Jakarta – Cakranusantara.net | Macam-macam jenis Tindak Pidana serta Azas-azasnya, yang perlu diketahui oleh publik. Pasalnya, hukum tidak mudah untuk dipahami.
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang, diwajibkan dan disertai dengan ancaman pidana bagi yang melanggarnya.
Menurut Sudarsono pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, tetapi hanya melekatkan sanksi pidana saja agar norma hukum tersebut dipatuhi dan diikuti oleh masayarakat.
1. Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran
Berdasarkan kriteria kualitatif, kejahatan merupakan delik hukum (recht delicten) yaitu suatu perbuatan yang memang berdasarkan kualitas atau sifat-sifat dari perbuatan itu sangat tercela, lepas dari persoalan ada tidaknya penetapan di dalam perundang-undangan sebagai tindak pidana.
Berdasarkan criteria kualitatif ini, semua tindak pidana yang terdapat di dalam buku II KUHP merupakan tindak pidana kejahatan, yang dirumuskan dalam pasal 1 sd pasal 488 KUHP. Sebaliknya pelanggaran dikenal sebagai wet delicten, yakni perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan tercela oleh peraturan-peraturan, yang diatur dalam pasal 489- pasal 569 KUHP.
Perbedaannya adalah, Kejahatan memuat perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh norma hukum maupun oleh norma masyarakat, artinya perbuatan tidak hanya melanggar norma hukum tetapi juga melanggar norma masyarakat. Semisal perbuatan tidak dilarang oleh suatu Undang-Undang, maka perbuatan tersebut tetap ditentang oleh masyarakat karena melanggar kebisaan, kesusilaan dan agama, misalnya, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penipuan dan sebagainya. Sehingga sanksi pidananya lebih berat yaitu Penjara.
Orang yang ditempatkan dalam penjara, tidak ada fasilitas dan selamanya dibalik teralis besi, hanya jam-jam tertentu dikasih keluar dari jeruji besi dalam batas waktu yang secukupnya misal saat makan dan mandi, setelah itu kembali lagi dibalik jeruji besi, dengan ancaman minimal 1 tahun dan maksimal seumur hidup atau 20 tahun penjara.
Berbeda halnya jika ancaman pidananya adalah kurungan yang bersangkutan berada dalam tempat kurungan terbuka, ia dapat memfasilitasi dirinya misal tempat masak dari rumah dan lain sebagainya.
Sebaliknya Pelanggaran atau Wet delicten adalah perbuatan yang dilarang, justru bukan perbuatan yang bertentangan dengan norma masyarakat, perbuatan tersebut baru diketahui oleh masyarakat sebagai sesuatu yang dilarang, karena dilarang dalam undang-undang. Misalnya, perbuatan membebani hewan dengan beban berat, main gitar malam hari, sabung ayam atau pergelandangan dan pengemisan, pemabukan, perjudian. Karena itu, ancaman pidana pada tindak pidana pelanggaran ini termasuk ringan yaitu kurungan minimal 1 hari dan maksimal 6 bulan dan dapat diganti dengan sejumlah denda.
2. Tindak Pidana Formal dan Pidana Materiil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang pembuktiannya lebih menitik beratkan pada rumusan perbuatan yang dilarang, bukan pada akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. Karena hanya memuktikan perbuatan, lebih mudah dan gampang menjerat seseorang yang bersalah dan menghukumnya dengan menggunakan pasal tindak pidana formal, soal niat dan akibat yang timbul tidak perlu dipertimbangkan, sehingga dianggap mengabaikan kemanfaatan dan keadilan hukum tetapi lebih mendahulukan penertibannya atau penindakan hukumnya/ Represif.
Sebaliknya Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang lebih menitik beratkan pada akibat yang timbul dari perbuatan. Tindak pidana yang rumusannya bersifat materil ini lebih susah membuktikannya, dan membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup untuk memperoleh alat bukti, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah.
Tetapi lebih memberikan rasa keadilan karena menghukum seseorang sesuai dengan niat dan kesalahannya. Misalnya, si A memukul si B dengan satu pukulan tetapi si B meninggal seketika maka si A tidak dapat dikualifisir melakukan pembunuhan berdasarkan pasal 338 KUHP dengan pidana penjara 15 tahun, tetapi bersalah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian Pasal 351 KUHP dengan pidana penjara 7 tahun.
