Cakranusantara.net, Putusan MK | Bunyi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XXII/2024 tentang Pilihan Kepala Daerah (Pilkada). Baik Gubernur maupun Bupati/ Walikota semarang Indonesia. Yang berbunyi :
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Nama : Syukur Destieli Gulo, S.H.
Pekerjaan : Konsultan hukum
Alamat : Bukit Tinggi, Kel/Desa Bukit Tinggi, Kecamatan Ulu Moro’o, Kabupaten Nias Barat, Provinsi Sumatera Utara.
Selanjutnya disebut sebagai ——————————————————– Pemohon.
[1.2] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon.
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 18 September 2024 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 18 September 2024 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 134/PUU/PAN.MK/AP3/09/2024 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 136/PUU-XXII/2024 pada tanggal 25 September 2024, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Oktober 2024 yang pada pokoknya sebagai berikut:
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa Mahkamah Konstitusi selaku pelaku kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;
Selanjutnya, dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : (a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945…”
Selanjutnya, dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang diubah untuk kedua kalinya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, dan diubah untuk ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003), mengatur :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;”
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 13 Tahun 2022), menyatakan:
“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”
Selanjutnya, dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK No. 2 Tahun 2021), menyatakan:
“Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang selanjutnya disebut PUU adalah perkara konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi…”
2. Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution memiliki peran penting untuk menjaga tegaknya Konstitusi yang didalamnya mengatur Hak konstitusional, sekaligus Hak Asasi yang dimiliki oleh setiap warga negara. Menurut L. A. Marpaung “…implementasi dari fungsi lembaga pengawal konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi mengawal dan menegakan konstitusi agar dilaksanakan sebaik-baiknya, sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran terhadap konstitusi dalam penyelenggaraan negara dan dalam kehidupan bernegara.
Upaya mewujudkan fungsi tersebut dengan maksimal, Mahkamah telah mengambil langkah-langkah yang lebih progresif yakni membuat putusan yang di dalamnya merumuskan norma baru terkait objek perkara yang dimohonkan. Menurut A.F. Sumadi, dkk., “Pintu masuk perumusan norma baru dapat mengambil bentuk putusan konstitusional bersyarat maupun putusan inkosntitusional bersyarat. Dengan kata lain, jika tafsir yang ditentukan dalam putusan MK dipenuhi, maka suatu norma atau undangundang tetap konstitusional sehingga dipertahankan legalitasnya, sedangkan jika tafsir yang ditentukan dalam putusan MK tidak dipenuhi, suatu norma hukum menjadi inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan menurut Mahfud MD, MK boleh saja membuat putusan yang tidak ada panduannya di dalam hukum acara, bahkan secara ekstrem bisa keluar dari undang-undang apabila undang-undang itu tidak memberikan rasa keadilan.
3. Bahwa bukti-bukti putusan Mahkamah yang berisi perumusan norma baru, hal mana dinyatakan oleh Pemohon pada poin 2 di atas, antara lain:
3.1. Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022, merumuskan norma baru terhadap ketentuan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang semula berbunyi:
“Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:” dimaknai secara bersyarat oleh Mahkamah, menjadi: “
2. Menyatakan Pasal 29 huruf e UndangUndang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi,
“Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
Putusan a quo juga memaknai secara bersyarat ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang semula berbunyi:
“Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.” dimaknai secara bersyarat oleh Mahkamah, menjadi: “
3. Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) yang semula berbunyi,
“Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”.
3.2. Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018, merumuskan norma baru terhadap ketentuan Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang semula berbunyi:
“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dimaknai secara bersyarat oleh Mahkamah, menjadi: “Frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik;”
3.3. Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010, merumuskan norma baru terhadap ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang semula berbunyi:
“Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: d. berakhir masa jabatannya;” dimaknai secara bersyarat oleh Mahkamah, menjadi:
- Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”;
- Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”;
3.4. Putusan Nomor 147/PUU-VII/2009, merumuskan norma baru terhadap ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang semula berbunyi:
“Pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara.” dimaknai secara bersyarat oleh Mahkamah, menjadi:
- Menyatakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) adalah konstitusional bersyarat terhadap Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga kata, “mencoblos” dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan pula menggunakan metode e-voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut:
a. tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;
b. daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan;
4. Bahwa berdasarkan uraian pada poin 3 tersebut di atas, jelas Mahkamah Konstitusi berwenang untuk merumuskan norma baru terhadap objek perkara, demi tegaknya Konstitusi yang didalamnya mengatur Hak konstitusional, sekaligus Hak Asasi yang dimiliki oleh setiap warga negara, termasuk di dalamnya Pemohon;
5. Bahwa Pemohon mengajukan Judicial Review Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015, yang berbunyi:
“Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).” terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi jelas berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon in casu pengujian konstitusional Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, mengatur:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”
Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, menyatakan:
“Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Selanjutnya, dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK No. 2 Tahun 2021), mengatur:
“Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang atau Perppu, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. lembaga negara.”
2. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak memilih pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, serta pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dalam pemilihan mendatang, hal mana telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT): TPS/ 002, Desa Bukit Tinggi, Kecamatan Ulu Moro’o, Kabupaten Nias Barat, Provinsi Sumatera Utara;
3. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 006/PUUIII/2005 (hlm. 16), tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor: 11/PUUV/2007 (hlm. 56), tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji.
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan terjadi.
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan tidak lagi terjadi.
Selanjutnya, dalam Pasal 4 ayat (2) PMK No. 2 Tahun 2021, mengatur:
“Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap dirugikan oleh berlakunya undang undang atau Perppu apabila:
a. ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan terjadi;
4. Bahwa Pemohon memiliki hak Konstitusional yang diatur dan dijamin
dalam Pasal 18 ayat (4), Pasal 1 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi:
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Pemohon memiliki hak
Konstitusional yaitu:
4.1. Hak untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara
demokratis;
4.2. Hak untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
4.3. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil;
5. Bahwa Pemohon memiliki Hak Memilih pada pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang merupakan hak konstitusional yang berdasar pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, serta hak untuk memilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang merupakan hak konstitusional yang berdasar pada Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, dan oleh karenanya hak konstitusional a quo harus mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, hal mana telah dijamin oleh ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
6. Bahwa Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 yang berbunyi :
“Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).” tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap Pemilihan demokratis yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena rumusan pasal a quo tidak sesuai dengan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (untuk selanjutnya disebut UU No. 10 Tahun 2016), yang berbunyi:
(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Bahwa Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 dan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 merupakan norma hukum berpasangan yaitu norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Ketentuan Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 merupakan norma hukum primer yaitu norma hukum yang berisi larangan, sehingga menimbulkan akibat hukum apabila pasal a quo dilanggar.
