oleh

Pasal Karet Tentang Tindak Pidana ITE

Hukum – Cakranusantara.net | Belakangan ini muncul beberapa kasus hukum yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan sebagai akibat penerapan Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Yang isinya memuat beberapa pasal-pasal karet, atau pasal multi tafsir, sehingga setiap orang dapat menafsirkan norma yang dirumuskan pada pasal tertentu dalam UU ITE, sesuai dengan kepentingan si penafsir, atau dari prespektif yang berbeda-beda, ketiadaan batasan atau tolak ukur untuk menentukan sesuatu menjadi hal yang dilarang, menjadi susah dan sukar membedakan mana perbuatan mengkritik, mengecam, mempertanyakan, menyalahkan hingga menggugat pemerintah, atau perbuatan tag sebagai memusuhi, membenci, menghina, menghujat atau menista.

Keberadaan UU ITE ini dimaksudkan untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi. Tapi dalam implementasinya justru setiap orang bisa melaporkan orang lain atas perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, dan akhirnya terlapor pun bisa melaporkan si pelapor atau saling melapor.

Menurut saya, perbuatan saling melapor ini sebagai sikap saling membalas dari kedua belah pihak, dan hukum pidana dengan tegas melarang perbuatan saling membalas tersebut. Perbuatan tersebut dinilai sebagai bentuk eigen righting atau main hakim sendiri.

“jika si A memukul si B lantas si B membalas memukul si A dengan alasan sebagai pembelaan diri, atau alasan lain, hal itu tidak diperbolehkan oleh undang-undang, yang akhirnya berujung saling melaporkan”.

Dalam pasal 351 KUHP sangat jelas tolak ukur atau batasan suatu penganiayaan dengan adanya suatu gerakan/ handeling berupa kekerasan dan harus ada akibatnya akibat sakit, lembam memar, luka hingga mati, jika dapat dibuktikan kausalitas perbuatan dengan akibat yang timbul maka si A dan B sama-sama sebagai pelaku hingga menjadi tersangka dan terpidana.

Tampak disini fungsi hukum pidana seolah-olah bersifat Represif saja atau pemenjaraan pelaku saja. Tapi itu dilakukannya untuk menjalankan asas kepastian hukum, diharapkan melalui kepastian hukum akan tercipta suatu ketertiban masyarakat yang berkeadilan.

Sebaliknya dalam kasus ITE ini, sangat sukar untuk membedakan siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban, karena tidak ada tolak ukur dari pasal yang dilanggar. Dapat terjadi semestinya yang bersangkutan sebagai korban tetapi malah sebagai tersangka.

Semua pihak dapat diproses sebagai pelaku melalui laporan masing-masing pihak, yang berarti UU ITE melalui aparat kepolisian berkontribusi untuk menciptakan perbuatan saling membalas dendam diantara warga melalui media sosial.

Apabila hal ini dibiarkan dapat menjadi pemicu konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat dan akhirnya memunculkan konflik vertikal.

Masih jelas dalam ingatan kita beberapa kasus pelanggaran UU ITE, yang lagi viral di Media sosial, seperti Kasus innesial PM, yang mengkritik RS OI, melalui emailnya yang isinya berupa keluhan atas pelayanan di RS tersebut.

RS OI melaporkan PM ke Polisi, Pengadilan memutuskan PM bersalah dan menghukumnya dengan pidana penjara 6 bulan masa percobaan 1 tahun. Tapi keadilan masih memihak PM, dimana MA melalui putusan PK nya pada 17 September 2012, PM dibebaskan dari hukumannya.

Berikutnya kasus Innesial BNM sebagai pegawai honorer SMAN 7 Mataram, pada 24 Maret 2017 merekam pembicaraannya dengan innesial MLM saksi korban yang saat itu menceritakan rahasia pribadinya kepada BNM.

Menurutnya, cerita itu justru pelecehan seksual secara verbal bagi dirinya. Rekaman tersebut disimpannya di komputer yang kelak dapat dijadikan sebagai alat bukti, manakala berhadapan dengan MLM.

Atas perbuatan BNM tab, Oleh Muslim melaporkan ke Polisi dan Jaksa mendakwanya dengan pasal 27 ayat (1) UU ITE.

