Jakarta – Cakranusantara.net | Pakar ilmu hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) dan Advokat, Dr. Kurnia Zakaria menilai, modus pencucian uang dengan menggunakan nama orang lain (nominee), untuk membuka rekening dan melakukan transaksi karena penempatan uang hasil tindak pidana di lembaga perbankan, kini mudah terendus aparat penegak hukum (APH), otoritas jasa keuangan (OJK) dan PPATK.
Maka untuk menelusurinya, menurut Kurnia, sebenarnya ini tidak sulit untuk dilakukan asal ada kemauan. Namun, yang mempersulit proses investigasinya adalah koordinasi antar lembaga.
“Harus ada koordinasi antar lembaga juga, baik di Dalam maupun luar Negeri,” menurut Kurnia Zakaria, Kamis (9/3/2023).
Tindak pidana pencucian uang itu terlepas dari tindak pidana asalnya, baik korupsi, penipuan, penggelapan maupun terkait transaksi suap gratifikasi pejabat negara lainnya, dengan menyamarkan atau mengaburkan asal-usul proses atau perolehan hasil tindak pidana itu sendiri.
Ini diduga telah dilakukan oleh mantan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo. Jelas modusnya, pertama transaksi suap dan gratifikasi melainkan transaksi legal seperti transaksi bisnis.
Kemudian yang kedua, pembelian lahan tanah beserta bangunan atas nama orang lain atau nominee, yang mana tidak dapat dilacak dari LHKPN oleh OJK maupun APH.
“Ini kan jurus pamungkas Rafael, bahkan dia diduga turut menyimpan uangnya dalam saham perusahaan. Tapi nominalnya tidak dicantumkan dengan jelas atau dibuat-buat,” lanjutnya.
Persoalan mobil Rubicon yang menjadi saksi bisu kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya, Mario Dandy Satriyo terhadap David pada beberapa waktu lalu. KPK mengklaim bawa mobil Rubicon ini dibeli dari cleaning service atau office boy (OB) di kantor pajak.
“Bila membeli dan menerima suap gratifikasi kendaraan bermotor kelas mewah atas nama orang lain, kalau perlu nama KTP OB dicatut sebagai pemilik. Persoalan temuan PPATK dan KPK mengenai mutasi rekening Rafael yang mencapai Rp 500 miliar,” paparnya.
“PPATK dan OJK seharusnya melacak dugaan transaksi uang Rafael dengan valuta asing, bila ada transaksi uang tunai ditukar dengan valuta asing, dan dalam bentuk pembayaran asuransi maupun cek perjalanan ataupun saham. Pembelian barang bisa dalam bentuk barang seni dan logam mulia,” ungkap Kurnia Zakaria.
Pelaku Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (Kupva BB), yang beroperasi seharusnya Bank Indonesia mengetahui, dianggap sebagai pihak yang membantu terjadinya tindak pidana pencucian uang dan memenuhi unsur Pasal 3, 4, dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010.
“PPATK dan OJK bisa bergandengan denga Polri atau KPK dan pihak terkait dalam melakukan monitoring untuk semua kegiatan dalam hal ini KUPVA BB atau money changer punya izin Bank Indonesia. Jika ilegal, ya mau tidak mau harus berurusan dengan hukum,” tutup Kunria Zakaria.
(Rmn)
Komentar