Sementara Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 merupakan norma hukum sekunder yang berisi akibat hukum berupa ancaman pidana atas pelanggaran terhadap Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016.
Larangan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 merupakan tindak pidana Pemilihan karena pelanggar dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015.
8. Bahwa Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 selaku norma hukum primer merumuskan agar “Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.”
Sementara Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 selaku norma sekundernya tidak memuat frasa “pejabat daerah” dan frasa “TNI/POLRI” sehingga pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI tidak dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal a quo, padahal Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 jelas melarang pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon;
9. Bahwa ketiadaan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/POLRI” dalam Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2016, tidak menjamin pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dalam mematuhi larangan yang disebutkan dalam Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, sehingga pelanggaran dalam jabatan a quo berpotensi tidak dapat ditindak dan diproses secara hukum sepanjang Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak dimaknai oleh Mahkamah sehingga mencakup pelanggaran pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI terhadap Pasal 71 UU N0. 10 Tahun 2016.
Selanjutnya, Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak menjamin netralitas pejabat daerah serta anggota TNI/POLRI dalam Pemilihan, karena memang pelanggaran terhadap netralitas dalam jabatan a quo hal mana diatur dalam Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016, tidak dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015.
10. Bahwa dengan tidak terjaminnya kepatuhan pejabat daerah maupun anggota TNI/POLRI terhadap larangan dalam Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016, sekaligus tidak menjamin netralitas pejabat daerah serta anggota TNI/POLRI dalam Pemilihan. Hal tersebut jelas berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis berdasarkan asas umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sehingga Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
11. Bahwa Pemohon dapat terhindar dari potensi kerugian hak konstitusional tersebut apabila Mahkamah menguji konstitusional Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015, dan selanjutnya mengabulkan permohonan Pemohon untuk memaknai pasal a quo sehingga mencakup frasa “pejabat daerah” dan frasa “anggota TNI/POLRI”. Dengan demikian Pemohon jelas memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan ini.
III. ALASAN PERMOHONAN DALAM PROVISI
Pemeriksaan Permohonan Pemohon harus menjadi prioritas dalam pemeriksaan perkara di Mahkamah Konstitusi.
1. Bahwa kepastian hukum tentang sanksi pidana terkait pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dalam Pemilihan sangat penting untuk menjamin perlindungan hukum terhadap hak-hak konstitusional Pemohon;
2. Bahwa larangan dalam Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 j.o Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 merupakan Larangan dalam Kampanye terhadap pejabat yang disebutkan dalam pasal a quo untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon;
3. Bahwa mengingat tahapan pelaksanaan kampanye sebagaimana
tertuang dalam lampiran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2
Tahun 2024 Tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
Tahun 2024, berdasarkan lampiran Peraturan a quo, Pelaksanaan
Kampanye mulai pada hari Rabu, 25 September 2025 – hari Sabtu, 23
November 2024;
4. Bahwa Permohonan Pemohon in casu pengujian konstitusional Pasal 188
UU No. 1 Tahun 2015 telah mendekati masa pelaksanaan kampanye, sehingga terdapat alasan mendesak untuk memprioritaskan pemeriksaan
Permohonan a quo. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022, yang menyatakan:
“[2.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi
yang pada pokoknya memohonkan agar Mahkamah memprioritaskan pemeriksaan perkara a quo. Terhadap permohonan tersebut secara faktual permohonan a quo karena berkaitan dengan semakin mendesaknya jadwal pelaksanaan tahapan penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah serentak secara nasional Tahun 2024. Oleh karena itu, meskipun dalam hukum acara serta kebiasaan beracara di Mahkamah Konstitusi tidak dikenal adanya provisi yang meminta prioritas pemeriksaan putusan, namun hal demikian tidak berarti Mahkamah dalam memeriksa permohonan tidak mempertimbangkan
sifat atau kondisi kemendesakan suatu perkara. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan provisi yang diajukan Pemohon dalam perkara a quo beralasan menurut hukum.”
5. Oleh karena jadwal pelaksanaan kampanye sudah dekat, maka sangat
logis dan beralasan menurut hukum untuk memprioritaskan pemeriksaan
terhadap Permohonan Pemohon.
DALAM POKOK PERKARA
Fakta Yuridis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
1. Bahwa Pemohon merasa perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu terkait
fakta yuridis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, telah mengalami beberapa kali perubahan melalui:
1.1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
1.2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
1.3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
2. Bahwa Pasal 71 UU No. 1 Tahun 2015 berbunyi:
(1) Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa Kampanye.
(2) Petahana dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(3) Petahana dilarang menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan Pemilihan 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(4) Dalam hal petahana melakukan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Ketentuan pasal a quo kemudian mengalami perubahan dalam UU No. 10 Tahun 2016 yang berbunyi:
(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Sementara Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 berbunyi:
“Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
3. Bahwa Pasal 71 UU No. 1 Tahun 2015 hal mana telah diubah dalam UU No. 10 Tahun 2016 merupakan norma hukum yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya dengan rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015, karena Pasal 71 mengatur perbuatan yang dilarang, sementara Pasal 188 berisi sanksi yang berupa ancaman pidana.
Namun, dalam Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 terdapat frasa tambahan yakni “pejabat daerah” serta “anggota TNI/POLRI”, sementara Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak memiliki frasa tersebut dalam rumusannya karena memang pasal a quo tidak turut diubah dalam UU No. 10 Tahun 2016.
4. Bahwa permohonan ini diajukan agar Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 dirumuskan sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 dengan penambahan frasa mengenai pejabat daerah” serta “anggota TNI/POLRI”.
Pertentangan Dengan Batu Uji
A. Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Bahwa Pemohon memiliki hak Konstitusional yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
2. Bahwa Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Nomor 97/PUUXI/2013 (hlm. 55), memberikan makna frasa “dipilih secara demokratis” yaitu:
“…Menurut Mahkamah, makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik menurut original intent maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Lahirnya kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada saat dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD sementara pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Latar belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu adalah sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan.
Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang dikehendaki oleh masyarakat di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan yang dilakukan oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat. Tujuannya adalah agar menyesuaikan dengan dinamika perkembangan bangsa untuk menentukan sistem demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan opened legal policy dari pembentuk Undang-Undang dan juga terkait erat dengan penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat di berbagai daerah yang berbeda-beda.”
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan putusan a quo, maka makna “dipilih secara demokratis” berarti dapat dilakukan baik pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD yang mana penentuan metode pemilihan secara demokratis merupakan open legal policy dari pembentuk undang-undang. Jika demikian, mengacu pada Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2015 yang berbunyi:
“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.”
