oleh

Gratifikasi Mantan Bupati Sidoarjo Ternyata Dari Bos Maspion Grup dan Kopi Kapal Api

Jakarta – Cakranusantara.net | Pada 7 Januari 2020 yang lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bupati Sidoarjo disinyalir terima suap dan gratifikasi dari sejumlah Kepala Dinas (Kadin) dan Kepala Bagian (Kabag) Pemda Kabupaten Sidoarjo bersama para pengusaha pemberi suap dalam proyek Infrastuktur, Sabtu (3/6/2023).

Bupati Sidoarjo, Saifullah menjabat dua periode, pertama tahun 2010-2015 dan kedua 2016-2021. Saat sidang di Pengadilan Negeri Surabaya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman selama 4 tahun penjara kepada Saifullah, dan Majelis Hakim pada bulan Oktober 2020 memutuskan hukum (vonis) selama 3 tahun penjara dan denda sebesar 200 juta rupiah, atau subsider 6 bulan kurungan dalam kasus tersebut.

Terbukti dalam dakwaan alternatif kedua Pasal 11 UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP oleh Ketua Majelis Hakim, Cokorda Gede Arthana, SH., dan ditambah membayar uang pengganti sebesar Rp 550 juta subsider 6 bulan kurungan.

Dalam kasus OTT pada 7/1/2020 disita barang bukti berupa uang sebesar Rp 1,8 miliar. Selain itu terdakwa lainnya, Yudi divonis hukuman 2 tahun penjara dan denda 150 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan, Sunarti Setyaningsih alias Naning mantan Kadis DPUPR Pemkab Sidoarjo divonis 1,5 tahun (18 bulan) penjara dan denda 100 juta rupiah subsider 6 bulan penjara. Dan terdakwa lainnya Sanadjihitu divonis 2 tahun penjara dan denda 150 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan.

Kemudian terdakwa Saifullah mengajukan banding ke PT Surabaya Jawa Timur dan hukuman berkurang satu tahun menjadi 2 tahun penjara, sehingga sekarang sudah menjalani vonis hakim dan baru bebas pada 7/1/2022 dari Lapas Kelas 1 Porong Surabaya. Namun Saifullah kembali ditahan di Rutan KPK sejak 7/3/2023. Sedangkan, terdakwa lain salah satu pengusaha Ibnu Gofur memberi suap 350 juta rupiah kepada mantan Bupati divonis 20 tahun penjara.

Dalam perkara kedua Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Gratifikasi pada mantan Bupati Sidoarjo 2 periode (2010-2021) berhasil disita barang bukti uang kas sebesar 5,6 miliar rupiah dan 64 ribu dollar Amerika Serikat, 10 buah tas merek Tumi. 1 tas merek Louis Vutton, 4 unit HP Iphone 7, 1 unit HP Iphone MT562Z, 3 keping emas 50 gram dan 25 gram, biasanya Bupati menetapkan tiap Kadin dan Kabag untuk menyerahkan upeti yang ditentukan per periode, jual beli jabatan, hadiah ulang tahun, bantuan dana kepada Tim Deltras Sidoarjo via Bupati, THR Bupati, Wakil Bupati dan Sekda, uang komisi (fee) tender proyek sebesar 3-5% dari nilai proyek, juga fee terhadap perjanjian peralihan tanah di Grogol Hilir.

Dalam perkara Gratifikasi itu terdapat bukti, bahwa Saifullah terima uang sebesar 1,5 miliar rupiah dari bos Maspion Grup (Dirut PT Indal Aluminium Industry Tbk, Alim Markus) dan bos Kopi Kapal Api (Dirut PT Santos Karya Abadi Kopi, Soedomo Margonoto).