Putusan PN Mataram menyatakan bahwa BNM tidak terbukti bersalah melanggar pasal 27 ayat (1) UU ITE dan membebaskannya, tapi JPU (Jaksa Penuntut Umum) kasasi dan MA memutus BNM bersalah dan menghukumnya 6 bulan penjara dan denda Rp. 500 Juta rupiah atau kurungan 3 bulan. PK diajukan oleh BNM tapi ditolak oleh Majelis PK.

Masyarakat protes karena dianggap tidak adil, semestinya BNM adalah korban tapi malah terpidana. Karena sudah tidak ada upaya hukum, akhirnya Presiden Joko widodo menerbitkan Perpres tentang Amnesti yang mengampuni BNM dan membebaskannya dari penjara setelah memperoleh persetujuan DPR.

Akhirnya rasa keadilan diperoleh warga masyarakat khususnya bagi BNM. Kasus terbaru dialami innesial Is di Aceh utara dilaporkan Kepala Desa (Kades) atas kasus dugaan Pencemaran nama baik.

Hal itu diawali dengan perbuatan Is mengunggah di Facebook soal kericuhan Kades ke ibunya yang menjadi viral. Pada 6 april 2020 oleh PN Lhoksukon Aceh utara.

Kemudian, Is di vonis bersalah dan menghukumnya 3 bulan penjara. Dalam tahanan Is terpaksa membawa bayinya yang masih berumur 6 bulan.

Titik permasalahannya yang pada dasarnya UU ITE ini hanya dapat membuat tolak ukur atau batasan tentang penggunaan media elektronik itu sendiri seperti mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik.

Sementara tentang perbuatan yang dilarang dan dilanggar dalam Undang-undang tersebut tidak ada mengatur kriteria, batasan atau tolak ukurnya.

Adapun pasal-pasal yang dinilai sebagai pasal karet membutuhkan penanganan sesegera mungkin, baik berupa Revisi dengan membuat Resultante atau kesepakatan baru terkait kontroversi dengan membuat diksi yang tepat, tegas dan selaras, bersifat detonatif bukan sebaliknya konotatif atau membuat pedoman pelaksanaan pasal-pasal karet tersebut di tingkat Kepolisian dan Kejaksaan sebagai pintu masuk perkara dipengadilan. Atau manakala pasal tersebut tidak lagi berpijak pada keadilan hukum maka DPR harus mencabut atau membatalkannya.

Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut;
1. Pasal 27 ayat (1) tentang Pendistribusian informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar Kesusilaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

Apa yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan tidak diatur dalam UU ITE, sehingga sesuai dengan asas Lex Specialis derogat Lex generalis, maka penafsirannya menggunakan ketentuan Kejahatan Kesusilaan dalam KUHP.

Kejahatan Kesusilaan berkaitan dengan nafsu berahi atau kelamin seseorang seperti mempertontonkan bagian tubuh, meraba, mengusap, mencium bagian tubuh yang vital dari wanita hingga bersetubuh. Yang dilarang dalam kejahatan kesusilaan pasal 281-298 KUHP adalah Perbuatannya, handeling dan dilakukan di hadapan umum/ open baar, oleh orang yang belum Dewasa atau oleh salah satu pihak sudah menikah.

Jika salah satu perbuatan tersebut diatas misalnya pasal 281 KUHP, dilakukan oleh orang yang sudah dewasa atas dasar suka sama suka, dalam suatu tempat tertutup bukan dihadapan umum (di tempat yang dapat dilihat orang banyak), maka perbuatan itu bukanlah suatu tindak pidana.

Karena yang dilarang adalah perbuatan yang merusak kesopanan melalui penglihatan lebih dari satu orang di tempat-tempat umum.

Sementara perbuatan yang terkait dengan kesusilaan ini, termasuk ranah hak privat perseorangan, asal tidak melanggar kepentingan hukum orang banyak. Karena itu deliknya dirumuskan sebagai delik aduan. Jika pelaku tidak berbuat sebagai pelaku langsung, yang bersetubuh atau berciuman tetapi merekam dan menyiarkan photo rekamannya maka pelaku di dakwa dengan pasal 282 KUHP dengan pidana satu tahun empat bulan.