Selanjutnya, Pemilihan secara demokratis menurut Pasal 2 UU No. 1 Tahun 2015 yaitu:
“Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
Dengan demikian, Pemilihan secara demokratis berarti pemilihan yang dilaksanakan melalui pemungutan suara rakyat berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
4. Bahwa Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis melalui pemungutan suara rakyat melahirkan “Hak Memilih” sebagai hak Konstitusional yang dimiliki oleh rakyat termasuk didalamnya Pemohon. Hal tersebut sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 011-017/PUUI/2003 (hlm. 35), sebagaimana pertimbangan tersebut diikuti oleh Putusan Nomor 39/PUU-XII/2014 (hlm. 30), yang menyatakan:
“…bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.”
5. Bahwa selain pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, dan Putusan Nomor 39/PUU-XII/2014 di atas, dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999), menyatakan dengan tegas:
“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 (hlm. 35), dan Putusan Nomor 39/PUU-XII/2014, serta Pasal 43 ayat (1) UU 39 Tahun 1999 tersebut, maka “Hak Memilih” merupakan Hak Konstitusional sekaligus sebagai Hak Asasi warga negara termasuk di dalamnya Pemohon. Selanjutnya dalam Pasal 57 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, menyatakan:
“Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih.”
Dalam hal ini, Pemohon merupakan warga negara Indonesia yang terdaftar sebagai Pemilih, hal mana dibuktikan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemohon.
6. Bahwa dengan berlakunya Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 yang berbunyi:
“Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).” tidak menjamin Hak Memilih Pemohon dalam Pemilihan yang demokratis berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dari potensi pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI, karena memang pasal a quo tidak mencakup sanksi pidana terhadap pelanggaran netralitas dari pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI, padahal menurut Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam Pemilihan;
7. Bahwa Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 harus sinkron, koheren atau bersesuaian dengan konstruksi Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 karena kedua pasal a quo merupakan norma hukum berpasangan terdiri atas norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Meminjam konsep norma hukum berpasangan dari Maria Farida Indrati S, menurutnya:
“Norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang terdiri atas dua norma hukum, yaitu norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Norma hukum primer adalah norma hukum yang berisi aturan/ patokan bagaimana cara seseorang harus berperilaku di dalam masyarakat. Sementara norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma primer itu tidak dipenuhi, atau tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila suatu norma hukum primer itu tidak dipatuhi, dan norma hukum sekunder ini mengandung sanksi bagi seseorang yang tidak memenuhi suatu ketentuan dalam norma hukum primer.
8. Bahwa konsep norma hukum berpasangan tersebut sejalan dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang termuat dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011, pada poin 112 menyatakan:
“Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.”
9. Bahwa Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 seharusnya sinkron, koheren atau bersesuaian dengan konstruksi Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 yang berbunyi:
(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 71 ayat (1) UU a quo terdapat frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/POLRI” sehingga rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 semestinya mengandung kedua frasa tersebut.
10. Bahwa Mahkamah dapat melakukan pengujian terhadap ketentuan yang dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) apabila produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Hal ini sejalan dengan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 (hlm. 187), yang menyatakan:
“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.”
11. Bahwa Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable, hal mana dijelaskan oleh Pemohon berikut ini:
Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 melanggar moralitas sebagai dasar pijakan hukum.
11.1. Moral merupakan dasar pijakan hukum sehingga hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral. Sejalan dengan ini, Peter Mahmud Marzuki, berpendapat “moral merupakan dasar berpijak hukum dan hukum harus mencerminkan moral. Sementara itu, K. Bertens, menyatakan “Sebagaimana terdapat hubungan erat antara moral dan agama, demikian juga antara moral dan hukum. Kita mulai saja dengan memandang hubungan ini dari segi hukum: hukum membutuhkan moral. Untuk itu terutama ada dua alasan.
Pertama, dalam kekaisaran Roma sudah terdapat pepatah Quid leges sine moribus? “Apa artinya undang-undang, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum selalu harus diukur dengan moral. Undang-Undang immoral tidak boleh tidak harus diganti, bila dalam suatu masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang.
Menurut Loren Bagus, moral pada umumnya dapat diartikan sebagai berikut:
– Menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat.
– Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima menyangkut apa yang dianggap benar, bijak, adil, dan pantas.
– Memiliki kemampuan untuk diarahkan oleh atau dipengaruhi oleh keinsafan akan benar atau salah, dan kemampuan untuk mengarahkan atau memengaruhi orang lain sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku yang dinilai benar atau salah.
– Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
Sementara itu, menurut H.L.A. Hart, keadilan menjadi salah satu segmen moralitas bukan terutama terkait dengan perilaku atau tindakan individu melainkan dengan cara-cara diperlakukannya kelas-kelas individu. Hal inilah yang memunculkan relevansi khusus bagi keadilan dalam kritik hukum dan kritik lembaga-lembaga sosial publik lainnya.
11.2. Ketidaknetralan pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dalam Pemilihan jelas melanggar nilai moralitas tersebut karena tindakan tidak netral ialah bentuk ketidakadilan dalam Pemilihan, sehingga tidak bijak, dan tidak pantas untuk dilakukan. Implikasinya ialah, hasil Pemilihan tidak akan fair, menimbulkan cacat terhadap proses dan nilai demokrasi yang semestinya dilaksanakan secara jujur dan adil. Oleh karenanya, tepatlah Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 mengatur larangan keberpihakan pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dalam Pemilihan. Tentu saja Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 semestinya mencakup frasa “pejabat daerah” dan frasa “anggota TNI/POLRI,” karena jika tidak demikian maka pelanggaran netralitas oleh pejabat daerah serta anggota TNI/POLRI dalam Pemilihan tidak dapat ditindak tegas secara hukum.
Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 melanggar prinsip rasionalitas hukum.
11.3. Ketentuan peraturan perundang-undangan tidak boleh saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Secara horizontal, ketentuan peraturan perundang-undangan harus konsisten, koheren, dan corresponsdence. Antara norma larangan atau perintah dengan norma sanksi harus sinkron, hal ini juga ditegaskan dalam lampiran II UU No. 12 Tahun 2011, pada poin 112 menyatakan:
“Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.” Sehingga Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak konsisten atau tidak koheren karena tidak memuat frasa “pejabat daerah” dan frasa “anggota TNI/POLRI” sehingga terjadi kekosongan hukum sanksi pidana bagi pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016. Kemudian, Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak corresponsdence, karena tidak menjamin penegakan hukum bagi pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI yang melanggar netralitas. Secara Vertikal, ketentuan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi.
Sementara Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap hak konstitusional Pemohon untuk memilih kepala daerah secara demokratis berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
11.4. Maka menurut Pemohon, karena Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 bertentangan secara horizontal maupun secara vertikal sebagaimana diuraikan di atas, maka jelaslah ketentuan a quo melanggar prinsip rasionalitas hukum. Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 menimbulkan ketidakadilan yang intolerable.
