Jakarta – Cakranusantara.net | Hukum Pajak, Pokok Bahasan Concursus, Pasal 63-65 dan 76 KUHP, tentang Nie Bis In Idem, Pasal 76.KUHP, tentang Lampau waktu Penuntutan dan Lampau waktu menjalani pidana pada Tindak Pidana Pajak, Pasal 78-80 KUHP.
I. Tindak Pidana Perpajakan.
1. Sanksi administrasi ini diperuntukkan bagi mereka para wajib pajak yang melakukan pelanggaran hukum pajak yang bersifat administrative. Sanksi semacam ini tidak tertuju pada sanksi fisik wajib pajak, melainkan lebih kepada penambahan jumlah pajak yang terutang karena ada sanksi administrasi yang harus dibayar oleh wajib pajak itu sendiri.
Sanksi administrasi terhitung pada saat dikenakan kepada wajib pajak dengan jangka waktu tertentu, sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang perpajakan. Jangka waktu yang ditentukan itu sebagai suatu kepastian
hukum yang tidak boleh dilanggar oleh pihak-pihak terkait, karena adanya legalitas dari Negara dalam bentuk Undang-undang. Baik pejabat dan wajib pajak haruslah patuh terhadap
ketentuan yang ada dalam undang-undang.
Merujuk pada pasal 1 ayat 8 UU PPDSP yang menyatakan bahwa utang pajak adalah pajak yang harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kanaikan sebagaimana yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dari hal itu, dapat dikatakan bahwa sanksi administrasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan utang pajak.
2. Sanksi Administrasi Berupa Bunga
Pasal 13 ayat 2 UU KUP, yang didalamnya diatur mengenai sanksi administrasi berupa bunga men sanksi terhadap jumlah kekurangan pajak penghasilan, Pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang dalam surat ketetapan pajak kurang bayar, karena berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang kurang dibayar. Sanksi berupa bunga sebesar dua persen sebulan, untuk selama-lamanya 24 bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar. Serupa tapi tak sama, hal senada juga terdapat dalam pasal 11 ayat 2 UU BPHTB, tetapi
hanya diberlakukan untuk jumlah kekurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dalam surat ketetapan BPHTB. Apabila berdasarkan keterangan atau pemeriksaan lain ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang dibayar, dikenakan sanksi bunga sebesar dua persen sebulan dalam jangka waktu
paling lama 24 bulan.
Selanjutnya, untuk besar bunga 48% dari jumlah pajak penghasilan, pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang
mewah yang tidak atau kurang dibayar. Sesuai dengan ketentuan yang ada dalam pasal 13 ayat 5 UU KUP mengenakan sanksi ini kepada wajib pajak yang setelah jangka waktu lima tahun tersebut dipidana kareana melakukan tindak pidana kasus perpajakan atau tindak pidana lain yang mengakibatkan kerugian pada Negara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Adanya besar bunga yang diberikan
kepada wajib pajak yang nakal dimaksudkan agar para wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya tidak melampaui jangka waktu yang ditentukan sehingga terhindar dari pengenaan sanksi administrasi.
3. Sanksi Administrasi berupa Denda
Dalam hukum pajak tidak hanya bunga saja yang bermain untuk kemudian dijadikan sebagai sanksi administrasi. Sanksi berupa denda juga ikut mengambil peran dalam upaya penegakan.
4. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Adanya sanksi administrasi berupa bunga dan denda yang dikenakan pada wajib pajak yang mangkir atau melanggar ketentuan aturan hukum pajak agaknya tidak cukup untuk
membuat mereka menjadi insane yang taat pada pajak. Dalam hal ini maka sanksi berupa kenaikan diberikan kepada mereka yang melanggarnya. Sanksi ini ditujukan kepada wajib pajak yang tidak membayar lunas terhadap jumlah pajak yang terutang. Pada
hakikatnya sanksi ini bertujuan agar wajib pajak tidak berupaya untuk melakukan penghindaran pembayaran pajak karena hal tersebut dapat merugikan Negara. Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang
KUP pasal 13 ayat 3 yang memuat sanksi administrasi berupa kenaikan yang dikenakan kepada wajib pajak yang tidak membayar lunas jumlah PPh, PPn, dan PPnBM yang terutang dalam surat ketetapan ;
a. 50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak.
b. 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong
atau dipungut, tetapi tidak atau kurang disetorkan.
c. 100% dari PPn dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.