Dalam pasal 27 ayat (1) tidak membedakan apakah pelaku sebagai pembuat persetubuhan atau pelaku yang merekam dan menyiarkannya, sehingga persetubuhan yang tadinya bukan sebagai tindak pidana, bisa saja menjadikan pelakunya menjadi tersangka, hanya karena adanya rekaman yang disiarkan oleh pihak lainnya.

Atau sebaliknya perbuatan meraba atau mencium diantara orang yang lagi pacaran, bisa saja menjadi tersangka pasal 27 ayat (1) hanya karena rekaman tersebut beredar dalam masyarakat.

Atau Pemerkosaan pasal 285 KUHP, dipergoki oleh orang lain dan secara diam-diam dan merekamnya dengan maksud menjadikannya sebagai alat bukti bagi penyidik, tapi entah bagaimana rekaman tersebut sudah tersiar ditengah masyarakat.

Oleh sebab itu sebaiknya dipisah antara norma mendistribusikan rekaman dengan perbuatan pelanggaran kesusilaan. Pada pelaku pendistribusian rekaman harus di buktikan mensrea nya, apakah tujuan nya adalah untuk mempermalukan orang yang direkam, jika ya maka perbuatan adalah tindak pidana.

Atau sebaliknya rekaman tersebut dimaksudkan (bermaksud sama dengan bersengaja), hendak digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari atau pelaku pelanggar kesusilaan tersebut, tidak megetahui kalau perbuatannya direkam dan rekamannya beredar di masyarakat, jika demikian halnya maka perbuatan bukanlah suatu tindak pidana.

Untuk membuktikan dengan sengaja harus dibuktikan niat dan membandingkannya dengan permulaan pelaksanaannya, apa sudah potensial permulaan pelaksanaan tersebut menimbulkan delik yang dituju. Jika tidak potensial atau tidak berkontribusi, maka disitu tidak ada niat. Dan jika tidak ada niat maka tidak dipenuhi unsur dengan sengaja.

Begitu juga dengan unsur melawan hukum, harus dibuktikan apakah perbuatan yang diduga sebagai pelanggar kesusilaan tersebut, didasarkan atas haknya si pelaku (harus kedua orang tersebut), misalnya sudah sama-sama dewasa, suka sama suka, dan ditempat tertutup, maka pelaku mempunyai hak untuk melakukan hal tersebut sebagai bawaan hak kodratnya, apalagi jika hubungan mereka sudah dilegalitaskan dengan suatu akte.

Seandainya artis GS yang melakukan mesum disalah satu hotel di Medan, tidak tersiar rekamannya tapi karena tertangkap tangan di hotel, maka perbuatan bukanlah suatu tindak pidana, tanpa adanya dua alat bukti yang membuktikan unsur-unsur dari pasal yang dilanggar, satu unsur tidak terpenuhi pembuktiannya, maka perbuatan tersebut bukan sebagai tindak pidana.

Oleh sebab itu unsur melawan hukum dalam pasal 27 ayat (1) ini, harus ditafsirkan sebagai unsur melawan hukum materil, bukan sebagai melawan hukum formil.

Kesimpulan pasal 27 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut;
a. Pasal ini bermasalah sehingga bisa disebut sebagai pasal karet karena merumuskan semua delik yang berhubungan dengan nafsu birahi dalam satu istilah Kesusilaan (diakumulasikan) dan tidak membuat pedoman tentang apa pelanggar kesusilaan tersebut.

Padahal tidak semua perbuatan pelanggar kesusilaan yang disiarkan melalui rekaman video sebagai tindak pidana kesusilaan jika perbuatan tidak dilakukan di tempat umum.

Rekaman video mesum tersebut tidak dapat menjelaskan perbuatan apa yang dilakukan ditempat umum atau ditempat terbuka, yang di tunjukkan hanyalah gambar adegan mesum tersebut. Jika demikian halnya maka yang menyiarkanlah/ yang nge share yang harus ditetapkan sebagai tersangka.

b. Pelanggar Kesusilaan dirinci dalam 18 pasal mulai pasal 281 sampai dengan pasal 298 KUHP, dan sebagian dari pasal tersebut dengan tegas disebutkan sebagai delik aduan kecuali Pemerkosaan. Jika delik kesusilaan KUHP sebagai ketentuan yang berlaku pada pasal 27 ayat (2) UU ITE, maka semestinya delik kesusilaan ini harus diperlakukan sebagai delik aduan agar tidak setiap orang saling melapor ke Polisi.

c. Ancaman pidana dalam Pasal 27 ayat (1), paling lama 6 tahun, tidak sebanding dengan jenis kejahatannya yang bermuka dua, sebagian ranah privat (negara tidak boleh campur) dan sebagian ranah publik atau hukum pidana. Sebagai ranah privat dirumuskan sebagai delik aduan seperti pasal 284, pasal 287, pasal 293 KUHP.

