oleh

Hukum Adat, Konstitusi Dalam Arti Sempit dan Umum

Jakarta – Cakranusantara.net | Konstitusi dalam arti sempit, yang hanya berada di dalam ruang lingkup Undang-Undang Dasar. Sedangkan yang Secara umum, Konstitusi dianggap sebagai manifestasi dari sebuah pengakuan keyakinan yang menyatakan cita-cita bangsa atau disebut sebagai charter of the land.

Mereka yang menyusun konstitusi dalam Negaranya seringkali dihadapkan pada permasalahan di mana sulitnya mencapai konsensus mengenai praktik terbaik yang hendak diterapkan.

Meminjam pendapat Daniel S. Lev, ia memandang konstitusionalisme sebagai abstraksi yang lebih tinggi dari rule of law, yang mengandung arti bahwa paham “negara terbatas” di mana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum sehingga kekuasaan tersebut dapat dibatasi oleh hukum tersebut.

Berbicara mengenai konstitusionalisme, maka materi muatan dalam Konstitusi akan menjadi hal yang paling substansial untuk dibahas. Materi muatan dalam Konstitusi tentu akan berbeda-beda di tiap-tiap negara.

Lebih lanjut K.C. Wheare dalam bukunya “The Modern Constitutions” menyebutkan bahwa tiap-tiap negara di belahan dunia memiliki jumlah dan muatan konstitusi yang berbeda-beda.

Norwegia, misalnya, memerlukan konstitusi sebanyak 25 halaman, yang berbeda dengan India yang membutuhkannya sebanyak 250 halaman.

Bagir Manan dalam disertasinya membahas bahwa setidak-tidaknya terdapat 3 materi muatan yang harus diatur dalam Konstitusi, yaitu:

Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan warga negara;

Susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat fundamental; dan

Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.

Dalam praktik, jaminan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi yang mencakup di dalamnya Hak Asasi Masyarakat Hukum Adat tentunya memiliki muatan dan sistematika yang berbeda.

India, misalnya, memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat melalui Konstitusi India yang banyak mendapatkan pengaruh dari Konvensi International Labour Organization (ILO) dan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP), dan berfokus pada pemenuhan hak sosial dan politik MHA.

Di satu sisi, Meksiko, sebagai Negara dengan 56% penduduknya adalah masyarakat hukum adat yang pernah mengalami historigrafi gelap atas diskriminasi masyarakat adat perempuan, mengusahakan untuk menyusun Konstitusi yang di dalamnya mengakomodir hak masyarakat hukum adat yang berfokus pada hak atas penentuan nasibnya sendiri (self determination), seperti hak otonomi, pendidikan, infrastruktur, dan non-diskriminasi.

Dalam konteks Indonesia, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat diatur dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang secara sederhana mengungkapkan bahwa Indonesia menghormati eksistensi masyarakat hukum adat, sebagai bentuk kesadaran bahwa Indonesia adalah Negara heterogen.

Satu permasalahan dalam adanya Konstitusi suatu negara adalah tidak serasinya “das Sollen” dengan “das Sein”, atau bahkan terdapat kesalahan pada “das Sollen” sehingga menimbulkan efek domino pada kenyataan dan implikasinya.

Berkaitan dengan hal ini, Yando Zakaria dalam Konferensi dan Dialog Nasional tentang “Makna Amandemen Pasal 18B ayat (2) UUD 1945” menuai kritiknya terhadap muatan pasal 18B ayat (2) UUD 1945, di mana gagal untuk membangkitkan semangat masyarakat hukum adat dan gagal untuk mendorong perbaikan atas permasalahan marginalisasi masyarakat hukum adat saat ini, khususnya berkenaan dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Bahkan, progresivitas pengakuan atas MHA baru muncul setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang salah satunya membedakan hak antara hutan adat dengan hutan milik negara.

(Red/CN)

Komentar

Tinggalkan Balasan