5. Sanksi Pidana
Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUP tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak
pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Sedangkan, tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut
setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui. Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, dan berakhirnya masa pajak.
2. Kejahatan.
Sanksi pidana pada kejahatan ini diatur dalam beberapa pasal, dimulai dari Pasal 39 KUP menggunakan sanksi kumulatif antara pidana denda hingga denda 2 kali pajak terutang, dan dengan pidana penjara minimal 2 tahun.
II. Concursus/ Perbarengan.
1. Concursus Idealis pasal 63 KUHP yaitu adanya satu perbuatan yang melanggar beberapa peraturan atau undang-undang, maka perbuatan yang diniatkan untuk dicapai atau yang dituju, yang diatur dalam suatu peraturan, itulah yang diterapkan atau yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana, atau satu peraturan yang terberat dari beberapa peraturan yang dilanggar yang dijatuhkan pada pelakunya. Contoh, A menganiaya si B yang posisinya bersebelahan dengan kaca, dan A melempar B dengan benda keras dari balik kaca sehingga mengenai kepala si B hingga luka. Dalam kasus ini, terdapat satu perbuatan yaitu melempar si B tapi perbuatan itu melanggar dua aturan yaitu melukai berat kepala si B diancam dengan pasal 351 ayat 2 KUHP dengan
ancaman pidana 5 tahun. Tetapi dengan penganiayaan yang dilakukan oleh A itu, sekaligus merusak kaca milik orang lain, maka perbuatan A tersebut juga melanggar pasal 170 KUHP dalam hal ini adalah pengrusakan. Apakah kedua pasal itu di jatuhkan pada si A, tentu tidak. Tetap yang dijatuhkan pada A satu pelanggaran saja, sebab timbulnya pengrusakan adalah satu kesatuan dengan penganiayaan.
Sebagai konsekwensi logis dari penganiayaan pada B melalui pelemparan batu pada kepala B yang saat itu posisinya berada dibalik kaca. Dan akibat yang diniatkan oleh A adalah melukai si B, bukan merusak atau memecahkan kaca. Karena itu pasal yang diterapkan hanya satu pada si A, yaitu Pasal 351 ayat 2 KUHP, sedangkan pecahnya kaca karena tidak diniatkan oleh A tidak di pertanggung jawabkan pada A, sebab hal itu merupakan satu kesatuan dengan penganiayaan atas B. Sebab Tidak mungkin dapat melukai si B tanpa merusak kaca. Berbeda halnya jika setelah melempar si B, lantas Amir kembali merusak atau memecahkan kaca. Maka dalam hal ini terdapat dua perbuatan yang satu sama lain terpisah sehingga kedua perbuatan tersebut dapat di tuntut pertanggung jawabannya dari si A.
2. Concursus berlajut pasal 64 KUHP. Yaitu adanya beberapa tindak pidana atau lebih dari satu yang sejenis atau yang sama sifatnya dan dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan dan belum pernah diputus oleh Pengadilan. Jika sudah pernah diputus oleh pengadilan disebut sebagai Recidivis atau Pengulangan menjadi pemberatan pidana.
