Jakarta – Cakranusantara.net | Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Jakarta pada 20 Desember 2022 menyatakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tidak bagus.
Sebenarnya, itu buat investasi di Indonesia, karena investor melihat Pejabat Negara dan Daerah bisa mudah “disuap” dan sering “pungli” sehingga Investor berpikir ulang dalam menanam investasi di Indonesia.
Hal itu diungkapkan oleh Dr. Kurnia Zakaria, lanjutnya, justru melihat sebaliknya para Investor Kapitalis, dan Neokolonialisme melihat peluang besar untuk melanggar aturan yang dibuat, karena aturan “bisa diatur dan dibuat-buat” demi keuntungan investor yang berjiwa Spekulan dan Bankir Rentenir daripada melindungi kepentingan masyarakat.
Pekerja/ buruh dan UMKM seperti munculnya pembahasan RUU begitu singkat dan cepat seperti munculnya UU ‘Kontroversial” seperti UU NO.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, dan UU Tahun 2022 tentang Pengembangaan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Dan Peraturan Kontroversial lainnya Permenkeu No.69/PMK.03 Tahun 2022 dan Peraturan BI No. 19/12/PBT/2017 tentang Finansial Teknologi dibidang Keuangan ini di mana melanggar Pasal 33 jo pasal 28 UUD Negara RI Tahun 1945.
Dasar Hukum OTT KPK berdasarkan pasal 12 jo pasal 6 huruf c UU No.30 Tahun 2002 tentang Kewenangan KPK, menyadap, menyelidiki, menyidik, dan menuntut harus disetujui Dewan Pengawas KPK sesuai UU No.19 Tahun 2019 tentang UU Perubahan Kedua UU No.30 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah pertama UU No.10 Tahun 2015 sesuai Peraturan Penetapan UU (Perpu) No.1 Tahun 2015 dimana dalam pasal 38 UU No.19 Tahun 2019 tentang Kewenangan KPK menyelidik, menyidik, dan menuntut kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Penyadapan dan OTT diatur dalam pasal 50 UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption 2003) mengatur Teknis Investigasi Khusus Tipikor dalam hal OTT pasti dimulai dengan Pelaporan “Whistleblower system” dimana pelapor yang terlibat atau mengetahui identitas pelapor dirahasiakan karena “orang dalam” dan “dalam kondisi terancam” dilakukan secara diam-diam dapat dilakukan setiap saat, dapat dilakukan dimana saja, baik secara langsung maupun tidak langsung dimana Target Operasi melibatkan pejabat negara/ pemerintahan pusat maupun daerah baik Sipil maupun Polisi/ TNI.
Kasus OTT KPK Pertama kali pada April 2005 sejak didirikan pada 29 Desember 2003 dalam menangkap OTT Komisioner KPU Mulyana W. Kusumah saat menyuap Auditor BPK Khairiansyah Salman sebesar 150 juta rupiah, dalam usaha menghilangkan kata dalam Legal audit BPK, adanya penemuan kerugiaan negara dalam pengadaan kotak suara Pemilu Tahun 2004 dan melanggar Aturan Keppres Pengadaan Barang dan Jasa.
OTT paling Akhir di Jawa Timur pada 14 Desember 2022 lalu kasus suap Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak, terima suap pencairan Dana Hibah APBD Jawa Timur sejak Tahun 2020 hingga Tahun 2022 (Suap tiap tahun).
Kualifikasi Tertangkap Tangan “heterdaad” dalam pasal 1 angka 19 KUHAP (UU NO.8 Tahun 1981) :
1. Seseorang tengah melakukan suatu kejahatan,
2. Setelah tindak kejahatan tersebut selesai dilakukan,
3. Khalayak ramai menyerukan sesaat setelah kejahatan tersebut dilakukan.
4. Sesaat kemudian orang tersebut ditemukan sesuatu atau benda yang diduga keras dipergunakan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Dalam pasal 18 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah UU Perubahan Pertama UU No.10 Tahun 2015 dan UU Perubahan Kedua UU NO.19 Tahun 2019 dalam kasus Tipikor Tertangkap tangan tidak memerlukan Surat Perintah Penyidikan tetapi harus ada Pemberitahuan terhadap Dewan Pengawas KPK harus memenuhi unsur yaitu :
1. Adanya laporan bahwa seseorang telah melakukan suatu tindak pidana korupsi.
2. Lalu beranjak dari laporan tersebut KPK melakukan pengintaian dengan cara penyadapan atau penjebakan kepada orang yang telah dicurigai tersebut.