11.5. Ketidakadilan yang intolerable dialami Pemohon karena pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI tidaklah dapat ditindak tegas secara hukum, karena memang tidak terdapat ketentuan sanksi pidana. Padahal, pelanggaran terhadap netralitas oleh pejabat a quo jelas merugikan hak konstitusional Pemohon yaitu hak untuk memilih kepala daerah secara demokratis berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
12. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 telah jelas dan nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 yang berbunyi:
“Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
“Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
B. Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional untuk memilih kepala daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia jujur, dan adil, hal mana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 yang berbunyi:
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Sejak Putusan Mahkamah Nomor 85/PUU-XXI/2022 (hlm. 38-39), Mahkamah telah menegaskan bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim Pemilu dengan Rezim Pemilihan. Beberapa praktik berhukum yang menurut Mahkamah menjadi argumentasi dasar dalam perubahan penafsiran adalah sebagai berikut:
1) Pemilihan Umum Nasional dan Pemilihan Kepala Daerah secara de jure dan de facto dilaksanakan oleh lembaga yang sama. Satu-satunya norma dalam UUD 1945 yang menyebutkan penyelenggara pemilihan umum adalah Pasal 22E UUD 1945 ayat (5) yang menyatakan,
“Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”;
2) UUD 1945 mengamanatkan enam prinsip pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis, yaitu prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, karena sifat reguler dalam penyelenggaraan pemilihan, secara substansial Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 juga mengandung prinsip penyelenggaraan pemilihan umum secara berkala/periodik. Prinsip demikian dalam praktiknya bukan hanya berlaku untuk pemilihan umum nasional (yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD), namun juga mendasari pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Selain itu, kedua jenis pemilihan dimaksud tetap diselenggarakan berlandaskan pada prinsip-prinsip pemilihan demokratis yang berlaku secara universal.
3) Selanjutnya norma UUD 1945 tersebut diatur lebih lanjut ke dalam beberapa norma undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilihan umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dengan pengawasan perilaku oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Undang-undang yang mengatur lembaga penyelenggara pemilihan umum ini secara normatif tidak membedakan antara penyelenggaraan pemilihan umum (nasional) dengan pemilihan kepala daerah. Dalam praktik pun tidak ada pembedaan tersebut. Jika pun terdapat perbedaan, perbedaan demikian hanyalah bahwa penyelenggaraan pemilihan umum nasional dilaksanakan sepenuhnya oleh KPU RI (atau KPU pusat), sementara pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh KPU daerah yang notabene adalah kepanjangan tangan dari KPU RI sehingga keberadaannya merupakan satu kesatuan dengan KPU RI. Demikian pula Bawaslu daerah yang dalam konteks pengawasan atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah sebenarnya tetap bertindak sebagai kepanjangan tangan Bawaslu RI (Bawaslu pusat). Kesamaan demikian didukung pula oleh praktik bahwa subjek yang diperiksa dan diadili oleh DKPP meliputi semua penyelenggara pemilu baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah tanpa membeda-bedakan yurisdiksi absolut-nya;
4) Peserta pemilihan umum, baik kontestan (meliputi pasangan calon yang diusung partai politik maupun pasangan calon perseorangan) atau pun pemilih (pemilik hak suara), dapat memahami dan mengikuti/menjalankan konsep pemilihan yang tidak membedakan antara Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah. Bahkan, menurut Mahkamah dalam implementasi tidak cukup alasan lagi untuk membedakan baik secara konseptual, teoritis, dan sosiologis antara Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah;
5) Dari sisi sumber daya dan pembiayaan, Mahkamah juga menemukan fakta bahwa praktik menyatukan/melebur kedua rezim pemilihan demikian lebih efisien karena dapat diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara yang sama, dibandingkan jika Negara harus membentuk dua lembaga penyelenggara yang berbeda;
2. Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 85/PUU-XXI/2022 (hlm. 41-42) juga menyatakan dengan tegas yakni pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Selanjutnya, dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 2015 menyatakan:
“Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
3. Bahwa sebagai pemilih, Pemohon berhak atas Pemilihan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, oleh karenanya undangundang harus memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum terhadap tercapainya hak dimaksud, termasuk dari potensi pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI;
4. Bahwa netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI diatur dalam Pasal 71 UU No. 10 Tahun 106 yang berbunyi:
(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan
Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantianpejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Bahwa dalam Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 tersebut secara spesifik dan tegas melarang pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Sementara sanksi pidana terkait pelanggaran pasal a quo diatur dalam Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 yang berbunyi:
“Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
Memperhatikan rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tersebut, maka tidak ditemukan frasa “pejabat daerah” dan frasa “anggota TNI/POLRI” sehingga pasal a quo tidak dapat ditegakkan terhadap pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dalam hal terjadi pelanggaran netralitas, hal mana diatur dalam Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016.
6. Bahwa ketiadaan frasa “pejabat daerah” dan frasa “anggota TNI/POLRI” dalam rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 berpotensi melanggar hak konstitusional Pemohon dalam Pemilihan yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena tidak menjamin kepatuhan pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI terhadap larangan dalam Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016. Akibatnya, Pemohon tidak dapat memperjuangkan hak konstitusional tersebut dalam hal terjadi pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI terhadap Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, karena memang rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak mencakup pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI;
7. Bahwa Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 harus sinkron, koheren atau bersesuaian dengan konstruksi Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 karena kedua pasal a quo merupakan norma hukum berpasangan terdiri atas norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Meminjam konsep norma hukum berpasangan dari Maria Farida Indrati S, menurutnya:
“Norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang terdiri atas dua norma hukum, yaitu norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Norma hukum primer adalah norma hukum yang berisi aturan/ patokan bagaimana cara seseorang harus berperilaku di dalam masyarakat. Sementara norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma primer itu tidak dipenuhi, atau tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila suatu norma hukum primer itu tidak dipatuhi, dan norma hukum sekunder ini mengandung sanksi bagi seseorang yang tidak memenuhi suatu ketentuan dalam norma hukum primer.
8. Bahwa konsep norma hukum berpasangan tersebut sejalan dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang termuat dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011, pada poin 112 menyatakan:
“Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.”
9. Bahwa Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 seharusnya sinkron, koheren atau bersesuaian dengan Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 yang berbunyi:
(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 71 ayat (1) UU a quo terdapat frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/POLRI” sehingga rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 semestinya mengandung kedua frasa tersebut.
10. Bahwa Mahkamah dapat melakukan pengujian terhadap ketentuan yang dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) apabila produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Hal ini sejalan dengan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 (hlm. 187), yang menyatakan:
“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk UndangUndang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.”