Sebab yang dimaksud dengan pembunuhan adalah satu kali perbuatan, seseorang meninggal. Untuk itu, biasanya disertai dengan memakai alat mematikan seperti senpi dan sajam yang diarahkan ke organ tubuh yang mematikan seperti kebagian Kepala, dada/ jantung dan perut, pasti berakibat kematian, sebaliknya jika hanya dengan alat biasa atau tangan kosong disebut melakukan penganiayaan, karena si korban setelah di otopsi ternyata ada sakit jantung maka pukulan yang dilakukan oleh si A diatas menjadi pemicu kumatnya penyakit Jantung. Jadi matinya si B bukan karena pukulan si A tetapi karena timbulnya sakit jantung seketika.
3. Tindak Pidana dengan Kesengajaan dan Tindak Pidana dengan Kealpaan
Tindak pidana dengan kesengajaan itu merupakan tindak pidana yang terjadi karena pelaku tindak pidananya memang mempunyai keinginan, atau kehendak untuk pidana yang terjadi dimana pelaku tindak pidana tidak mempunyai keinginan atau kehendak untuk melakukan tindak pidana.
4. Tindak Pidana Aduan dan Tindak Pidana Bukan Aduan
Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya berdasarkan adanya laporan dari pihak korban tindak pidana. Tindak pidana aduan ini biasanya dibedakan menjadi tindak pidana aduan absolut dan tindak pidana aduan relatif.
Tindak pidana aduan absolute semata-mata penuntutannya dilakukan jika ada laporan dari korban. Sedang tindak pidana aduan relative adalah tindak pidana yang terjadi diantara orang-orang yang mempunyai hubungan dekat.
5. Tindak Pidana Commissionis, Tindak Pidana Omissionis dan Tindak Pidana Commissionis Per Omisionem Commissa
Tindak pidana commissionis adalah tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang. Perbuatan dalam hal ini bersifat aktif ditandai dengan adanya aktifitas.
Tindak pidana ommisionis itu berupa perbuatan pasif atau negative dengan ditandainya tidak dilakukannya perbuatan yang diperintahkan undang-undang. Tindak pidana commissionis per omisionem commissa sebenarnya itu perbuatan tindak pidana commissionis akan tetapi dilakukan dengan jalan tidak berbuat yakni tidak melakukan sesuatu yang bukan kewajibannya.
6. Tindak Pidana yang berlangsung terus dan tidak berlangsung terus
Ciri dari delik yang berlangsung terus adalah bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus. Sementara delik yang tidak berlangsung terus adalah merupakan tindak pidana yang terjadinya tidak mensyaratkan keadaan terlarang yang berlangsung lama.
7. Delik Tunggal dan Delik Berganda
Delik tunggal merupakan tindak pidana yang terjadi cukup dengan perbuatan satu kali. Dan delik berganda merupakan tindak pidana yang baru dianggap terjadi jika dilakukan berkali-kali.
8. Tindak Pidana sederhana dan Tindak Pidana yang ada Pemberatannya
Contoh dari tindak pidana yang ada pemberatannya adalah pembunuhan dengan sengaja, dan direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP).
Sementara contoh dari tindak pidana sederhana adalah penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan Pencurian (Pasal 362 KUHP).
9. Tindak Pidana Ringan dan Tindak Pidana Berat Tindak pidana ringan dan berat dibagi berdasarkan pada criteria yang bersifat kronologis. Tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang dampak kerugiannya tidak terlalu besar dan itu juga ancaman pidananya ringan.
Sementara tindak pidana berat itu merupakan bahwa yang dampak kerugiannya besar dan karena itu ancaman pidananya besar.
10. Tindak pidana ekonomi dan tindak pidana politik
Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana yang berada dalam bidang atau masalah ekonomi. Sementara itu, tindak pidana politik yaitu tindak pidana yang termasuk dalam masalah politik
11. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus. Tindak pidana umum adalah Tindak Pidana yang dirumuskan dalam Kodifikasi KUHP dan Tindak Pidana Khusus adalah jenis-jenis Tindak Pidana yang diatur dalam beberapa undang-undang pidana diluar KUHP. Dalam hal ini Undang-Undang pidana khusus boleh menyimpang dari ketentuan umum KUHP dan yang diberlakukan adalah Ketentuan khusus dalam Undang-undang pidana khusus.