Penggunaan Perbarengan atau concursus ini dalam prakteknya dirumuskan dalam surat dakwaan jaksa penuntut sebagai dakwaan tunggal. Pada dakwaan tunggal misalnya terdakwa bersalah melanggar pasal 364 jo pasal 362 KUHP jo pasal 64 KUHP. Artinya terdakwa didakwa melakukan pencurian biasa dan dilakukan secara berlanjut atau berulangkali. Berarti sudah beberapa kali terdakwa melakukan pencurian berat tersebut, misalnya pencurian pertama mengambil uang senilai Rp. 1 juta melanggar pasal 364 KUHP tidak di proses karena pencurian ringan, nilainya dibawah Rp. 2,5 juta, dan minggu berikutnya pelaku kembali mencuri sebesar Rp. 2 juta, maka uang yang dicuri menjadi senilai Rp. 3 juta, tidak lagi sebagai Pencurian ringan tapi pencurian biasa sehingga pasal yang diterapkan pada pencurian kedua yang nilainya Rp. 5 juta adalah pasal yang lebih berat ancaman pidananya yaitu Pasal 362 KUHP, dengan Ancaman pidana 5 tahun dan pelaku sudah dapat ditahan sesuai syarat objektif dari Penahanan pasal 20 KUHAP. Dakwaan pasal-pasal tersebut harus dibuktikan jaksa penuntut dan pidana yang dapat dijatuhkan hanya satu pidana saja yang terberat yaitu 5 tahun.
3. Concursus Realis Pasal 65 KUHP.
Pada Concursus ini terdapat beberapa perbuatan atau tindak pidana yang tidak sejenis tapi dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan maka pasal yang diterapkan adalah pasal yang terberat ancaman pidananya ditambah sepertiga dari pasal terberat. Misalnya, pada malam hari si A memperkosa si B, setelah selesai korbannya si B minta tolong membuat si A ketakutan dan lari di tengah jalan ia dihadang oleh si C, dan A spontan menganiaya si C hingga luka berat. Maka pasal yang dipersangkakan kepada A adalah Pasal 285 KUHP tentang Pemerkosaan dangan ancaman pidana 12 tahun Dan Pasal 351 ayat (2) KUHP tentang Penganiayaan luka berat ancaman pidananya 5 tahun. Maka Jaksa merumuskan persangkaan polisi tersebut dalam Surat Dakwaan Kumulatif yaitu A bersalah melanggar pasal 285 KUHP dan bersalah melanggar pasal 351 ayat (2) KUHP. Hakim Pengadilan akan memutus dengan menjatuhkan satu ancaman pidana terberat ditambah sepertiga, yakni pasal 285 dan 351 KUHP. Maka Hakim memutus menjatuhkan pidana maksimum 12 tahun ditambah sepertiganya (4 tahun) maka menjadi 16 tahun. Jika kedua tindak pidana tersebut dilakukan oleh pelaku dalam waktu dan tempat yang berbeda maka pada pelaku dijatuhkan pidana pasal 285 KUHP dan Pasal 351 (1) KUHP, total maksimum 17 tahun penjara.
III. Nie Bis in Idem
Tidak boleh menjatuhkan pidana dari segala tuntutan, maka atas perbuatan yang sama itu tidak boleh dilakukan
penuntutan lagi. Jadi, apabila misalnya putusan pembebasan terdakwa disebabkan oleh suatu kekeliruan belaka dalam penuntutannya, maka kemudian penuntutan tidak boleh diulangi dengan maksud memperbaiki kekeliruan itu.
Asas hukum ne bis in idem juga diatur dalam perkara perdata dalam pasal 1917 KUHPerdata, bahwa tidak boleh memutus dua kali terhadap perkara yang sama.
Demikian juga halnya Nie bis in idem diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) BAB III Bagian Keempat tentang Hak Memperoleh Keadilan. Pasal 18 ayat (5) berbunyi : “Setiap orang tidak dapat
dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“.
Ketentuan pasal tersebut sejalan dengan Asas-Asas Dasar HAM sebagaimana Pasal 2 berbunyi : “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati
melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan“.
Dengan demikian dasar ajaran ne bis in idem adalah untuk kepentingan
suatu kepastian dan ketentraman hidup bermasyarakat : Guna menjunjung
tinggi kemuliaan hukum serta kepentingan-kepentingan hakim sebagai alat perlengkapan negara, memberikan kepastian hukum bagi orang yang sudah pernah diputus perkaranya.