11. Bahwa Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable, hal mana dijelaskan oleh Pemohon berikut ini: Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 melanggar moralitas sebagai dasar pijakan hukum.
11.1. Moral merupakan dasar pijakan hukum sehingga hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral. Sejalan dengan ini, Peter Mahmud Marzuki berpendapat “moral merupakan dasar berpijak hukum dan hukum harus mencerminkan moral. Sementara itu, K. Bertens menyatakan
“Sebagaimana terdapat hubungan erat antara moral dan agama, demikian juga antara moral dan hukum. Kita mulai saja dengan memandang hubungan ini dari segi hukum: hukum membutuhkan moral. Untuk itu terutama ada dua alasan. Pertama, dalam kekaisaran Roma sudah terdapat pepatah Quid leges sine moribus? “Apa artinya undangundang, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum selalu harus diukur dengan moral. Undang-Undang immoral tidak boleh tidak harus diganti, bila dalam suatu masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang.
Menurut Loren Bagus, moral pada umumnya dapat diartikan sebagai berikut:
– Menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat.
– Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima menyangkut apa yang dianggap benar, bijak, adil, dan pantas.
– Memiliki kemampuan untuk diarahkan oleh atau dipengaruhi oleh keinsafan akan benar atau salah, dan kemampuan untuk mengarahkan atau memengaruhi orang lain sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku yang dinilai benar atau salah.
– Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
Sementara itu, menurut H.L.A. Hart, keadilan menjadi salah satu segmen moralitas bukan terutama terkait dengan perilaku atau tindakan individu melainkan dengan cara-cara diperlakukannya kelas-kelas individu. Hal inilah yang memunculkan relevansi khusus bagi keadilan dalam kritik hukum dan kritik lembaga-lembaga sosial publik lainnya.
11.2. Ketidaknetralan pejabat daerah serta anggota TNI/POLRI dalam Pemilihan jelas melanggar nilai moralitas tersebut karena tindakan tidak netral ialah bentuk ketidakadilan dalam Pemilihan, sehingga tidak bijak, dan tidak pantas untuk dilakukan. Implikasinya ialah, hasil Pemilihan tidak akan fair, menimbulkan cacat terhadap proses dan nilai demokrasi yang semestinya dilaksanakan secara jujur dan adil. Oleh karenanya, tepatlah Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 mengatur larangan keberpihakan pejabat daerah serta anggota TNI/POLRI dalam Pemilihan. Tentu saja Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 semestinya mencakup frasa pejabat daerah serta frasa anggota TNI/POLRI, karena jika tidak demikian maka pelanggaran netralitas oleh pejabat daerah serta anggota TNI/POLRI dalam Pemilihan tidak dapat ditindak tegas secara hukum. Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 melanggar prinsip rasionalitas hukum.
11.3. Ketentuan peraturan perundang-undangan tidak boleh saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal karena dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Secara horizontal, ketentuan peraturan perundangundangan harus konsisten, koheren, dan corresponsdence. Antara norma larangan atau perintah dengan norma sanksi harus sinkron, hal ini juga ditegaskan dalam lampiran II UU No. 12 Tahun 2011, pada poin 112 menyatakan:
“Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.” Sehingga Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak konsisten atau tidak koheren karena tidak memuat frasa “pejabat daerah” dan frasa “anggota TNI/POLRI” sehingga terjadi kekosongan hukum sanksi pidana bagi pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016. Kemudian, Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak corresponsdence, karena tidak menjamin penegakan hukum bagi pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI yang melanggar netralitas. Secara Vertikal, ketentuan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi. Sementara Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap hak konstitusional Pemohon untuk memilih kepala daerah secara demokratis berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
11.4. Maka menurut Pemohon, karena Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 bertentangan secara horizontal maupun secara vertikal sebagaimana diuraikan di atas, maka jelaslah ketentuan a quo melanggar prinsip rasionalitas hukum. Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 menimbulkan ketidakadilan yang intolerable.
11.5. Ketidakadilan yang intolerable dialami Pemohon karena pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI tidaklah dapat ditindak tegas secara hukum, karena memang tidak terdapat ketentuan sanksi pidana. Padahal, pelanggaran terhadap netralitas oleh pejabat a quo jelas merugikan hak konstitusional Pemohon yaitu hak untuk memilih kepala daerah secara demokratis berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
12. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 telah jelas dan nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 yang berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
C. Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
2. Bahwa tujuan pembentukan undang-undang salah satunya adalah untuk menjamin kepastian hukum, oleh karenanya dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i UU No. 12 Tahun 2011, menyatakan: “Materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas: i. Ketertiban dan kepastian hukum;”
Secara teoretis, Jan M. Otto, menyatakan bahwa “kepastian hukum (yang nyata) dalam situasi tertentu mesyaratkan sebagai berikut:
1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) negara;
2) Bahwa instansi-instansi pemerintahan menerapkan aturanaturan hukum itu secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya;
3) Bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga negara menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak (independent and impartial judges) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum yang dibawa kehadapan mereka;
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Sementara menurut Sudikno Mertokusumo, “kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan”.
Sedangkan Van Apeldoorn menyatakan dua hal mengenai kepastian hukum yaitu:
1) kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang konkret.
2) kepastian hukum berarti perlindungan hukum.
Demikan Satjipto Raharjo, menyatakan “kepastian hukum merupakan produk hukum atau lebih khusus lagi peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, “begitu datang hukum, maka datanglah kepastian”.
3. Bahwa hak atas kepastian hukum sangat menentukan terhadap tercapainya Pemilihan yang demokratis berasaskan langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Oleh karenanya, Mahkamah sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) harus memastikan norma hukum dalam Pemilihan menjamin hak-hak konstitusional Pemohon tersebut;
4. Bahwa hak Pemohon atas jaminan kepastian hukum terlanggar oleh berlakunya Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 yang berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
Norma hukum dalam Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 merupakan norma hukum sekunder karena mengandung sanksi bagi seseorang yang tidak memenuhi suatu ketentuan dalam norma hukum primer. Sementara norma hukum primer pasal a quo mengacu pada Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 yang berbunyi:
(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Bahwa ketentuan Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 merupakan norma hukum primer yaitu norma hukum yang berisi larangan, sehingga menimbulkan akibat hukum apabila pasal a quo dilanggar. Sementara Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 merupakan norma hukum sekunder yang berisi akibat hukum berupa ancaman pidana atas pelanggaran terhadap Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016. Sayangnya, konstruksi Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak sesuai, tidak koheren atau tidak konsisten dengan konstruksi Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 karena dalam Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak terdapat frasa “pejabat daerah” dan frasa “anggota TNI/POLRI”, padahal dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10 Tahun 2016 secara spesifik dan tegas melarang pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
6. Bahwa dengan tidak terdapatnya frasa “pejabat daerah” dan frasa “anggota TNI/POLRI” dalam Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 selaku norma hukum sekunder, maka pasal a quo tidak konsisten dengan pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 selaku norma hukum primer. Hal tersebut juga berarti tidak terdapat jaminan penegakan hukum Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 terhadap pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI.
