Jakarta – Cakranusantara.net | Suap menyuap merupakan modus yang dipergunakan untuk mempengaruhi proses pemeriksaan peradilan karena mempunyai sebuah kepentingan yang sama.
Hal itu diungkapkan oleh Dr. Kurnia Zakaria, SH., MH., bagi pihak penerima suap juga punya hak otoritas untuk memenuhi atau tidak memenuhi pemberi suap yang kita kenal kejahatan Transnasional,” ungkap Dr. Kurnia.
Adanya unsur untung rugi, antara pemberi suap dan penerima suap. Bila penerima menolak bisa dianggap adanya percobaan penyuapan. Namun jika ada inisiatif pemberi maupun permintaan penerima disitu ada dugaan Pungutan Liar (Pungli) atau Pemerasan. Jika pemberian dalam bentuk ucapan terima kasih diduga terjadi Gratifikasi.
Terjadinya suap menyuap dalam dunia Peradilan menurut Emile Durkheim tentang “MORALITAS HUKUM” bahwa :
1. Tindakan yang tidak bermoral ada dalam rumusan Hukum Pidana,
2. Hukum merupakan moralitas bagaimana manusia berinteraksi sosial dan menjalankan fungsi sosialnya,
3. Hukum mencerminkan moralitas para aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan advokkat) yang dirumuskan dalam UU oleh legislator sesuai asas-asas hukum yang dianut,
4. Hukum merupakan moralitas tempat hukum untuk dibuat dan dilaksanakan.
Hukum dirumuskan dan dijalankan secara konsisten antara asas yang ditetapkan dengan isinya. Peter Blau mengemukakan dalam suap menyuap dalam pertukaran kekuasaan dalam hubungan ketergantungan antar pihak berdasarkan perbedaan kekuasaan dan konsekuensi materi. Pihak Aparat Penegak Hukum (Hakim Jaksa Polisi) mempunyai Hak Kekuasaan sedangkan pihak berperkara (advokat dan masyarakat) punya tawaran materi.
Dalam kasus suap Hakim Agung kita ingat ada Kasus besar penyuapan di Mahkamah Agung (MA) yang saya catat antara lain :
1. Kasus Penyuapan oleh PROBOSUTEDJO
Pada bulan Juni tahun 2004 terdakwa Probosutedjo dalam kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dana reboisasi hutan di Kalimantan senilai 100 miliar rupiah dimana Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT Jakarta) divonis 2 tahun penjara, maka lewat pengacara Probosutedjo, Harini Wiyoso (mantan hakim PT Yogyakarta menyuap majelis hakim agung yang diketuai Bagir Manan (Ketua MA saat itu) sebesar 5 miliar rupiah melalui staf MA panitera Pono Waluyo. Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta saat itu Harini divonis 4 tahun penjara sedangkan Pono divonis 3 tahun penjara, sedangkan putusan Kasasi MA Probosutedjo divonis 4 tahun penjara (ditambah/diperberat).
2. Kasus Suap terhadap Staf MA DJONI SUPRATMAN
Pada bulan Juni 2013 Staf MA di Bdiberadan Pendidikan, Pelatihan Hukum dan Peradilan MA Djoni Supratman sebagai makelar kasus diberi imbalan oleh advokat Mario Cornelio Benardo dari Kantor Hukum Hotma Sitompoel & Associates sebesar 150 juta rupiah atas nama kliennya Hutama Wijaya untuk pengurusan Kasasi korban Penipuan Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Kampar Riau yang dilakukan terdakwa Koestanto Harijadi Direktur PT. Grand Wahana Indonesia. Hutama Wijaya bersama-sama Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi ke MA atas putusan bebas terdakwa saat itu di PN Jakarta Selatan. Melalui Djoni berusaha menyuap Majelis Hakim Agung yang diketuai Gayus Lumbun beranggotakan hakim agung Andi Abu Ayyub Saleh dan Zaharuddin Utama. Djoni mempertemukan dengan staf Hakim Agung Andi Ayyub, Suprapto dengan tawaran suap 200 juta rupiah tetapi ternyata saat penyerahan berkas memori Kasasi Suprapto meminta tambahan imbalan 500 juta rupiah. Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta menvonis Djoni Supratman 2 tahun penjara sedangkan advokat Mario Cornelio divonis 4 tahun penjara.
