Jakarta – Cakranusantara.net | Pengosongan Lahan di Pulau Rempang yang dilakukan pasukan gabunngan TNI, Polisi, Satpol PP Pemkot Batam serta Ditpam (BP) Batam berkekuatan 1.010 personel dengan jumlah kendaraan yang digunakan 60 mobil petugas aparat gabungan demi berjalannya Proyek Rempang Eco City.
Ini kasusnya sudah lama tapi karena eksekusi dilakukan hari Kamis (7/9) saat Tahun Politik jadi ada kepentingan ekonomi demi kepentingan Dana Pemilu. Pasca kejadian mereka mendirikan lima Posko di Jembatan Barelang IV, Simpang café, Sungai Buluh Simpang Sembulang, Simpang Rezeki, dan Kantor kecamatan Galang.
“Dengan tiap posko dijaga 20-30 personil aparat. Peristiwa Rempang belum selesai sudah terjadi kericuhan di Seruyan, Kalimantan Tengah pada (22/9) dan di Pohuwato Gorontalo pada (21/9),” ungkap Dr Kurnia Zakaria selaku pakar hukum dan juga Dosen pada sejumlah Universitas di Jakarta.
Keppres No.74 Tahun 1971 dibentuk Badan Otoritas Batam yang dipimpin langsung BJ Habibie sebagai Menteri Ristek dan Teknologi era Orde Baru. Keppres No.41 tahun 1973 diberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada Otorita Batam. Sehingga para investor hanya boleh menyewa atau kontrak kepada Badan Otorita Batam, jadi semua alasnya adalah Tanah Milik Negara.
“Tahun 2004 digagas BP Batam dan Pemkot Batam bekerjasama mengerjakan Rempang Eco City bekerjasama dengan PT Makmur Elok Graha. Tahun 2023 dimasukkan dalam Program Strategis Nasional dengan Permenko Bidang Perekonomian RI No. 7 Tahun 2023 ditandatangani Erlangga Hartanto tanggal 28 Agustus 2023 dengan harapan agar ada pemasukan dana investasi tahun 2080 sebesar 381 triliun rupiah,” ujarnya.
Pulau Rempang menjadi bagian dari BP Batam. Tetapi ternyata di pulau Rempang ada areal tanah bekas HGU Perkebunan, kawasan Hutan Lindung, dan Kawasam Kampung Tua yang dihuni oleh 3 suku penduduk asli Rempang. Dengan PP No.46 Tahun 2007 berubah menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebbas dan Pelabuhan Bebas Batam dengan membangun jalan By pass Trans Batam-Rempang-Galang sejauh 70km lebih (BARELANG) dengan dibangun 6 jembatan Barelang menghubungkan Pulau Batam dengan Rempang dan Galang.
“Pasal 1 Permendagri No.52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mengakui masyarakat hukum adat Kampung Tua di Batam Rempang. Sesuai Keputusan Wali Kota Batam No. KPTS.105/HR/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 memberi Hak Pengelolaan Lahan bagi masyarakat Kampung Tua,” paparnya.
Dalam Traktat London 1824 terdapat 45 titik kampung tua di Rempopang yang sudah ada sejak 188 tahun lalu sejak dari Kerajaan Lingga, lalu Kerajaan Riau sebagai daerah jajahan BELANDA hingga Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang sebaggai daerah jajahan INGGRIS. PT Makmur Elok Graha (MEG) adalah anak Perusahaan ARTHA GRAHA NETWORK (AG NETWORK) milik Tommy Winata yang telah berhasil membangun Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBDB) Batam yang melibatkan PT. MEG.
“Di Pulau rempang nantinya akan berdiri pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik XINYI Glass Holding Ltd Group dengan nilai invetasi proyek US$ 11,6 miliar setara 174 triliun rupiah, dengan menggunakan lahan seluas 7.524 hektar (45,89% luas pulau) di pulau Rempang Kepulauan Riau yang ditandatangani bulan Juli 2023 lalu, sedangkan pulau Rempang seluruhnya seluas 16.500 hektar dimana 10.028 hektar adalah hutan lindung nasional dimana PT Makmur Elok Graha punya HAK KONSESI selama 80 tahun,” imbuhnya.