3. Setelah melakukan penyadapan atau penjebakan KPK akan melakukan OTT.
Tahun 2022 KPK telah melakukan verifikasi proses Penyelidikan sebanyak 4.260 Laporan atas dugaan adanya Tipikor, dari 4.623 Laporan yang diterima oleh KPK.
Proses Pengintaian dan penyadapan oleh KPK boleh dilakukan berdasarkan pasal 1 angka 14 KUHAP jo pasal 17 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2004 jo pasal 184 KUHAP dan Penpres No.87 Tahun 2016 tentang Satgas Saber Pungli. Dalam Putusan MKRI NO.21 Tahun 2016 dinyatakan Penyadapan KPK tidak melanggar pasal 28G ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 dan pasal 28J ayat (2) uud negara RI Tahun 1945. Penyadapan boleh dilakukan asal :
1. Adanya otoritas resmi diatur dalam UU,
2. Adanya jangka waktu,
3. Pembatasan penanganan materi hasil penyadapan,
4. Pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan.
Pembuktian perkara pidana sesuai “postulat in criminalibus probations bedent esse luce clariores” yang berarti bahwa dalam perkara-perkara pidana bukti-bukti yang diperoleh haruslah lebih terang daripada cahaya, sebab melalui OTT langsung diperoleh bukti yang jelas, terang, dan akurat serta tidak terbantahkan bukan hanya berdasarkan persangkaan saja. OTT sudah pasti dimulai tindakan penyadapan sehingga ada kesesuaian bukti-bukti yang didapat.
Menurut B. Scheltema, ciri dari negara hukum adanya pengakuan penghormatan martabat manusia dan asas kepastian hukum. Peringkat Indonesia menurut Transpararency International, dimana ukuran penilaian Pemerintahan yang Baik dan Bersih, serta bebas Korupsi Indonesia tahun 2018 Peringkat 89 dari 180 negara, tahun 2019 naik menjadi Peringkat 85, tahun 2020 anjlok menjadi Peringkat 102 (kasus koruptor naik), dan Tahun 2021 turun sedikit menjadi Peringkat 96.
Menurut Kurnia Zakaria mungkin Indonesia menjadi Peringkat 70 besar entah Tahun berapa, tetapi bisa dicapai Tahun 2025 dengan syarat :
1. Pihak Polri, Kejaksaan Agung dan KPK seringkali melakukan OTT mungkin seminggu sekali.
2. Proses Penyelidikan dan Penyidikan dipersingkat waktunya.
3. Melibatkan staf ahli dari kalangan profesional, pensiunan aparat pemerintah yang jujur dan teruji bersih, dan akademisi dalam hal Penyelidikan sebagai Petugas Pembantu Penyelidik Tipikor,
4. Adanya kerjasama dan koordinasi antara aparat penegak hukum dan lembaga negara terkait
5. Mahkamah Agung berani memutuskan Hukuman Maksimal bagi Koruptor
6. Bonus dan kesejahteraan aparat Penegak Hukum ditingkatkan
7. Reward and Punishment bagi Aparat Sipil Negara Tegas dan tanpa Pandang Bulu.
8. Proses Pemidanaan Koruptor harus ditambah pembayaran Denda Maksimal dan adanya Pembayaran Uang Kerugian 2-5 kali lipat dari total kerugian negara dan Pengenaan Hukuman Sosial dan Pencabutan Hak Politik
9. Pencabutan fasilitas dan Tunjangan mewah Pejabat Pemerintahan Pusat maupun daerah.
10. Perampasan aset Narapidana dan Keluarganya jika ditemukan adanya Harta ilegal dan hasil kejahatan.
Dalam catatan Kurnia Zakaria, Hukuman terberat adalah vonis Pengadilan Tipikor bagi para terdakwa Kasus Tipikor Asuransi Jiwa Jiwasraya dan Asabri, dimana Hakim berani memutuskan Hukuman Seumur Hidup bagi para Terdakwa.
