oleh

Analisis Kasus Sambo, Houtlan Napitupulu: “Pasal 340 Atau 338 KUHPidana”

Jakarta – Cakranusantara.net | Hasil Outopsi yang kedua atas mayat korban Josua Hutabarat (Brigadir J) sangat luar biasa dampaknya, menunjukkan peristiwa yang terjadi bukan tembak menembak sebagaimana di publish sebelumnya dalam media. Akan tetapi, faktanya korban di tembak dengan sengaja dan direncanakan.

Perhatian masyarakat atas temuan otopsi kedua ini juga menarik dan melibatkan Komnas Ham, LPSK, mengawal transparansi penanganan kasus Alm Brigadir J ini,” hal itu diungkapkan oleh Houtlan Napitupulu, SH., MM., MH. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK), Rabu (30/11/2022).

Terkait hasil outopsi ke dua ini, banyak menimbulkan masalah hukum yang juga harus ditegakkan, bagaimana keberadaan hasil otopsi pertama, apakah batal dengan sendirinya demi hukum, atau dapat dimintakan pembatalannya.

Harus ada keputusan hukum terhadap hal itu, tidak boleh dibiarkan agar tidak tampak seolah – olah ada dua hasil otopsi yang berlaku. Hal ini, belum diatur dalam KUHAP. Dan bagaimana konsekwensi hukumnya bagi dokter Forensik yang dibawah sumpah membuat VER hasil otopsi pertama tersebut.

Ini menjadi tugas penyidik polri untuk mengungkapnya, yang sampai sekarang belum ada perhatian dari para penegak hukum atas hal tersebut. Bagaimana dengan alat bukit yang sudah dirobah, dirusak, atau dihilangkan termasuk decorder cctv yang ada disekitar tempat kejadian perkara (TKP). Kemudian, alat bukti apa yang hendak digunakan untuk menggantikan alat bukti yang rusak atau hilang tersebut.

Jika hanya keterangan Bharada E sebagai Justice colaborator yang juga adalah sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan, bagaimana kekuatan pembuktian keterangan Justice colaborator tersebut jika keterangannya tersebut dibantah oleh pelaku turut serta lainnya dalam pembunuhan ini.

Diharapkan, majelis Hakim dapat menggali dan mengumpulkan keterangan saksi yang dapat menjelaskan hal yang semestinya dijelaskan melalui tangkapan layar cctv. Ditambah, dengan adanya pengakuan Bharada E yang kemudian disetujui sebagai Justice Colaborator, membuat makin jelas bahwa tindak pidana yang terjadi adalah Pembunuhan yang disengaja.

Apakah jenis pembunuhan yang disengaja tersebut sebagai Pembunuhan Berencana pasal 340 KUHP dengan Ancaman Pidana mati atau 20 tahun penjara, atau Pembunuhan biasa pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun, masih dalam pemeriksaan pembuktian saat ini di persidangan.

Yang belum jelas saat ini adalah apa motifnya. Sebahagian orang berpendapat bahwa motif tidak perlu dibuktikan, cukup jika perbuatan/ actusreanya sudah terbukti. Tapi bagi saya motif ini sangat diperlukan khususnya pada Tindak Pidana Pembunuhan Berencana yang dilakukan dengan turut serta. Dimana motif ini berfungsi selain untuk menguatkan keyakinan dan bukti atas perbuatan dan kesalahan si pelaku, apakah perbuatannya masuk pembunuhan berencana atau tidak.

Karena disitu, perlu dicari atau ditemukan kapan timbulnya motif membunuh si pelaku. Jika tidak ada motif atau timbulnya motif bersamaan dengan timbulnya niat, dan bersamaan dengan dilakukannya pembunuhan, maka dapat dipastikan bahwa pembunuhan yang terjadi adalah pembunuhan biasa pasal 338 KUHP.