II. Asas-asas Hukum Pidana.
Dalam berlakunya hukum pidana Indonesia dikenal beberapa asas sbg syarat berlakunya hukum pidana Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1. Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Dalam bahasa Indonesia berbunyi: “ Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.
Asas legalitas yang tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin: “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan: “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: “Nullum crimen sine lege stricta”, yang dapat disalin kata demi kata pula dengan: “Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Hal ini oleh Anselm von Feuerbach dirumuskan sebagai berikut:
“Nulla poena sine lege Nulla poena sine Crimine Nullum Crimen sine poena legali”.
Artinya:
“Tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang, Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang. Perumusan asas legalitas dari von Feuerbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom psychologian zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan.
Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu:
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. (kiyas)
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Dengan berlakunya asas ini dapat dicegah tindakan sewenang-wenang dari penguasa yang memidana seseorang atas dasar kepentingannya bukan atas dasar hukum. Sehingga dapat dijamin pada saat melakukan apa dan kapan seseorang dapat dipidana.
Asas bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut sebagaimana tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dibatasi dengan pengecualian yang tercantum di dalam ayat 2 pasal itu.
Ayat 2 itu berbunyi: “Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”.
Contoh kasus ES sebagai tokoh LSM yang dijerat oleh penyidik melanggar Pasal 134 KUHP dengan ancaman pidana 6 tahun penjara, sehingga pelakunya memenuhi syarat Pasal 21 KUHAP untuk dilakukan penahanan. Terduga melakukan penghinaan terhadap Presiden pada tahun 2007/2008. Oleh ES mengajukan uji materi dan putusan MK menyatakan Pasal 134 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945, bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan tidak membedakan penghinaan terhadap warga negara didakwa dengan Pasal 310 KUHP yang ancaman pidananya satu tahun penjara sehingga tidak memenuhi syarat untuk ditahan.
Pada saat bersamaan terdapat beberapa mahasiswa yang sedang diproses dengan pasal 134 KUHP dan ditahan karena menghina Presiden. Dengan terbitnya putusan MK yang membatalkan Pasal 134 KUHP mengakibatkan semua mahasiswa yang sedang diproses harus dibebaskan. Sebagai konsekwensi pasal 1 ayat 2 KUHP, jika ada perubahan undang-undang, harus memberlakukan ketentuan/undang-undang yang lebih menguntungkan terdakwa.
Mengenai perubahan dalam perundang-undangan, ada dua macam teori:
– Teori formil (formale leer)
-Teori materiel terbatas (beperkte materiele leer)
Menurut teori formil dikatakan ada perubahan dalam undang-undang kalau teks undang-undang diubah.
Menurut teori materiel bahwa perubahan dalam perundang-undangan dalam arti kata pasal 1 ayat 2 KUHP, yaitu tiap perubahan sesuai dengan suatu perubahan, perasaan (keyakinan) hukum para pembuat undang-undang. mencakup perasaan hukum dari pembuat undang-undang.
2. Asas Territorial atau Wilayah
Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan delik atau tindak pidana dalam suatu wilayah negara tertentu maka perbuatan tersebut tunduk pada hukum pidana yang berlaku di negara yang bersangkutan. Contoh warga negara membawa narkotika dan ditangkap polisi si Bali, maka hukum pidana yang berlaku padanya adalah Hukum pidana Indonesia. Dapat dikatakan semua negara menganut asas ini, termasuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan.
Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum di dalam pasal 2 dan 3 KUHP:
Pasal 2 yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.”
Pasal 3 yang berbunyi: “Aturan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia.”
Pasal 3 KUHP ini sebenarnya mengenai perluasan dari pasal 2.
Undang-Undang Pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan sesuatu pelanggaran/kejahatan di dalam wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia. Jadi bukan hanya berlaku terhadap warga negara Indonesia itu sendiri. Namun juga berlaku terhadap orang asing yang melakukan kejahatan di wilayah kekuasaan Indonesia.
Yang menjadi dasar adalah tempat di mana perbuatan melanggar itu terjadi, dan karena itu dasar kekuasaan Undang-Undang Pidana ini dinamakan asas Daerah atau asas Territorial. Yang termasuk wilayah kekuasaan Undang-Undang Pidana itu, selain daerah (territoir), lautan dan udara territorial, kapal-kapal yang memakai bendera Indonesia (kapal-kapal Indonesia) yang berada di luar perairan Indonesia.