Dalam tahun 2015-2019 OTT KPK berhasil menangkap 72 Kepala Daerah, 173 anggota Dewan/ Legislatif, dan 116 Birokrat antar lembaga/ Institusi Pemerintahan.
Dalam pelaksanaan aparat penegak hukum khusus Tipikor di Kepolisian RI (POLRI) berdasarkan UU No.2 Tahun 2002 dan Perkap Polri No.2 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perkap Polri No.6 Tahun 2017 tentang Ditrektorat Pidana Khusus Polri. Pembentukan Direktorat Jampidsus Kejaksaan Agung berdasarkan UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI dan Perja Jagung No.Per-009/A/JA01/2011.
Sedangkan KPK didirikan berdasarkan UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No.30 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah UU No.10 tahun 2015 berdasarkan Peraturan pengganti UU (Perpu No.1 Tahun 2015) yang berdiri sejak 23 Desember 2003.
Dalam laporan International Corruption Watch (ICW) Tahun 2015 ada 550 kasus dimana terdapat 1.124 orang tersangka Tipikor dimana Polri menangani 151 kasus Tipikor, Kejaksaan menangani 369 kasus Tipikor, sedangkan KPK hanya menangani 30 kasus Tipikor dimana KPK melalukan 5 kasus OTT.
Tahun 2016 ICW mencatat ada penurunan menjadi 482 kasus dimana Polri menangani 140 kasus Tipikor, Kejaksaaan menangani 307 kasus Tipikor, sedangkan KPK menangani 35 kasus Tipikor dimana ada 17 kasus OTT, dimana ada 1.101 orang Tersangka Tipikor.
Tahun 2017 ada kenaikan kasus Tipikor menjadi 576 kasus dimana Polri menangani 216 kasus Tiikor, Kejaksaan menangani 315 kasus Tipikor, dan KPK menangani 44 kasus Tipikor dimana ada 19 kasus OTT, sedangkan ada 1.298 orang tersangka tipikor diproses hukum.
Tahun 2018 ICW melaporkan adanya penurunan menjadi 454 kasus Tipikor dimana Polri menangani 162 kasus Tipikor, Kejaksaan menangani 235 kasus Tipikor, dan KPK menangani 57 kasus Tipikor dimana ada 30 kasus OTT dimana ada proses hukum 1.087 orang tersangka.
Menurut Kurnia Zakaria Tindakan Hukum OTT KPK harus dievaluasi berdasarkan kriteria :
1. EFEKTIVITAS terkait erat dengan tercapainya hasil suatu tujuan kebijakan.
2. EFISIENSI berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuan kebijakan,
3. KECUKUPAN terkait dengan seberapa jauh hasil kebijakan memberi kepuasan terhadap pencapaian,
4. PEMERATAAN dampak kebijakan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda di masyarakat,
5. RESPONSIVITAS tentang seberapa jauh kebijakan mendapatkan reaksi dari masyarakat,
6. KETETAPAN merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.
OTT KPK harus seringkali dilakukan, baik oleh Polri, kejaksaan dan KPK maupun Satuan Tugas Khusus seperti Satgas Saber Pungli, Pemberantasan Illegal Logging, Pemberantasan Illegal Fishing, Pemberantasan Iilegal mining dan Tim Gabungan Pencari Fakta kalau perlu dibentuk.
Tahun 2023-2024 nanti sebagai pergerakan Anti Korupsi dan Pencucian Uang dan Pemberantasan Money Politic,” hal itu semuanya diungkapkan oleh Dr. Kurnia Zakaria., SH. MH., Pakar hukum dan juga Dosen pada Universitas Bung Karno.
(Rohman)
Komentar