Selain itu, dalam hal terjadi pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI hal mana diatur dalam Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016, apakah sanksi yang dapat diterapkan terhadapnya? Maka telah jelas dan nyata ketentuan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak mengandung kepastian hukum karena tidak mengandung sanksi terhadap pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI, padahal pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon;
7. Bahwa ketiadaan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/POLRI” dalam rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak konstitusional Pemohon karena:
7.1. Berlakunya Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak menjamin tercapainya Pemilihan yang demokratis berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dari potensi pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI, karena memang pasal a quo tidak mencakup sanksi pidana terhadap pelanggaran netralitas dari pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI, padahal menurut Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam Pemilihan.
7.2. Ketiadaan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/POLRI” dalam rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 berpotensi melanggar hak konstitusional Pemohon dalam Pemilihan yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena tidak menjamin kepatuhan pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI terhadap Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016.
Akibatnya, Pemohon tidak dapat memperjuangkan hak konstitusional tersebut dalam hal terjadi pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI terhadap Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, karena memang rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak mencakup pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI.
8. Bahwa agar kerugian konstitusional sebagaimana didalilkan oleh Pemohon tersebut tidak terjadi, maka Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 harus ditafsirkan oleh Mahkamah agar rumusan pasal a quo mencakup pelanggaran pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI terhadap Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016. Oleh karenanya, mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 yang berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).” melanggar hak konstitusional Pemohon dalam Pemilihan yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena tidak menjamin kepatuhan pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI terhadap Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016. Akibatnya, Pemohon tidak dapat memperjuangkan hak konstitusional tersebut dalam hal terjadi pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI terhadap Pasal 71 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, karena memang rumusan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tidak mencakup pelanggaran netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI.
8. Bahwa agar kerugian konstitusional sebagaimana didalilkan oleh Pemohon tersebut tidak terjadi, maka Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 harus ditafsirkan oleh Mahkamah agar rumusan pasal a quo mencakup pelanggaran pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI terhadap Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016. Oleh karenanya, mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 yang berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah)
atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono).
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan bukti P- 12 yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 16 Oktober 2024 sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Bukti P-2 :
a. Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
b. Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota;
3. Bukti P-3 :
a. Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022;
b. Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018;
c. Fotokopi Putusan Mahkamah Nomor 49/PUUVIII/2010;
d. Fotokopi Putusan Mahkamah Nomor 147/PUUVII/2009;
4. Bukti P-4 :
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon;
b. Fotokopi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemohon;
5. Bukti P-5 : Fotokopi buku Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta, 2018, hlm. 99;
6. Bukti P-6 : Fotokopi buku A.F. Sumadi, dkk, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Perkembangan dalam Praktik), PT Rajagrafindo Persada, Depok, 2019, hlm. 141-142;
7. Bukti P-7 : Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Jakarta, 2019, hlm. 31-32;
8. Bukti P-8 : Fotokopi buku Sunaryo, Sidik, and Shinta Ayu Purnamawati. “Paradigma Hukum Yang Benar dan Hukum Yang Baik (Perspektif Desain Putusan Hakim Perkara Korupsi Di Indonesia).” Hukum Pidana Dan Pembangunan Hukum 1.2 (2019).
9. Bukti P-9 : Fotokopi buku Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Pranamedia Group, Jakarta, 2020, hlmn.84;
10. Bukti P-10 : Fotokopi buku Subiharta, Subiharta. “Moralitas Hukum Dalam Hukum Praksis Sebagai Suatu Keutamaan,” Jurnal Hukum dan Peradilan 4.3 (2015): 385-398;
11. Bukti P-11 : Fotokopi buku Sukarno Aburaera, dkk., Filsafat Hukum, Penadamedia Group, Depok, 2018, hlm. 162;
12. Bukti P-12 : Fotokopi buku H.L.A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Nusa Media, Bandung, 2016, hlm. 259.
[2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
[3.2] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu, Pasal 188 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656, selanjutnya disebut UU 1/2015) terhadap UUD NRI Tahun 1945, sehingga Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo.
Kedudukan Hukum Pemohon
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUUV/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4], Pemohon pada pokoknya menguraikan kedudukan hukumnya sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 188 UU 1/2015, yang rumusan selengkapnya sebagai berikut:
“Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
2. Bahwa Pemohon mengkualifikasikan dirinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024 dan telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS 002, Desa Bukit Tinggi, Kecamatan Ulu Moro’o, Kabupaten Nias Barat, Provinsi Sumatera Utara.
3. Bahwa Pemohon menganggap hak konstitusionalnya untuk memilih (memberikan suara) dalam Pemilihan Kepala Daerah secara demokratis yang berdasarkan pada asas langsung, umum, bebas, rahasial, jujur, dan adil serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 188 UU 1/2015.
4. Bahwa dalam menguraikan ada atau tidaknya anggapan kerugian hak
konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 yang diakibatkan oleh
berlakunya norma dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian,
Pemohon menyampaikan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa norma Pasal 188 UU 1/2015 merupakan norma hukum yang berpasangan norma Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 10/2016) karena
memuat ancaman pidana atas pelanggaran terhadap larangan yang
terdapat dalam norma Pasal 71 UU 10/2016. Akan tetapi, norma Pasal 188
UU 1/2015 a quo tidak memuat frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/POLRI” sebagaimana norma dalam Pasal 71 UU 1/2016.
b. Bahwa ketiadaan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/POLRI” dalam
Pasal 188 UU 1/2015 a quo, menyebabkan pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 71 UU 10/2016 tidak dapat diproses dan dikenai sanksi pidana. Padahal Pasal 71 UU 10/2016 jelas melarang pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI untuk
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
c. Bahwa dengan dengan rumusan norma Pasal 188 UU 1/2015 a quo
menyebabkan tidak terjaminnya kepatuhan pejabat daerah maupun
anggota TNI/POLRI terhadap larangan dalam Pasal 71 UU 10/2016, sekaligus tidak menjamin netralitas pejabat daerah serta anggota TNI/POLRI dalam Pilkada. Hal demikian berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis berdasarkan asas umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), serta
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Setelah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya serta syarat kedudukan hukum Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon telah memenuhi kualifikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, terhadap anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon, menurut Mahkamah, adalah bersifat spesifik dan potensial karena dengan berlakunya norma Pasal 188 UU 1/2015 menyebabkan tidak terjaminnya netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon dalam mengikuti dan memilih (memberikan suara) pada pemilihan kepala daerah secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Oleh sebab itu, anggapan kerugian hak konstitusional yang dijelaskan Pemohon tersebut memiliki hubungan sebab-akibat (causal verband) dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian yang apabila permohonan dikabulkan maka kerugian hak konstitusional seperti yang dijelaskan tidak akan terjadi lagi. Dengan demikian menurut Mahkamah, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya inkonstitusionalitas norma Pasal 188 UU 1/2015 yang dimohonkan pengujian, Mahkamah menilai, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo.