3. Kasus Makelar Kasus Sekretaris MA NURHADI
Sekretaris MA Nurhadi sempat disebut-sebut dalam persidangan oleh para saksi dalam persidangan perkara Tipikor suap Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution tahun 2016 lalu. Tahun 2019 Nurhadi bersama-sama menantunya Rezky Herbiyono menerima suap dan gratifikasi dari pihak Pemohon Kasasi PT. Multicon Indojaya Terminal senbesar 46 miliar rupiah. Dalam putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Nurhadi dan Rezky divonis 6 tahun penjara.
4. Kasus Suap Hakim Agung SUDRAJAT DIMYATI.
Hakim Agung Sudrajat Dimyati diduga menerima suap senilai 2,2 miliar rupiah dari pihak Pemohon Kasasi dalam Kasus Pailit Koperasi Simpan Pinjam Intidana (KSP Intidana) yang beraset 950 miliar rupiah simpanan dari para anggotanya yang berjumlah 3.800 orang. Pemohon anggota KSP Intidana Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto mengajukan kasasi melalui kuasa hukum advokat Yosep Parera dan Eko Suparno, dimana mereka berdua menghubungi staf MA Desy Yustriamengajak juga sesama staf MA bersama-sama Muhajir Habibie, Nurmanto Akmal, Albasri, dan hakim yustisial MA/Panitera Pengganti Elly Tri Pangestu dan Prasetio Nugroho membuat kesepakatan agar dalam vonis kasasi MA para Majelis Hakim MA yang diketuai Syamsul Maarif beranggotakan Sudrajat Dimyati dan Ibrahim memutuskan KSP Intidana Pailit, walaupun akhirnya putusan MA Membatalkan Pailit KSP Intidana. Perbuatan mereka oleh KPK dianggap melanggar pasal 12 huruf c atau pasal 12 huruf a dan b atau pasal 11 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Kasus suap Hakim Agung GAZALBA SALEH
Hakim Agung Gazalba Doktoral lulusan Universitas Padjajaran Bandung tercatat sebagai anggota Majelis Hakim Agung dalam Putusan Peninjauan Kembali Terpidana mantan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo mengurangi hukuman terpidana dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara. Hakim Agung Gazalba Saleh diduga disuap melalui Prasetio Nugroho (hakim yusitisial/panitera pengganti Hakim Agung Gazalba Saleh) agar dalam putusan Kasasi atas nama terdakwa Budiman Gandi Suparman (Ketua Umum KSP Intidana tahun 2015-2018) menvonis terbukti bersalah dan dihukum penjara, karena dalam putusan di PN Semarang terdakwa Budiman Ketum KSP Intidana divonis bebas. Pihak Heryanto Tanaka dan Ivan Kusuma menginginkan agar Majelis Hakim Agung Kasasi Perkara Pidana dengan terdakwa Budiman yang diketuai Sri Murwahyuni beranggotakan Gazalba Saleh dan Prim Haryadi menghukum penjara terdakwa 5 tahun penjara, walaupun hakim anggota Prim Haryadi membuat dissenting opinion.
MA menurut catatan Kurnia Zakaria berkontribusi terhadap Pembebasan Bersyarat 23 Napi Tipikor dan dalam putusan PK Napi Tipikor telah mendiskon (mengurangi) vonis 15 napi Tipikor.
Sedangkan PP No.19 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan UU No.22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan mengatur Pembatasan Remisi dan Pembebasan bersyarat Napi Koruptor diabaikan MA dan Kejaksaan Agung sendiri.
Menurut Kurnia Zakaria masalah Penalisasi, Depenalisasi, Kriminalisasi, dan Dekriminalisasi harus dipahami secara komprehensif dengan segala aspek persoalan substansi atau materi perundang-undangan pada tahap kebijakan legislasi. Sanksi Hukum Pidana harus bersifat Rasionalisasi.
Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan pemidanaan dan efek penjeraan bagi pelaku maupun potensi pelaku, sehingga pemidanaan harus efektif dimana pembuktian terbalik dan pemiskinan diterapkan dalam Legislasi Hukum Pidana Indonesia. Putusan Hakim adalah Mahkota Hakim dan Nilai Kemuliaan Hakim,” tandas Dr. Kurnia Zakaria.
(Rohman)
Komentar