Berlakunya hukum pidana terutama berdasarkan wilayah dibatasi atau mempunyai kekecualian yaitu hukum internasional. Bahwa Hukum Pidana indonesia tidak berlaku bagi mereka yang melakukan tindak pidana diwilayah indonesia jika yang melakukannya adalah,
a. Kepala negara beserta keluarga dari negeri sahabat. Mereka mempunyai hak ekteritorial. Hukum nasional tidak berlaku bagi mereka.
b. Duta-duta negara asing beserta keluarganya, mereka ini juga mempunyai hak tersebut. Apakah konsul-konsul juga mempunyai hak ini tergantung dari traktaat.
c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal perang adalah teritoir negara yang mempunyainya.
d. Tentara negara asing yang ada di dalam wilayah negara dengan persetujuan negara itu.
3 Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif
Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warganegaranya kemanapun ia berada. Asas ini bagaikan ransel yang melekat pada punggung warga negara Indonesia kemana pun ia pergi. Inti asas ini tercantum di dalam pasal 5 KUHP.
Pasal 5 KUHP itu berbunyi:
Ayat 1: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang diluar Indonesia, telah melakukan kejahatan tertentu”.
Dengan syarat, jika tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara Indonesia itu dipandang sebagai kejahatan di Indonesia dan di Negara asing, dimana tindak pidana dilakukan diancam dengan pidana penjara. Dengan adanya syarat ini maka berlakunya hukum pidana Indonesia menjadi tidak efektif.
Jika tindak pidana yang dilakukan oleh WNI tersebut dipandang sebagai kejahatan di Negara asing, tempat tindak pidana dilakukan, sudah pasti negara asing tersebut menggunakan hukum pidana negaranya sendiri bukan hukum pidana indonesia, karena menganut asas teritorial, sebaliknya jika dinegara Indonesia mengatur perbuatan tersebut sebagai kejahatan, tapi negara asing tidak mengaturnya sebagai kejahatan maka WNI tersebut tidak dapat dipidana.
Contoh, WNI yang pergi dari indonesia keadaan hamil melakukan aborsi di negara Singapura, oleh Singapura tidak memandang aborsi sebagai tindak kejahatan, maka sekembalinya ke indonseia tidak dapat dipidana. Karena syaratnya tak terpenuhi yaitu, jika negara asing tidak mengatur perbuatan yang dilakukan di negara asing tersebut sebagai kejahatan atau tindak pidana.
Pasal 5 ayat 1 ke-1 menentukan sejumlah Pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka berlakulah hukum pidana Indonesia, meskipun seperti yang dikatakan diatas tidak efektif berlakunya karena ketentuannya saling bertentangan. Jalan keluarnya hanya melalui Perjanjian Ekstradisi, yaitu penyerahan penjahat ke negara asal.
4. Asas Perlindungan atau Asas Nasionalitas Pasif
Asas nasional pasif ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga, baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara.
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara termasuk Indonesia, berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini tercantum di dalam Pasal 4 ayat 1, 2, dan 4 KUHP.
Pasal 4 ke-1 mengenai orang Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu atau sertifikat-sertifikat utang yang ditanggung surat-surat bunga uang yang termasuk surat-surat itu, atau pasal 8 juga termasuk asas perlindungan.
Pasal itu berbunyi: “Peraturan hukum pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi nahkoda dan orang yang berlayar dengan alat pelayar Indonesia di luar Indonesia, juga pada waktu mereka tidak berada di atas alat pelayar, melakukan salah satu perbuatan yang dapat dipidana”.
Pasal 8 ini memperluas berlakunya Pasal 3. Dasar pemikiran sehingga ketentuan ini diciptakan untuk melindungi kepentingan hukum negara Indonesia di bidang perkapalan.
5. Asas Universalitas
Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi diluar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara manapun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional. Contoh: pembajakan kapal di lautan bebas, pemalsuan mata uang negara tertentu bukan negara Indonesia.
Jadi disini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah yang tidak termasuk kedaulatan sesuatu negara manapun, seperti: di lautan terbuka, atau di kutub.
Yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal (menyeluruh seantero dunia) jenis kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas.
Demikianlah, sehingga orang Jerman menamakan asas ini “weltrechtsprinzip” (asas hukum dunia). Disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.
(Rohman)
Komentar