[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan.
Dalam provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah agar menjadikan permohonan a quo sebagai prioritas pemeriksaan di Mahkamah karena sangat berkaitan dengan jaminan netralitas dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah (pilkada) yang telah mendekati pelaksanaan masa kampanye dalam Pilkada Tahun 2024 secara serentak. Berkenaan dengan permohonan provisi Pemohon tersebut, setelah dicermati oleh Mahkamah, telah ternyata terhadap permohonan a quo tidak dilanjutkan pada sidang pemeriksaan dengan agenda mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 54 UU MK.
Oleh karena itu, permohonan a quo akan diputus dengan putusan akhir dan terhadap norma undang-undang yang dimohonkan pengujian akan segera mendapatkan kepastian hukum. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan provisi Pemohon haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan norma Pasal 188 UU 1/2015 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Pemohon mengemukakan dalil-dalil permohonan (selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang apabila dirumuskan oleh Mahkamah pada pokoknya sebagai berikut.
1. Bahwa menurut Pemohon, norma Pasal 71 UU 1/2015 yang telah diubah dengan UU 10/2016 merupakan norma hukum yang tidak dapat dipisahkan dengan rumusan norma Pasal 188 UU 1/2015, karena norma Pasal 71 UU 1/2015 mengatur tentang perbuatan yang dilarang, sedangkan norma Pasal 188 UU 1/2015 menetapkan sanksi berupa ancaman pidana atas pelanggarannya. Ketika Pasal 71 ayat (1) UU 71/2015 diubah menjadi Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 dengan menambahkan frasa “pejabat daerah” serta “anggota TNI/POLRI”, namun kedua frasa a quo tidak ditambahkan ke dalam Pasal 188 UU 1/2015 karena Pasal 118 UU 1/2015 tidak turut diubah dalam UU 10/2016.
2. Bahwa menurut Pemohon, norma Pasal 188 UU 1/2015 seharusnya sinkron, koheren atau bersesuaian dengan norma Pasal 71 UU 10/2016 karena kedua pasal a quo merupakan norma hukum berpasangan sebagai norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Akibat norma Pasal 118 UU 1/2015 tidak mengalami perubahan dalam UU 10/2016, maka kedua norma a quo menjadi tidak harmonis dan sinkron dan hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum sebagai upaya mewujudkan pemilukada yang demokratis berdasarkan asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sehingga karenanya bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
3. Bahwa menurut Pemohon, norma Pasal 188 UU 1/2015 jelas melanggar prinsip moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable sehingga Mahkamah perlu melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas pasal a quo yang merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil di atas, dalam petitum, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan norma Pasal 188 UU 1/2015 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).” Sehingga selanjutnya Pasal 188 UU 1/2015, menjadi berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)”.
[3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung dan membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-12 dan telah disahkan dalam persidangan pada tanggal 16 Oktober 2024 yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara.
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena pokok permohonan Pemohon telah jelas sebagaimana telah dipertimbangkan pula dalam Paragraf [3.7] pada pertimbangan hukum perihal permohonan provisi Pemohon di atas, menurut Mahkamah, tidak terdapat urgensi dan relevansi untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK.
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil permohonan Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.8] di atas, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah ketiadaan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/POLRI” dalam Pasal 188 UU 1/2015 sebagai norma sekunder menjadikan norma Pasal 188 UU 1/2015 adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sebelum Mahkamah menjawab isu konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu menjelaskan hal-hal sebagai berikut.
[3.11.1] Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan dengan tegas Indonesia adalah negara hukum. Secara doktriner, negara hukum merupakan sebuah konsep penyelenggaraan negara yang didasarkan atas aturan-aturan hukum yang harmonis dan sinkron satu sama lain. Berdasarkan konsep ini, maka setiap tindakan penyelenggara negara dan warga negara harus didasarkan dan berkesesuaian dengan aturan hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game) yang ditetapkan melalui mekanisme pembentukan paraturan perundangundangan yang berlaku. Rule of the game ini bertujuan untuk menjadi pedoman dan membatasi setiap warga masyarakat, termasuk aparatur dan pejabat negara dalam bersikap tindak tertentu. Dalam perspektif paham konstitusi (constitutionalism), aturan main yang ditetapkan harus memberikan jaminan atas kepastian hukum yang adil, jaminan mana merupakan salah satu hak dasar yang harus diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Dalam UUD NRI Tahun 1945, jaminan atas kepastian hukum ini diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Melalui prinsip kepastian hukum yang adil, negara dapat menjamin perlindungan hak, kebebasan, dan keadilan bagi setiap warga negara, menciptakan ketertiban sosial, serta menjaga legitimasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
[3.11.2] Bahwa konsep penyelenggaraan negara yang didasarkan atas hukum dan jaminan atas kepastian hukum yang adil sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menempatkan aturan hukum tertulis (perundang-undangan) sebagai salah satu hal yang pokok. Pandangan demikian sejalan dengan pendapat Satjipto Raharjo yang menyatakan, “kepastian hukum merupakan produk hukum atau lebih khusus lagi peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, begitu datang hukum, maka datanglah kepastian.” Meskipun undang-undang yang baik tidak cukup hanya memberikan kepastian hukum, namun juga harus memberikan keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh warga masyarakat. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik membutuhkan keterlibatan dan partisipasi berbagai pihak dan harus dengan mengacu pada prinsip keadilan, kepastian, dan kemanfaatan agar produk hukum yang dihasilkan berperan secara baik dan efektif dalam menciptakan tatanan hukum yang berkeadilan, tidak diskriminatif dan melindungi hak-hak masyarakat dalam suatu negara hukum. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan untuk memformulasikan norma hukum yang dibuat secara jelas, konsisten, harmonis, sinkron dan mudah dipahami serta tidak membuka ruang multitafsir dalam penyusunannya dan tidak menimbulkan ambigu dalam implementasinya. Keharusan tersebut sekaligus menjadi prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik, yang jika diringkas menjadi prinsip konsisten, koheren, harmonis, sinkron, dan berkorespondensi antara aturan hukum yang dibuat dengan aturan yang secara hierarki berada di atasnya, antara aturan yang dibuat dengan peraturan perundang-undangan lainnya dalam satu hierarki maupun antara aturan hukum yang satu dengan aturan hukum yang secara hierarki ada di bawahnya. Hal ini berarti secara a contrario, sebuah norma dalam peraturan perundang-undangan yang tidak memenuhi prinsip tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Prinsip seperti disebutkan di atas menjadi pedoman bagi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitas pembentukan dan substansi norma dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya kepada Mahkamah.