Baca Juga : Brigadir “J”: Susi Diduga Telah Memberikan Kesaksian Palsu di Persidangan

Perlunya diketahui motif ini, sekaligus untuk membedakan penjatuhan pidana yang lebih berat bagi yang memiliki motif dengan yang turut serta pasal 55 KUHP untuk melakukan pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP. Dalam hal ini, jika Aktor intelektualnya yang memiliki Motif dan niat membunuh maka peserta lainnya dari Medepleger atau turut serta dianggap motif dan niat aktor intelektual itu lah yang menjadi niat dan motif para pelaku turut serta.

Jika ada pelaku yang tidak punya motif dan niat membunuh tapi mendiamkan, tidak berusaha mencegah pembunuhan atau tidak melaporkannya maka yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai turut serta pasal 55 KUHP, tetapi dipidana melakukan pembantuan pasal 56 jo pasal 340 KUHP.

Oleh sebab itu, dalam hal ini harus jelas rangkaian dari motif (siapa dan apa motifnya) sehingga melakukan Tindak pidana Pembunuhan Berencana dan kapan mulai timbul motif tersebut. Motif ini menimbulkan Niat/ mensrea, maka kapan mulai timbul niat melakukan pembunuhan berencana tersebut.

Sebagaimana diketahui untuk adanya Pembunuhan Berencana harus ada tenggang waktu yang cukup, yang layak signifikan antara timbulnya Niat dengan pelaksanaan pembunuhan. Tenggang waktu yang cukup tersebut sudah dapat membuat reda atau tenang suasana hati yang sebelumnya penuh emosi.

Ternyata suasana yang tenang tersebut yang meredakan emosi sipelaku tidak membuat dirinya untuk membatalkan niatnya tapi malah menggunakan tenggang waktu yang cukup tersebut untuk menyusun suatu rencana bersama dengan turut serta lainnya, seperti alat apa yang hendak digunakan untuk membunuh sikorban, dimana sikorban dibunuh atau ditembak, bagaimana cara menghilangkan alat bukti, dan cara melarikan diri atau menghindar dari jeratan hukum. Disitulah letaknya, yang perlu diketahui adanya motif, supaya dapat diketahui kapan munculnya Niat membunuh, dan adakah tenggang waktu yang cukup dengan pelaksanaan pembunuhan.

Dalam kasus Sambo ini, selalu memakai motif karena adanya perselingkuhan antara alm josua dan ibu Putri Candrawati. Jika ini, yang menjadi motif sangat rasional jika Sambo marah besar, emosi yang tinggi terlepas benar atau tidaknya perselingkuhan tersebut, yang jelas motif itulah yang memicu kemarahan dan menimbulkan niat untuk membunuh alm Josua.

Maka kapan munculnya motif dan niat tersebut. Jika motif perselingkuhan tersebut didengar dan diketahui oleh Sambo saat di Rumah Magelang, maka Niat membunuh sudah timbul sejak di Magelang. Sebab, saat mendengar adanya perselingkuhan tersebut yang membuat emosi Terdakwa jadi memuncak, dan selanjutnya niat membunuh tersebut di wujudkan di rumah dinas saguling, Jakarta, pada 8 Agustus, atau dua hari kemudian setelah timbul motif dan niat untuk membunuh.

Semestinya tenggang waktu dua hari tersebut sejak timbul puncak emosi terdakwa hingga timbul niat membunuh, sudah seharusnya, terdakwa kembali merenungkan, mempertimbangkan apakah dia meneruskan perbuatannya atau membatalkannya dengan segala konsekwensi hukumnya.

Ternyata waktu dua hari yang cukup tersebut justru digunakan menyusun rencana pembunuhan seperti dijelaskan diatas. Semestinya, Jaksa penuntut umum (JPU) dan Majelis Hakim lebih mengarah pemeriksaan pada saksi-saksi tentang apa saja persiapan, perencanaan yang dilakukan terdakwa Sambo dan siapa saja yang ikut dalam persiapan pembunuhan tersebut hingga dapat disimpulkan sudah ada dan terpenuhinya perencanaan pembunuhan.