IV. Lampau waktu atau Daluwarsa.
1. Daluwarsa penuntutan diatur dalam hukum pidana dengan dasar atau alasan-alasan sebagai berikut :
1. Dengan berlalunya waktu yang agak lama, ingatan akan kejadian yang ada telah hilang, sehingga kemungkinan pembuktiannya menjadi rumit bahkan bukti kemungkinan telah lenyap.
2. Semakin kaburnya kebutuhan untuk terus menerus mengejar/ menuntut tersangka karena telah terlalu lamanya berlalu kejadian/ delik itu dan ingatan manusia terhadapnya juga semakin menipis.
3. Semakin sukarnya menemukan alat pembuktian terhadap delik. Adapun ketentuan Daluwarsa atau lampau waktu, diatur dalam pasal 78-79 KUHP tentang Daluwarsa Penuntutan perkara pidana dan Pasal 80 KUHP tentang Daluwarsa menjalani Putusan Hakim.
Pasal 78 KUHP
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
a. terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
b. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
c. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
d. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 79 KUHP
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut :
a. terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan;
b. terhadap kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;
c. terhadap pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor tersebut.
Pasal 80 KUHP
Setiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum. Sesudah dihentikan, dimulai lagi tenggang daluwarsa yang baru.
Jadi jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, maka ia memang tidak dapat lagi dituntut ke hadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya yang dilakukan pada masa lalu. Hal ini tentu akan dirasakan adanya ketidakadilan bagi korban, namun tetap perlu diatur demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Bagi tersangka sendiri, tidaklah mudah untuk menjalani hidup dan melarikan diri selama bertahun-tahun dengan perasaan takut tertangkap. Sehingga hal ini sudah dianggap sebagai hukuman dan penderitaan tersendiri bagi tersangka selama masa pelarian.
Perlindungan Hukum bagi Korban. Namun disisi lain terhadap korban, negara tetap memberikan perlindungan hukum dengan mengatur adanya hak-hak korban, walaupun memang tidak banyak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, setidaknya aturan yang menjadi dasar perlindungan hukum bagi korban antara lain terdapat dalam ketentuan sebagai berikut :
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :
1. Mengatur adanya hak korban untuk mengajukan keberatan dalam bentuk upaya hukum praperadilan terhadap tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.
2. Mengatur adanya hak keluarga korban untuk menolak dilakukannya otopsi atau penggalian kubur.
3. Hak untuk menuntut ganti kerugian atas terjadinya tindak pidana.
Namun hak-hak ini tentu gugur dengan sendirinya jika masa penuntutan terhadap tindak pidana tersebut telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP.
Pasal 78 KUHP
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
1. Terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
2. Terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3. Terhadap kejahatan yang diancam dengan menjawab pokok pertanyaan anda, daluwarsa penuntutan diatur dalam hukum pidana dengan dasar atau alasan-alasan sebagai berikut:
a. Dengan berlalunya waktu yang agak lama, ingatan akan kejadian yang ada telah hilang, sehingga kemungkinan pembuktiannya menjadi rumit bahkan bukti kemungkinan telah lenyap.
b. Semakin kaburnya kebutuhan untuk terus menerus mengejar/menuntut tersangka karena telah terlalu lamanya berlalu kejadian/delik itu dan ingatan manusia terhadapnya juga semakin menipis.
c. Semakin sukarnya menemukan alat pembuktian terhadap delik. Adapun ketentuan Daluwarsa atau lampau waktu, diatur dalam pasal 78-79 KUHP tentang Daluwarsa Penuntutan perkara pidana dan Pasal 80 KUHP tentang Daluwarsa Menjalani Putusan Hakim.
Pasal 78 KUHP
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
a. terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
b. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
c. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
d. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 79 KUHP
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut :
a. terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan;
b. terhadap kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;
c. terhadap pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengaii pasal 558a, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor tersebut.