Lahan yang akan dikuasai XINYI (PMA RRC) tanahnya sudah jelas mengandung pasir silica atau pasir kuarsa bahan baku untuk membuat Kaca dan Solar Panel. Selain Pulau Rempang daerah pertambangan pasir kuarsa /silica ada di Natuna dan Lingga. Penduduk yang terkena dampak proyek akan direlokasi dari pinggir pantai ke daerah lebih tinggi di bukit gunung Rempang dengan luas tanah 500m2 dan akan diberikan rumah tipe 45 senilai Rp 120.000.000,-/KK ke kawasan Dapur 3 Sijantung.
“Saat Presiden Jokowi menunjuk Menteri BKPM/Investasi Bahlil Lahadiala sebagai Mediator Pemerintah pada Senin (18/9) yang lalu memang berbicara dengan 3 orang dari Kekerabatan Masyarakat Adat tempatan (Keramat) di kampung Pantai Melayu tetapi tidak dengan perwakilan 4 dusun yang akan direlokasi, sehingga tetap menolak direlokasi,” jelasnya.
Dihadapan media (Pers) menteri Bahlil didampingi Gerisman dan Suardi dari Keramat sepakat relokasi diubah menjadi DIGESER ke wilayah yang dekat dari tempat asal masih di sekitar pantai yang sama sejauh 4-10 km dan langsung mengejar jadwal pesawat sore hari ke Jakarta tanpa dialog dengan masyarakat lainnya yang tidak merasa sebagai anggota Keramat dari 16 kampung yang akan digusur, diulang lagi penyataannya di Nusa Dua Bali (20/9). Tetapi Menko Investasi dan Maritim Luhut Binsar Panjaitan menyatakan mayoritas penduduk pulau rempang mau direlokasi.
“Saat penggusuran (7/9) terjadi bentrokan antara rakyat yang demo tidak mau direlokasi Bentrok Fisik dengan aparat gabungan hingga Polisi dengan Mobil Canon Air yang membuat Sakit Mata dan Gas Air Mata diarahkan ke para pendemo, rumah penduduk serta SDN 24 Galang dan SMPN 22 Batam. Sehingga anak-anak yang sedang belajar Panik dan Trauma meninggalkan sekolah lewat pintu belakang sambil berteriak-teriak panic dan sesak napas,” tambahnya.
Gerisman Ahmad Ketua Kerampat 16 Kampung Pulau Rempang dan Pulau Galang memang menolak relokasi, karena sudah menjadi penduduk asli yang terdiri dari suku Melayu, Laut dan suku darat Rempang sejak tahun 1894 saat Kerajaan Riau Lingga. Dan saat Rakyat mau legalisasi tanah sejak tahun 2000-an selalu ditolak BPN Batam Kepulauan Riau.
“Penjelasan Ketua BP Batam Muhammad Rudi mengatakan, yang digunakan hanya 2.000 hektar untuk dipakai Rempang Eco City berdampak pada 91 KK yang sudah bersedia direlokasi sedang 168 KK sedang berunding sisanya 441 KK masih menolak di tiga kampung Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung dan Pasir Panjang dari 4 kampung yang akan digusur dalam tahap pertama dari 16 kampung yang akan dipindahkan,” imbuhnya lagi.
“Apabila karena kepentingan Rempang Eco City kepemilikan tanah masyarakat Kampung Tua harus diakui jangan hanya diganti dengan tanah HGB diatas HPL Batam, artinya Hak ulayat adat kampung Tua tidak diakui hanya diakui sebagai Hak Sewa, BP Batam menghiraukan Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara No. B.2593/KemensetnegD-3/DM.05/05/2015 tanggal 12 Mei 2015 harus berpegang kepada Keppres No.41 Tahun 1973,” tandasnya.
(Red)
Komentar
1 komentar