinisian Saksi dalam KUHAP tersebut telah diperluas pemaknaannya oleh MK melalui Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010. Dalam pertimbangannya pada putusan a quo, MK menjelaskan bahwa “arti penting Saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses”. Sehingga, dengan telah diperluasnya definisi Saksi dalam KUHAP melalui Putusan MK Nomor 65/PUUVIII/2010 tersebut, maka definisi Saksi dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban sudah tidak relevan sebab bertentangan dengan definisi Saksi dalam Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010.

b. Pengaturan Perlindungan yang Diberikan LPSK Sejak Tahap Penyelidikan Hingga Pasca Putusan Pasal 2 UU Perlindungan Saksi dan Korban menegaskan bahwa UU Perlindungan Saksi dan Korban sebagai dasar hukum yang memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Dalam pelaksanaannya, upaya perlindungan terhadap Saksi dan Korban sangat dibutuhkan tidak hanya terbatas pada tahap proses peradilan pidana, akan tetapi juga dibutuhkan pasca proses peradilan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh KPK yang menyatakan bahwa perlindungan Saksi dan Korban khususnya Saksi Pelaku dalam beberapa perkara korupsi baik Saksi Pelaku dan keluarganya masih diberikan karena mereka mengalami ancaman yang diduga terkait dengan perkara yang dialaminya tersebut.

c. Pemberian Bantuan Medis dan Rehabilitasi Psikososial dan Psikologis kepada Korban Tindak Pidana Pasal 6 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban pada pokoknya mengatur tentang hak yang diberikan kepada korban pelangaran HAM berat, korban tindak pidana terorisme, korban TPPO, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat yang berupa hak bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Namun, perumusan norma Pasal 6 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan hak berupa bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis pada tindak pidana tertentu tersebut berpotensi memberikan batasan tertentu sehingga memberi arti hak tersebut tidak dapat diberikan untuk korban tindak pidana konvensional. Padahal seharusnya pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis tersebut dapat diberikan bukan berdasarkan jenis tindak pidananya melainkan disesuaikan dengan besarnya ancaman yang merugikan keselamatan Saksi dan/atau Korban.

d. Pengaturan Pengajuan dan Pelaksanaan Restitusi Berdasarkan Pasal 7A ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan melalui 2 (dua) mekanisme, yaitu diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam pelaksanaanya, permohonan restitusi yang dilakukan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap tidak implementatif. Selain itu, pengaturan terkait restitusi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak diatur secara terperinci seperti halnya yang diatur dalam Pasal 48 dan Pasal 50 UU TPPO.

e. Frasa “kesaksian secara tertulis” dalam Pasal 9 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 9 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur bahwa “Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut”. Adanya frasa “kesaksian secara tertulis” dalam Pasal 9 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan yang disebabkan karena ketidakjelasan kategori kesaksian tersebut sebagai salah satu alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 187 KUHAP. Sebab, frasa “kesaksian secara tertulis” tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat dan bukan sebagai alat bukti berupa keterangan Saksi.

f. Frasa “sesuai dengan keperluan” dalam Pasal 11 ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 11 ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur bahwa LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Adanya frasa “sesuai dengan keperluan” dalam Pasal 11 ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan belum meratanya kehadiran kantor perwakilan LPSK di daerah. Ketidaktersediaan kantor perwakilan LPSK di daerah tersebut yang kemudian berdampak pada tidak optimalnya upaya LPSK dalam memberikan perlindungan Saksi dan Korban di daerah.

g. Belum Adanya Definisi Terlindung dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 12A ayat (1) huruf e dan g UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan adanya frasa “terlindung”. Akan tetapi, dalam Penjelasan Pasal 12A ayat (1) huruf e dan g UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak dijelaskan yang dimaksud dengan definisi terlindung. Tidak dijelaskannya definisi terlindung tersebut berpotensi menimbulkan ketidakjelasan subjek hukum yang dilindungi tersebut.

h. Pengaturan Pembiayaan LPSK Pasal 27 UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa “Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Pengaturan tersebut berpotensi membatasi kemungkinan LPSK untuk mendapatkan sumber pendanaan lain selain dari APBN.