Alim Markus kelahiran 24 September 1951 selain owner Maspion yang berdiri sejak 1971 dengan modal kursus manajemen di Pan Pasific Managemen Taiwan, ia pernah menjadi Wakil Ketua Kadin Jawa Timur saat Presiden Gus Dur 1999-2001, pernah menjadi anggota Dewan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), lalu menjadi Konsul Dagang RI di Kanada di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Alim Markus diperiksa sebagai saksi di KPK pada Rabu 24/5/23, sedangkan Soedomo Margonoto owner Kopi Kapal Api diperiksa sebagai saksi oleh KPK Senin 22/5/23 lalu.

Dalam modus operandi Gratifikasi para pejabat negara menurut Dr Kurnia Zakaria berpola pada :

1. Pemberian hadiah barang atau uang sebagai ucapan terima kasih.

2. Bantuan biaya perkawinan maupun syukuran, acara ulang tahun keluarga pejabat, acara kepentingan Pemda/ Institusi maupun Partai Politik (Pemda) atau Ormas pendukung utama pejabat negara/ pemda sebagai tanda silahturahmi.

3. Pemberian tiket maupun uang saku perjalanan dan/atau akomodasi untuk perjalanan dinas maupun liburan pejabat negara.

4. Pemberian fasilitas akomodasi dan souvernir maupun biaya “entertain’ pejabat selama kunjungan tugas ke daerah maupun perjalanan dinas.

Suap sesuai UU No.11 Tahun 1980 merupakan tindakan memberi atau meminta uang dan barang dari pemberi suap dan penerima suap. Tindakan suap dapat terjadi apabila ada transaksi antara kedua belah pihak. Gratifikasi sesuai UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No.20 Tahun 2021 berupa tindakan yang bertujuan untuk mempermudah pengguna jasa. Gratifikasi bisa diterima melalui sarana elektronik maupun langsung bisa diterima di dalam negeri maupun di luar negeri. Suap terjadi jika pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas layanan dengan maksud agar dipercepat proses pelayanan.

Sebaliknya, pemerasan jika petugas pelayanan aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa. Uang Pelicin adalah gabungan dari suap dan pemerasan. Gratifikasi terjadi jika pihak puncak Revolusi pengguna layanan memberi sesuatu kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran atau transaksi apapun, tapi pemberi memberi kesan kepada petugas layanan agar di kemudian hari pengguna jasa dapat dimudahkan istilahnya “balas budi’ jika ditagih.

Dalam UU No. 31 tahun 1999 suap diatur dalam pasal 5, sedangkan gratifikasi diatur dalam pasal 12. Hal pelanggaran UU TPPU No. 8 tahun 2010 perubahan ketiga UU No. 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah UU No. 25 tahun 2003 diawali dengan Tipikor maupun Tindak Pidana Khusus (Tipisus) lainnya dan Tindak Pidana Umum (Tipidum) dalam KUHP, dimana ada hasil dari 36 kejahatan sebelumnya.

Sejarah perkembangan pemahaman peranan hukum di Indonesia cukup unik. Presiden pertama, Ir. Soekarno secara tegas menolak peranan sarjana hukum karena dianggap menghalangi Revolusi, tetapi cukup membutuhkan 10 pemuda teknik untuk ‘menggebrak dunia”. Presiden kedua, Jendral Soeharto hingga Presiden ke tujuh Ir. Joko Widodo sudah memahami peranan hukum dalam pembangunan nasional. Namun belum menyentuh realita kebutuhan kepastian hukum dan keadilan hukum bagi warga negara Indonesia, kecuali demi kekuasaan. Dalam kenyataan hukum dinomor duakan dari pada pembangunan ekonomi dan proyek infrastruktur, hukum dipakai bila ada efek negatif atau kerugian negara dari kebijakan ekonomi nasional maupun daerah yang dinilai merugikan rakyat,” hal itu semua diungkapkan oleh Dr. Kurnia Zakaria selaku pakar hukum dan juga Dosen pada Universitas Indonesia.

(Rmn)

Komentar

Tinggalkan Balasan