Pasal 80 KUHP
Setiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum. Sesudah dihentikan, dimulai lagi tenggang daluwarsa yang baru. Jadi jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, maka ia memang tidak dapat lagi dituntut ke hadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya yang dilakukan pada masa lalu. Hal ini tentu akan dirasakan adanya ketidakadilan bagi korban, namun tetap perlu diatur demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Bagi tersangka sendiri, tidaklah mudah juga untuk menjalani hidup dan melarikan diri selama bertahun-tahun dengan perasaan takut tertangkap. Sehingga hal ini sudah dianggap sebagai hukuman dan penderitaan tersendiri bagi tersangka selama dalam masa pelariannya.
Jadi jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, maka ia memang tidak dapat lagi dituntut ke hadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya yang dilakukan pada masa lalu. Hal ini tentu akan dirasakan adanya ketidakadilan bagi korban, namun tetap perlu diatur demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Bagi tersangka sendiri, tidaklah mudah juga untuk menjalani hidup dan melarikan diri selama bertahun-tahun dengan perasaan takut tertangkap. Sehingga hal ini sudah dianggap sebagai hukuman dan penderitaan tersendiri bagi tersangka selama dalam masa pelariannya.
Perlindungan Hukum Bagi Korban
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
Mengatur adanya hak korban untuk mengajukan keberatan dalam bentuk upaya hukum praperadilan terhadap tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan. Mengatur adanya hak keluarga korban untuk menolak dilakukannya otopsi atau penggalian kubur. Hak untuk menuntut ganti kerugian atas terjadinya tindak pidana.
Namun hak-hak ini tentu gugur dengan sendirinya jika masa penuntutan terhadap tindak pidana tersebut telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP. pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
4.Terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
Bagi orang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 79 KUHP
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1. Terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan terhadap kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang daluwarsa dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;
2. Terhadap pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengaii pasal 558a, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor tersebut.
Pasal 80 KUHP
Setiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum. Sesudah dihentikan, dimulai lagi tenggang daluwarsa yang baru. Jadi jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, maka ia memang tidak dapat lagi dituntut ke hadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya yang dilakukan pada masa lalu. Hal ini tentu akan dirasakan adanya ketidakadilan bagi korban, namun tetap perlu diatur demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Bagi tersangka sendiri, tidaklah mudah juga untuk menjalani hidup dan melarikan diri selama bertahun-tahun dengan perasaan takut tertangkap. Sehingga hal ini sudah dianggap sebagai hukuman dan penderitaan tersendiri bagi tersangka selama dalam masa pelariannya.
Perlindungan Hukum Bagi Korban
Namun di sisi lain, terhadap korban, negara tetap memberikan perlindungan hukum dengan mengatur adanya hak-hak korban, walaupun memang tidak banyak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun setidaknya aturan yang menjadi dasar perlindungan hukum bagi korban antara lain terdapat dalam ketentuan sebagai berikut :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
Mengatur adanya hak korban untuk mengajukan keberatan dalam bentuk upaya hukum praperadilan terhadap tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.
Mengatur adanya hak keluarga korban untuk menolak dilakukannya otopsi atau penggalian kubur.
Hak untuk menuntut ganti kerugian atas terjadinya tindak pidana.
Namun hak-hak ini tentu gugur dengan sendirinya jika masa penuntutan terhadap tindak pidana tersebut telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP. Pokok Bahasan Minggu VI tentang.
I. Tindak Pidana Pajak.
II. Concursus, Perbarengan Tindak Pidana Pajak. Pasal 63-65 KUHP.
III. Tentang Nie Bis In Idem dalam Tindak Pidana Pajak, Pasal 76.KUHP.
IV. Tentang Lampau waktu Penuntutan dan Lampau waktu menjalani pidana pada Tindak Pidana Pajak, Pasal 78-80 KUHP. Dosen ; Houtlan N, SH. , MM., MH.
Komentar