i. Penambahan Kriteria Saksi Pelaku Pasal 28 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memperoleh perlindungan dari LPSK khususnya terhadap Saksi Pelaku. Akan tetapi, dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban belum mengatur secara eksplisit mengenai kriteria penentuan Saksi Pelaku. Tidak diaturnya mengenai kriteria tersebut menyebabkan belum adanya kesamaan pandangan dari aparat penegak hukum mengenai seseorang dapat menjadi Saksi Pelaku.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN

a. Pelaksanaan Koordinasi dan Kerjasama Perlindungan Saksi dan Korban antara LPSK dengan APH UU Perlindungan Saksi dan Korban telah mengamanatkan bahwa upaya perlindungan Saksi dan Korban tidak hanya dilakukan oleh LPSK, melainkan juga dilaksanakan oleh lembaga lain yang juga memiliki kewenangan dalam hal perlindungan Saksi dan Korban tersebut. Dalam pelaksanaannya, upaya perlindungan Saksi dan Korban tersebut masih belum optimal dikarenakan minimnya koordinasi antara LPSK dengan APH baik di tingkat pusat maupun daerah, serta dengan perwakilan LPSK di daerah. Minimnya koordinasi tersebut kemudian berdampak pada ketidaksamaan pandang antara APH dan LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban.

b. Perwakilan LPSK di Daerah UU Perlindungan Saksi dan Korban telah mengamanatkan kepada LPSK untuk membentuk kantor perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Dalam pelaksanaannya, pada saat ini LPSK baru memiliki 2 (dua) kantor perwakilan di daerah, yaitu di Provinsi Sumatera Utara dan di Provinsi D.I. Yogyakarta. Akan tetapi, kehadiran LPSK di 2 (dua) provinsi tersebut masih belum dirasa cukup yang kemudian menyebabkan tidak optimalnya pemberian perlindungan Saksi dan Korban di daerah.

3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA

a. Fasilitas Kantor Perwakilan LPSK di Daerah Pembentukan kantor perwakilan LPSK di daerah dilakukan sesuai dengan keperluan, hal tersebut guna menjamin keterjangkauan pemberian pelayanan perlindungan Saksi dan Korban agar lebih optimal. Dalam menunjang kantor perwakilan LPSK di daerah tersebut, tentunya diperlukan sarana dan prasarana yang memadai khususnya gedung sebagai sarana utama yang dipergunakan untuk kantor perwakilan LPSK di daerah. Dalam pelaksanaanya, ketersediaan kantor perwakilan LPSK di daerah hanya terdapat di 2 Provinsi, yakni Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal tersebut kemudian menyebabkan tidak optimalnya upaya perlindungan Saksi dan Korban yang diberikan dikarenakan belum meratanya perwakilan LPSK di berbagai daerah. Salah satu faktor penyebab yang menyebabkan terkendalanya ketersediaan kantor perwakilan LPSK di daerah, yakni adanya kendala ketersediaan aset berupa gedung sebagai sarana utama LPSK untuk membuka kantor perwakilan di daerah. Belum tersedianya aset berupa gedung kantor tersebut berdampak pada sulitnya masyarakat di daerah untuk mengajukan permohonan perlindungan.

b. Sumber Daya Manusia di dalam LPSK, LPSK merupakan lembaga yang memiliki peranan penting dalam terselenggaranya penangan perlindungan terhadap Saksi dan Korban guna menjamin perlindungan hukum bagi hak-hak Saksi dan Korban serta memberikan jaminan rasa aman bagi Saksi dan Korban dalam menyampaikan keterangannya di setiap proses peradilan pidana. Dalam pelaksanaannya, upaya perlindungan yang diberikan oleh LPSK masih belum optimal dikarenakan salah satunya disebabkan oleh minimnya ketersediaan SDM di LPSK. Seperti halnya, di kantor perwakilan LPSK Perwakilan Medan yang hanya memiliki 4 (empat) orang staff dan di LPSK Perwakilan D.I. Yogyakarta yang hanya memiliki 2 (dua) orang staff. Minimnya ketersediaan SDM tersebut tentunya akan berdampak pada terhambatnya proses perlindungan yang akan diberikan.

4. ASPEK BUDAYA HUKUM

Pasal 5 ayat (1) UU Perlindungan Anak mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh Saksi dan Korban, yang salah satunya yakni hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Pemberian perlindungan bagi Saksi dan Korban dari suatu tindak pidana tersebut adalah bagian dari proses penegakan hukum. Dalam pelaksanaannya, pelaksanaan perlindungan Saksi dan Korban masih belum terlaksana dengan oprimal dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat terkait tugas dan kewenangan LPSK sebagai lembaga yang berwenang dalam memberikan perlindungan Saksi dan Korban sehingga menyebabkan minimnya pengetahuan masyarakat akan layanan yang diberikan LPSK terkait perlindungan Saksi dan Korban.