Jadi yang harus diperiksa adalah persiapannya apa saja, sebelum dilaksanakan penembakan itu, bukan perbuatan yang dilakukan setelah selesainya eksekusi pembunuhan alm Josua. Jika yang dicari dan dikejar adalah perbuatan apa yang dilakukan setelah eksekusi penembakan terhadap alm josua seperti penembakan tembok dengan beberapa tembakan agar tampak seolah-olah yang terjadi adalah baku tembak, atau laporan perselingkuhan pada 9 Agustus ke Polres Jaksel, atau pembagian uang pada anggota turut serta. Maka hal itu semuanya tidak menggambarkan adanya perencenaan.

Sebab, disini perencanaan baru ada jika perbuatan-perbuatan atau persiapan itu dilakukan sebelum dilaksanakan pembunuhan. Kecuali jika adanya tindakan tembak dinding/ tembok, laporan palsu setelah eksekusi adalah bagian yang sudah direncanakan sebelumnya. Misalnya, disepakati oleh para turut serta, nanti atau setelah selesai menembak, baru tampil Sambo untuk menembaki tembok agar dilihat seperti tindakan tembak menembak, maka perbuatan-perbuatan yang terjadi setelah menembak tersebut dapat di kualifisir sebagai Pembunuhan Berencana.

Sebaliknya jika motif itu baru diketahui oleh terdakwa Sambo di Jakarta, setelah mereka pulang dari Magelang 8 Agustus pagi dan diketahui berselingkuh, dari ajudan atau isteri Sambo melalui kontak handphone dari rumah dinas, membuat Sambo marah besar dan muncul niat membunuh, sehingga Sambo pulang kerumah dengan menyiapkan senjata api, lalu sekitar pukul 10.00 WIB terjadi penembakan pada alm Josua, maka kemungkinan yang terjadi adalah Pembunuhan biasa sesuai pasal 338 KUHP, karena tenggang waktu yang sangat singkat antara timbulnya motif dan niat dipagi 8 Agustus disusul dengan penembakan pada alm josua sekitar pkl 10.00 tidak terdapat waktu yang cukup untuk berpikir dengan tenang (sebagai batasan atau kriteria Berencana).

Ciri khas lainnya dari Pembunuhan Berencana ini selalu ada motif yang membuat amarah besar, seperti adanya cinta segitiga atau adanya persaingan bisnis, balas dendam, kebencian yang mendalam, untuk menguasai bisnis dan harta korban. Itu sebabnya, pada pembunuhan berencana ini terdapat hubungan atau saling kenal antara korban dengan si pelaku.

Hubungan saling kenal tersebut menunjukkan ada keterdekatan antara pelaku dengan korban yang potensial memunculkan perselisihan diantara motif yang memicu kebencian, ini menjadi motif untuk melakukan pembunuhan berencana.

Selanjutnya, motif ini mendorong timbulnya niat jahatnya. Maka patut dipertanyakan, kapankah timbulnya niat untuk membunuh. Jika yang diniatkan adalah Pembunuhan berencana, maka harus ada jarak tenggang waktu antara timbulnya niat dengan waktu dilakukannya perbuatan pembunuhan Pada tenggang waktu yang cukup antara timbulnya niat dengan waktu pelaksanaan pembunuhan, selalu di gunakan untuk membuat strategi cara membunuh, menentukan alat yang digunakan, alibinya juga disiapkan, cara menghilangkan alat bukti dan dimana korban dibunuh, semua diatur dalam tenggang waktu tersebut.

Hal diatas, tidak diharuskan ada pada pembunuhan biasa pasal 338 KUHP, karena pada pembunuhan biasa ini, yang terjadi adalah membunuh secara spontan, muncul seketika niat membunuh bersamaan dengan pelaksanaan pembunuhan itu sendiri. Karena itu lebih sukar atau sulit mengungkap kasus pembunuhan biasa pasal 338 ini dibanding dengan pasal 340 Pembunuhan berencana. Karena pada pasal 338 KUHP atau pembunuhan biasa tidak ditemukan hubungan antara korban dgn pelakunya sehingqa tidak ada motif, semua gelap, timbul secara spontan, apalagi jika identitas korban sdh tidak ada atau sengaja dihilangkan oleh pelaku.