Oleh sebab itu, terhadap pelanggar kesusilaan seperti dalam pasal-pasal diatas yang ditemukan dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE harus diperlakukan sebagai delik aduan yang berarti ancaman pidananya idealnya dibawah 5 tahun agar tidak dilakukan penahanan berdasarkan pasal 21 ayat (4) KUHP.

Disarankan perlu Revisi atas pasal 27 ayat (1) ini, dengan membatasi penerapan pasal ini hanya ditujukan pada pelaku yang menyiarkan muatan kesusilaan saja.

2. Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Tentang Pendistribusian informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

Apa yang dimaksud dengan Penghinaan dan Pencemaran nama baik tidak ada penjelasan atau persamaannya di dalam UU ITE, sehingga harus dicari dalam KUHP sebagai genusnya yaitu dalam pasal 310 KUHP tentang Penghinaan dan pasal 311 KUHP tentang Penistaan atau Pemfitnahan.

Penghinaan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 310 KUHP, adalah suatu perbuatan yang menyerang kehormatan seseorang, agar orang tersebut menjadi malu karena aibnya yang tadinya tertutupi menjadi terbuka dan sekarang diketahui warga masyarakat. Ancaman pidananya paling lama 9 bulan.

Penghinaan ini tidak mempersoalkan kebenaran dari pernyataan si penghina, jika pelaku mengetahui bahwa seseorang sebagai pelacur (misal) dan sengaja menyiarkannya dihadapan umum (dalam pasal 27 ayat (3), melalui pendistribusian informasi elektronik), maka perbuatan sudah memenuhi unsur penghinaan meskipun apa yang dituduhkan tersebut adalah sesuatu perbuatan yang benar.

Sebaliknya Pencemaran nama baik itu diatur dalam pasal 311 KUHP dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun.

Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini apabila pelaku menuduhkan sesuatu pada orang lain sementara dia tahu persis bahwa tuduhan tersebut adalah hal yang tidak benar maka pelaku terancam 4 tahun.

Sebaliknya jika pelaku dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, maka perbuatannya menjadi alasan pembenar sebagai tidak dipidana, karena pelaku menyiarkan sesuatu yang merusak nama baik orang tersebut, bertujuan bukan semata-mata mempermalukannya, akan tetapi agar warga mayarakat tidak lagi ada korban dari perbuatan orang tersebut.

Dengan demikian ada kepentingan umum yang dilindunginya. Misalnya, pelaku menjelaskan ke warga bahwa orang tersebut adalah penipu agar tidak ada lagi orang yang tertipu akibat dari perbuatan orang tersebut.

Pada umumnya motif timbulnya ujaran penghinaan ini bukan karena adanya kerugian materil tetapi hanya disebabkan ketersinggungan satu sama lain sehingga muncul perasaan tidak enak dan sakit hati.

Karenanya para pelaku dengan korban saling mengenal satu sama lain bahkan ada yang masih memiliki hubungan keluarga, hubungan pertemanan, sehingga lebih tepat ranah delik penghinaan ini sebagai delik privat, maka penyelesaian perselisihan yang timbul semestinya melalui mediasi diantara mereka bukan penahanan setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, dengan alasan sudah memenuhi syarat objektif penahanan, apabila tindak pidana yang dilaporkan itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun pasal 21 KUHP.

Tapi penahanan tidak bersifat mutlak hanya jika betul-betul ada kekhawatiran si tersangka yang melarikan diri dan mengulangi tindak pidana serta merusak alat bukti. Karena tindak pidana ini masih tergolong ringan di genusnya, maka sebaiknya tidak perlu dilakukan penahanan.