[3.12] Menimbang bahwa setelah menjelaskan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 188 UU 1/2015 yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 sebagaimana telah diubah dengan UU 10/2016 mengenai netralitas aparatur negara dalam pilkada. Terhadap dalil norma a quo, Mahkamah mempertimbangkan netralitas aparatur negara, baik sipil maupun militer, dalam pilkada merupakan prinsip dasar untuk menjamin penyelenggaraan sebuah pemilu yang jujur dan adil. Dengan netralitas aparaturnya, negara dapat menjaga keadilan, hak warga negara untuk mengikuti pilkada secara langsung, umum, bebas dan rahasia, sekaligus menjamin pilkada yang jujur dan adil dengan mencegah perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan oleh aparatur negara. Netralitas aparatur negara akan meningkatan kualitas demokrasi serta memastikan pilkada sebagai sarana untuk memilih pemimpin daerah yang dihasilkan bukan dari proses pilkada yang manipulatif karena adanya keberpihakan aparatur negara terhadap pasangan calon tertentu. Selanjutnya, dalam rangka perbaikan penyelenggaraan pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, pembentuk undang-undang telah melakukan revisi atau perubahan terhadap sejumlah ketentuan dalam UU 1/2015, di antaranya terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 dengan menambahkan 2 (dua) subjek hukum baru sebagai aparatur negara, yaitu pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI sebagaimana kemudian dirumuskan dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.
[3.13] Menimbang bahwa meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, namun perubahan tersebut tidak diikuti dengan perubahan atau penambahan 2 (dua) subjek hukum baru tersebut ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder. Oleh karena UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 UU 1/2015, sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tersebut tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015. Padahal, norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang kemudian diubah dengan UU 10/2016 bukan merupakan norma yang bersifat lex imperfecta, melainkan merupakan norma yang dibuat dengan akibat atau konsekuensi hukum. Dalam hal ini, akibat atau konsekuensi hukumnya adalah harus dimuat pada norma sekunder yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran yang dilakukan dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016. Tidak diubahnya norma Pasal 188 UU 1/2015 dalam UU 10/2016 agar norma a quo sinkron dengan norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 yang digunakan sebagai rujukan sehingga menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap 2 (dua) subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri. Padahal, Pasal 205B UU 10/2016 menentukan UU 1/2015 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU 10/2016.
[3.14] Menimbang bahwa oleh karena norma pada kedua pasal a quo merupakan norma hukum berpasangan, maka norma Pasal 188 UU 1/2015 sebagai norma sekunder yang memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tidak dipatuhi atau dilanggar, harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan rinci guna memenuhi prinsip lex certa sehingga tidak menimbulkan masalah untuk keperluan penegakan hukumnya. Jika tercipta ruang perbedaan pandangan atau interpretasi ketika diterapkan dalam kasus konkret, maka berarti prinsip lex certa tersebut menjadi tidak terpenuhi.
Dalam hal ini Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut pasca perubahan UU 1/2015. Adanya penambahan pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI sebagai subjek hukum baru dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tidak terakomodir dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang tidak diubah dalam UU 10/2016. Mahkamah menilai bahwa ketiadaan 2 (dua) subjek hukum, in casu pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI, dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang memuat sanksi pidana akan menimbulkan permasalahan dalam penegakan hukumnya. Misalnya, (i) kedua subjek hukum tersebut berpotensi menjadi tidak dapat diproses pidana meskipun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016; atau setidaknya (ii) timbul perdebatan mengenai keabsahan proses penegakan hukum terhadap kedua subjek hukum a quo. Dalam batas penalaran yang wajar, kedua keadaan yang potensial terjadi akibat ketidaksesuaian rumusan norma primer dan sekunder antara kedua pasal a quo, menurut Mahkamah, menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
[3.15] Menimbang bahwa dengan mengacu pada fakta tidak dilakukannya perubahan norma Pasal 188 UU 1/2015 dengan menambahkan 2 (dua) subjek hukum baru sebagaimana yang dilakukan terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015, Mahkamah dihadapkan kepada pilihan apakah melakukan harmonisasi dan/atau sinkronisasi kedua norma yang berpasangan tersebut dengan menambahkan kedua subjek hukum, in casu pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI, agar kedua norma tersebut menjadi konsisten, koheren, harmonis, sinkron dan saling berkorespondensi, dan sekaligus memenuhi prinsip lex certa. Namun, dalam hal pilihan Mahkamah demikian, terdapat irisan dengan kebijakan pidana atau politik pemidanaan (criminal policy) yang selama ini menjadi sikap yang dipertahankan oleh Mahkamah. Dalam beberapa putusan sebelumnya, Mahkamah berpendirian bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam suatu pasal pemidanaan merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Akan tetapi, terhadap permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan hal yang terkait dengan criminal policy, melainkan lebih merupakan harmonisasi dan/atau sinkronisasi antara Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder dengan norma primer, yaitu norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016, agar saling konsisten, koheren, sinkron, harmonis, dan berkorespondensi. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menambahkan frasa “pejabat daerah” dan frasa “anggota TNI/POLRI” dalam Pasal 188 UU 1/2015 agar sesuai dengan prinsip negara hukum dan menciptakan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, norma Pasal 188 UU 1/2015 yang undang-undangnya kemudian diubah menjadi UU 10/2016 selengkapnya menjadi “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)”.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata norma Pasal 188 UU 1/2015 telah melanggar prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak atas kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Permohonan provisi Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
[4.4] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Dalam provisi:
Menolak permohonan provisi Pemohon.
Dalam pokok permohonan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan ketentuan norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana undang-undangnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)”;
3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Arsul Sani, Arief Hidayat, Ridwan Mansyur, Anwar Usman, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa tanggal lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh empat yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan November, tahun dua ribu dua puluh empat, selesai diucapkan pukul 12.16 WIB oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Arsul Sani, Arief Hidayat, Ridwan Mansyur, Anwar Usman, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah, dengan dibantu oleh Rahadian Prima Nugraha sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Suhartoyo
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Saldi Isra
ttd.
Arsul Sani
ttd.
Arief Hidayat
ttd.
Ridwan Mansyur
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Enny Nurbaningsih
ttd.
Daniel Yusmic P. Foekh
ttd.
M. Guntur Hamzah
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Rahadian Prima Nugraha
Komentar