Titik tolak penyidikan atas suatu pembunuhan adalah diawali dengan mengidentifikasi korban, melalui identitas korban tersebut, akan ditelusuri siapa dan dimana lingkungan bermain, beraktifitasnya.

Maka pengungkapan kasusnya lebih mudah. Sebaliknya dalam kasus Pembunuhan Berencana, sudah pasti ada hubungan antara korban dengan pelakunya bahkan saling kenal dekat satu sama lain, sehingga cukup dengan mengidentifikasi si korban, sudah dapat dihubungkan siapa pelakunya. Karena dalam kasus Sambo ini, pembunuhan berencana dijuntokan dengan pasal 55 KUHP iaitu Turut serta melakukan pembunuhan berencana.

Maka Konsekwensinya harus dapat dibuktikan siapa yang jadi uit lokker atau aktor intelektualnya atau pembujuk/ penganjur, bersama penganjur ini, terdapat beberapa orang yang menjadi medepleger atau turut serta untuk turut bersama-sama melakukan dan mewujudkan apa kehendak aktor intelektual tersebut.

Dalam medepleger harus terlihat motif dan niat yang sama dengan aktor intelektualnya, sehingga jelas perannya misalnya si A perannya sebagai eksekutor/ pleger atau si B perannya memegangi tubuh korban spy tdk melawan atau si C menganiaya si korban dan menembak sikorban, maka si C disebut sebagai pleger atau eksekutor yang menyelesaikan tindak pidana yang dituju.

Semakin berat peran pelaku turut serta, maka pidananya semakin lebih berat. Dalam Turut serta ini, harus ada persamaan antara niat atau kehendak dari aktornya dengan para turut serta sehingga para ahli berpendapat apa yang menjadi motif dan niat si aktor adalah juga merupakan motif dan niat dari peserta turut serta, timbulnya motif dan niat dari para turut serta sama dengan motif dan niat dari aktir intelektualnya, bisa terjadi karena ada kebencian dan dendam yang sama dari turut serta ini dengan aktor intelektualnya jadi secara kebetulan.

Walaupun umumnya terjadi karena dipengaruhi oleh pemberian sejumlah uang atau barang dari si aktor intelektual, sehingga hukuman yang dijatuhkan pada para turut serta tidak terlalu jauh bedanya dengan hukuman yang di jatuhkan pada aktor intelektualnya.

Jika aktor intelektual membujuk turut serta untuk membunuh sikorban tapi turut sertanya tidak tega membunuh tapi hanya menganiaya saja sikorban, maka disini tidak ada motif dan niat yang sama antara turut serta dengan aktor intelektualnya.

Maka pidana yang di jatuhkan pada aktor intelektual atau uit lokker adalah Percobaan Pembunuhan Berencana pasal 53 KUHP jo Pasal 349 KUHP, dengan ancaman pidana 15 tahun penjara. Sementara pada anggota turut serta hanya dipidana dengan pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan biasa dengan ancaman pidana 5 tahun penjara.

Aktor intelektual disebut pembujuk atau uitlokker, membujuk turut serta dengan memberikan hadiah sebagai sarananya, dan orang yang turut serta tidak berada dalam posisi terpaksa tapi bebas menentukan sikapnya apakah bersedia atau menolak bujukan sang aktor utk membunuh si korban.

Bukan sebagai pemberi perintah atau doenpleger sebab pada orang yang diperintah tidak dapat menentukan kehendaknya apakah menolak perintah tersebut, tetapi pasti mematuhi perintah tersebut dengan syarat isi perintah tidak melanggar hukum, yang memberi perintah (berwenang memberikan perintah) tersebut dan si pemberi perintah adalah atasannya langsung (Pasal 51 KUHP).