Kesimpulan atas Pasal 27 ayat 3 ini sebagai berikut;
a. Pasal ini masuk pasal karet karena tidak ada pedoman yang sah yang dirumuskan dalam pasal ini tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.

b. Pasal ini memuat ancaman pidana yang berat yaitu 6 tahun, tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut, berupa merendahkan kehormatan seseorang, dan ancaman pidana ini berbeda jauh dengan ancaman pidana yang dirumuskan dalam hukum genusnya pasal 310 KUHP selama 9 bulan dan pasal 311 KUHP selama 4 tahun.

c. Pasal 27 ayat 3 ini harus direvisi dan mencantumkannya sebagai delik aduan/ klacht delic. Tanpa pengaduan atau penuntutan dari yang berkepentingan atau si korban, penghinaan ini bukanlah suatu tindak pidana.

4. Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang Ujaran Kebencian berdasarkan Sara.

Maraknya ujaran kebencian melalui media sosial saat ini, merupakan gambaran kurangnya rasa penghargaan, penghormatan pada orang lain. Entah siapa yang memulai sehingga muncul jawaban yang bersifat penistaan bahkan mengarah pada ujaran kebencian.

Timbulnya perbuatan saling mengatain, mengkritik, menghujat dan lain sebagainya, untuk konsekuensinya terbuka ruang kebebasan dalam era demokrasi, juga sebagai pengaruh perkembangan media sosial dan faktor pendukungnya, yang berujung pada sikap saling melapor bahkan laporan polisi pun tidak main-main, diduga telah melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian berdasarkan Sara yang ancaman pidananya 6 tahun, bukan sebagai ujaran penghinaan atau pencemaran nama baik pasal 27 ayat 3.

Bahkan terdapat beberapa kasus dari saling meledak atau mengatakan ini di tujukan dan melekat pada pribadi seseorang, tetapi dibungkus dengan sara, sehingga dipersangkakan sebagai dugaan ujaran kebencian berdasarkan Sara, yang sesungguhnya bukan konten sara sebagai tujuan/ niat/ mensrea, tetapi nama baik si korban. Maka sebaiknya penyelesaian kasus seperti ini tidak perlu melalui peradilan pidana, tapi lebih baik ditempuh melalui proses diluar peradilan pidana, agar tidak ada yang merasa dilukai oleh penguasa, tidak ada yang menang dan kalah.

Penyelesaian kasus yang bersifat privat ini, khususnya perkara saling menyerang kehormatan diantara sesama warga, agar ditempuh melalui jalan damai untuk mewujudkan Restoratif Justice (Mediasi).

Untuk itu, diperlukan terobosan oleh aparat penegak hukum mempertemukan pelaku dan korban/ diversi untuk lebih memastikan apakah tindak pidana yang terjadi ujaran penghinaan atau ujaran kebencian berdasarkan Sara.

Jika yang ditemukan adalah ujaran penghinaan maka penyelesaian perkaranya ditempuh di luar peradilan pidana /Restoratif Justice (RJ).

Tetapi jika yang ditemukan adalah ujaran kebencian, berdasarkan pendapat ahli bahasa, agama, tokoh masyarakat dan ahli pidana maka penyelesaiannya dapat dilanjut melalui peradilan pidana untuk memperoleh efek jera dan kepastian hukum.

Oleh sebab itu, harus ada kehati-hatian ketika seseorang diduga melakukan Sara. Maka pembuktiannya harus tetap konsisten terhadap niat/ maksud tujuan dari pelaku, apakah niatnya untuk mempermalukan si korban.

Sementara hal-hal yang bersifat Sara hanya sebagai pelengkap, atau pembungkusnya saja, supaya lebih menarik perhatian masyarakat.

Karena itu patut dipertimbangkan apakah mungkin seseorang pribadi yang direndahkan martabatnya dapat mewakili kelompok suku atau kelompok agama, sehingga perbuatan pelaku tidak lagi ditujukan pada pribadi si korban yang dihina, tapi ditujukan pada suku atau agama yang dianut oleh si korban, jika memang sudah ditujukan pada kelompok atau agama yang dianutnya maka pelakunya dapat diancan dengan pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian berdasarkan Sara yang diancam dengan Pidana Penjara 6 tahun, sehingga pelakunya dapat langsung di tahan.

Terkait dengan hal tersebut perlu kehati-hatian yang serius untuk penerapan pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan atau pencemaran nama baik yang terpisah dengan penerapan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian berdasarkan Sara, merupakan suatu keharusan.