C. PENUTUP

1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Perlindungan Saksi dan Korban, masih ditemukan beberapa permasalahan baik dari sisi substansi UU Perlindungan Saksi dan Korban maupun dalam implementasinya. Ditinjau dari segi substansi, terdapat beberapa ketentuan pasal yang perlu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini dan juga perlu dilakukannya perubahan dan penambahan terhadap beberapa pasal dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dapat memenuhi asas dalam UU PPP dan tujuan pembentukannya dapat tercapai. Ditinjau dari segi implementasi, masih ditemukan beberapa permasalahan yang diantaranya belum adanya koordinasi yang baik antar APH khususnya Polisi, Jaksa, dan Hakim; kriteria penentuan Saksi Pelaku atau Justice Collaborator; penilaian terhadap keterangan saksi yang dibuat secara tertulis; pengaturan pengajuan dan pelaksanaan restitusi; pelaksanaan koordinasi antara LPSK dengan APH; fasilitas kantor perwakilan LPSK di daerah; kurangnya SDM di LPSK; dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang layanan perlindungan Saksi dan Korban. Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya tidak hanya berpengaruh pada penyelenggaraan perlindungan Saksi dan Korban akan tetapi juga berpengaruh pada APH dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Hal tersebut tentunya harus diatasi guna mewujudkan penyelenggaraan perlindungan Saksi dan Korban yang menjamin pemenuhan terhadap hak-hak Saksi dan Korban.

2. REKOMENDASI

a. Dalam aspek Substansi Hukum, Puspanlak UU Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1) perlu dilakukan penyesuaian terkait definisi Saksi pada Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan definisi Saksi sebagaimana Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010;

2) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 2 dan Pasal 4 UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan menambahkan pengaturan perlindungan Saksi dan Korban sampai dengan tahap pasca putusan pengadilan;

3) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 6 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban terkait pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis dengan tidak hanya membatasi bagi korban pelanggaran HAM berat, korban tindak pidana terorisme, korban TPPO, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, melainkan juga berdasarkan dampak ancaman yang telah terjadi pada korban;

4) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 9 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan menambahkan keterangan bahwa “kesaksian secara tertulis” dikategorikan sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHP, yakni keterangan Saksi. Selain itu, perlu adanya penjelasan lebih lanjut bahwa bukti keterangan Saksi tersebut menjadi victim impact statement dalam suatu perkara pidana sebagai pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara;

5) perlu adanya penyesuaian pada Pasal 7A UU Perlindungan Saksi dan Korban terkait pengajuan dan pelaksanaan restitusi dengan merujuk pengaturan restitusi yang diatur dalam UU TPPO;

6) frasa “sesuai dengan keperluan” pada Pasal 11 ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan  Korban perlu disesuaikan agar dapat mengakomodir kantor perwakilan LPSK di tiap provinsi;

7) perlu adanya penambahan penjelasan “definisi terlindung” pada Penjelasan Pasal 12A ayat (1) huruf e dan g UU Perlindungan Saksi dan Korban;

8) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 27 UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan menambahkan skema anggaran LPSK dari APBD; dan

9) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 28 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan menambahkan kriteria Justice Collaborator dengan juga
mempedomani butir 9 huruf b SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakukan
Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

b. Dalam aspek Struktur Hukum/ Kelembagaan, Puspanlak UU Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1) perlu adanya peningkatan dari sisi koordinasi antara LPSK dengan APH dan
lembaga lainnya yang juga memiliki kewenangan dalam memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban. Koordinasi tersebut dapat tertuang dalam bentuk MoU atau kerjasama; dan

2) perlu adanya perwakilan LPSK di tingkat provinsi yang melaksanakan tugas dan fungsi perlindungan saksi dan korban di daerah.

c. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Puspanlak UU Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1) perlunya adanya dukungan dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk penyediaan fasilitas berupa gedung kantor perwakilan LPSK di daerah guna mempermudah pemberian pelayanan perlindungan Saksi dan Korban; dan

2) perlu adanya penambahan dari segi ketersediaan SDM, baik di pusat maupun
perwakilan LPSK di daerah.

d. Dalam aspek Budaya Hukum, Puspanlak UU Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi, yaitu perlu dilakukannya sosialisasi dan edukasi yang dilaksanakan secara berkelanjutan kepada masyarakat khususnya terkait perlindungan Saksi dan Korban.

Komentar

Tinggalkan Balasan