Jakarta – Cakranusantara.net | Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menganulir vonis mati menjadi penjara seumur hidup untuk Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap sang ajudan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) kembali menjadi perbincangan Publik.
“Dalam Yurisprudensi kita tidak mengikuti, tetapi jadi pedoman, kalau pengacara bisa mengikuti itu. Karena disitu ada putusan incracht yang dijadikan sebagai pedoman oleh Aparat Penegak Hukum (APH), seperti Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan Advocate. Namun kini Majelis Hakim membuat masyarakat bingung sehingga penafsiran hukum atas Peraturan perundang-undangan lama dan yang baru saling bertentangan, mana yang benar dalam penerapan hukum antara UU No. 73 Tahun 1958, atau UU No. 1 Tahun 2023 untuk pidana hukuman mati atau seumur hidup” ungkap Kurnia Zakaria, Jum’at (11/8/2023).
Hukum di Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental (civil law system), eksistensi peraturan perundang-undangan sangatlah penting, karena jika dikaitkan dengan asas legalitas yang berarti setiap tindakan harus memiliki dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, tiada kesalahan tanpa aturan UU.
“Tanpa ada dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan, segala macam aparat pemerintah dan APH tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya,” lanjutnya.
Yurisprudensi bisa untuk diikuti ataupun tidak, tergantung hakimnya karena tidak wajib. Memang dikatakan bahwa Hukum Indonesia tidak menganut asas Precedent tetapi bisa memakai yurisprudensi yang sudah ada untuk dijadikan pertimbangan hukum.
“Dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 20/PUU-XXl/2022 tanggal 14 April 2023 memperkuat putusan MK No. 34/PUU-XIV/2016 Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sesui Pasal 263 (1) KUHAP mencabut pasal 30c huruf h UU No. 11 Tahun 2021 perubahan UU No. 11 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republilk Indonesia,” paparnya.
“Dengan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup ini, nantinya KUHP UU Nomor 1 Tahun 2023 ini akan berlaku tahun 2026 mendatang. Itukan bisa saja dipermainkan (dikebiri), kaya nggak tau aja akan hukum kita ini. Diantara UU yang saling bertentangan, mana yang akan diberlakukan nanti, KUHP yang lama atau baru?,” tanyanya.
Lantaran, terpidana Ferdy Sambo cs nanti pasti bakal mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Sehingga hukuman masih bisa dikurangi lagi. Ia menilai putusan dalam kasasi tersebut disinyalir adanya simbiosis mutualisme (Hakimnya diduga masuk angin).
“Biasa begitu. Pokoknya mungkin ada yang punya jasa atau nanti kepolisian sama hakim secara individual maupun MA sebagai institusi hukum tertinggi dan jasa yang berbeda gitu yang akan dipake dikemudian hari. Walaupun dikatakan KUHP baru itu, tapikan Ferdy Sambo nanti dapat mengajukan PK, ini juga yang sangat berbahaya. Ferdy sambo dan keluarganya bisa ajukan PK. Kemudian belum lagi grasi yang bisa diajukan berulang kali,” cetusnya.
Baca Juga : Jejak Karir Sambo, Kurnia Zakaria : Pledoi Terdakwa Pembunuhan Berencana Brigadir J
Putusan kasasi MA itu juga membingungkan. Pasalnya, kasasi Ferdy Sambo ditolak, tetapi hukumannya dirubah.
“Kasasinya ditolak tapi dirubah hukumannya. Ini menjadi pertanyaan bagi kita apakah betul seperti ini putusan kasasi Mahkamah Agung? Ini juga menjadi pelajaran penting baik kita semua untuk mendapatkan kepastian hukum,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, MA menganulir hukuman empat pelaku pembunuhan berencana terhadap Brigadir J dan melalui putusan kasasi, MA meringankan vonis mati Ferdy Sambo menjadi penjara seumur hidup.
Putri Candrawathi, dipangkas setengahnya, dari 20 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara. Sementara, asisten rumah tangga (ART) Sambo dan Putri, Kuat Ma’ruf, dari 15 tahun menjadi 10 tahun penjara.
Sedangkan hukuman mantan ajudan Sambo, Bripka Ricky Rizal, didiskon dari 13 tahun penjara menjadi 8 tahun.
Terkait ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan PK, sebagaimana disinyalir telah dikebiri dengan Pasal 263 (1) KUHAP mencabut pasal 30c huruf h UU No. 11 Tahun 2021 perubahan UU No. 11 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republilk Indonesia.
“Menggugurkan kewenangan JPU dalam mengajukan PK terhadap putusan pengadilan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan hanya bisa diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya,” tutup Kurnia Zakaria selaku pakar hukum dan juga Dosen.
(Rmn)
Komentar