Kesimpulan pasal 28 ayat 2 UU ITE sebagai berikut;

a. Pasal ini termasuk pasal karet karena tidak jelas pembeda antara pasal 27 ayat (3); tentang pencemaran nama baik yang bersifat individu, dengan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian yang bersifat individu, kelompok dan Sara tidak ada pembeda yang tegas, semestinya perbuatan adalah yang dilarang dalam pasal 27 ayat (3) tetapi dipersangkakan melanggar pasal 28 ayat (2). Maka sebaiknya diksi kebencian yang bersifat individu dicabut saja dari dalam pasal ini. Cukup ujaran kebencian berdasarkan kelompok atau Sara saja.

b. Ujaran kebencian dalam pasal ini tumpang tindih dengan pasal 160 KUHP yang rumusannya lebih lengkap yaitu; Barang siapa dimuka umum dengan lisan dan tulisan menghasut supaya melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau supaya jangan mematuhi peraturan perundang-undangan diancam 6 tahun penjara.

Dalam pasal ini sangat jelas dan tegas bagaimana dan apa bentuk ujaran kebencian tersebut seperti dimuka umum, menghasut supaya melakukan suatu kejahatan, dan sebagiannya, sehingga jika suatu perbuatan dilakukan melalui penyebaran informasi ekektronik, harus dibuktikan ujaran kebencian yang dimaksudkan pasal 160 KUHP. Dan sesuai putusan MK/ PUU-VII/2009 dalam penerapan pasal 160 KUHP, harus dimaknai sebagai delik materil bukan sebagai delik Formil. Maka akibat dari hasutan tersebut harus dapat dibuktikan bahwa orang yang dihasut sudah melakukan perbuatan yang dapat dihukum, atau melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau tidak mau tunduk pada peraturan yang berlaku.

Saran

Sebaiknya ketentuan pasal 28 ayat (2) UU ITE, dicabut karena lebih produktif penggunaan pasal 160 KUHP tentang Ujaran Kebencian, manakala ditemukan ujaran kebencian tersebut dilakukan melalui informasi elektronik maka dakwaannya di juntokan dengan pasal 28 ayat (2), tetapi pembuktian tentang norma ujaran kebenciannya mengacu pada pasal 160 KUHP.

5. Pasal 29 UU ITE tentang mendistribusikan informasi elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut- nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Pasal ini juga sebagai pasal karet bahkan tumpang tindih dengan pasal 27 ayat (4) yang memuat tentang pemerasan dan ancaman.

Saran

Pasal ini sebaiknya dicabut atau dibatalkan, meskipun berakhirnya suatu undang-undang bukan hanya karena pencabutan saja tetapi dapat pula berakhir secara alami karena tidak pernah digunakan atau diterapkan dalam prakteknya.

Terkait dengan permintaan Presiden Joko Widodo untuk merevisi pasal-pasal karet dalam UU ITE pada 15 Pebruari 2021, Kapolri yang baru merespon dengan baik dengan menerbitkan Surat Edaran No.SE/2/II/2021 yang memuat pedoman sebanyak 11 point, antara lain sebagai berikut.

1. Meminta Penyidik Polri mengedepankan Restorative Justice (RJ) dalam penyelesaian perkara khususnya dalam menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran Undang-undang ITE, Hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum, kecuali yang bersifat memecah belah Sara dan Radikalisme.

2. Mengupayakan dan Mengedepankan upaya Preemtif dan Preventif melalui Virtual Police dan Virtual Alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana Siber.

3. Atas laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana.

4. Penyidik melakukan kominikasi secara langsung dengan korban dan memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk melakukan mediasi.

Dengan adanya Surat Edaran Kapolri ini, diharapkan menjadi panduan bagi penyidik dalam menyelesaikan sengketa tindak pidana ITE yang dilaporkan, sehingga RJ melalui Diversi diantara para pihak yang bersengketa, menjadi penyelesaian yang berkeadilan.

Perhatian ;

Berita ini di terbitkan hanya dijadikan sebuah Opini Hukum untuk pembelajaran/ pengkajian ulang terkait dugaan pasal Karet tentang Hukum Pidana ITE, semoga bermanfaat dan dijadikan sebagai perhatian dalam merumuskan permasalahan khususnya bagi penyidik institusi Polri.

(Red)

Komentar

Tinggalkan Balasan