Karena itulah, orang yang berada dalam posisi menjalankan perintah tidak dapat dipidana. Pertanyaannya apakah ada pelaku yang diperintah dalam kasus ini, sehingga dilepaskan dari tuntutan pidana?. jawabnya tidak ada. Sebab, isi perintah tidak boleh melanggar hukum.

Semua adalah pelaku turut serta medepleger untuk pasal 340 KUHP. Tapi saya tidak habis pikir, jika satu tindak pidana dilakukan pada korban yang sama, dengan jenis tindak pidana yang sama, di TKP yang sama dan dalam waktu yang sama, tapi kok ancaman pidananya bisa berbeda, ada pelakunya diancam pasal 340 KUHP (Pembunuhan Berencana dengan pidana mati).

Akan tetapi ada pelaku yang diancam dengan pasal 338 KUHP pembunuhan sengaja, dengan ancaman pidana 15 tahun penjara. Semestinya ini tidak boleh ada dua dakwaan pasal (Pasal 340 KUHP dan 338 KUHP). Kecuali maksudnya adalah dakwaan subsideritas dakwaan primer (pasal 340 KUHP Subsider Pasal 338 KUHP).

Maksudnya adalah pidana pada Bharada E, lebih ringan maka digiring pasal 338 KUHP. Harusnya, tetap didakwa pasal 340 KUHP tapi bukan sebagai turut serta pasal 55 KUHP tetapi Membantu atau medeplegtegheid pasal 56 KUHP, dimana pelakunya dikurangi sepertiga dari ancaman pidana maksimal maka dalam kasus ini pidananya adalah dikurangi 1/3 dari 20 tahun, sekitar 16 tahun tujuh bulan penjara.

Dengan status pelaku Bharada E sudah sebagai Justice Colaborator maka pidananya diputus oleh Hakim jauh lebih ringan dibanding pelaku lainnya. Hakim bebas menjatuhkan pidana dari ancaman pidana maksimum pidana mati atau 20 tahun penjara hingga satu tahun penjara pidana paling terendah, sesuai dengan keyakinan Hakim. Jadi bukan pasal yang didakwakan yang dirobah, tapi pidana yang dijatuhkan di rendahkan untuk bharada E.

Sebaliknya, untuk ibu PC apakah bisa didakwakan dengan pasal 340 KUHP, saya merasa pesimis, dengan alasan berdasarkan info yang beredar, keterlibatannya adalah hanya pada saat terjadinya atau setelah eksekusi di rumah dinas. Misalnya, dua hari kemudian setelah eksekusi membuat laporan palsu ke Polres Jaksel, atau ada saksi melihat PC dilantai tiga saat eksekusi, atau ada keterangan saksi yang menyatakan supaya pelaku diam tidak membocorkan rahasia ini.

Masing-masing disinyalir dibayar sekian rupiah, maka perbuatan tersebut bukan pembunuhan berencana, jika hal-hal tersebut dilakukan PC setelah terjadinya pembunuhan, hal itu tidak masuk unsur perencanaan yang merujuk harus ada motif, harus ada niat yang timbul sebelum terjadi pembunuhan bukan pada saat atau setelah terjadi eksekusi.

Jika perbuatan PC setelah terjadi eksekusi atau pada saat pembunuhan, maka pasal yang didakwakan adalah pasal 56 Jo pasal 340 KUHP, Pembantuan melakukan Pembunuhan berencana yang ancaman pidananya dikurangi, sepertiga dari ancaman pidana 13 tahun 7 bulan ditambah sepertiga dari obstruction of justice pasal 217 KUHP menghilangkan/ merusak alat bukti dan membuat laporan palsu di Polres Jaksel,” demikian penjelasan Kasus Alm Brigadir J dari Prespektif Hukum Pidana Tertentu Houtlan Napitupulu, SH., MM., MH., Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK).

Baca Juga Berita lainnya terkait Ferdy Sambo dan Putri CandrawatiRekontruksi Dugaan Pembunuhan Brigadir J, 97 Personil Polisi Diduga Melanggar Kode Etik

(Rohman)

Komentar

Tinggalkan Balasan