Pati – Cakranusantara.net | Forum group discusion nasional (FGDN) Pati bersatu dengan tema “Lestarikan pegunungan selatan (Gunung Kendeng) dan utara Jawa, menuju kelestarian fungsi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat” di ruang Penjawi Setda Pati.
Dalam kesempatan itu, Penjabat (Pj) Bupati Pati Henggar Budi Anggoro menyampaikan, bahwa forum discusion ini sangat dapat memberikan sumbangsih tentang isu permasalahan rusaknya pegunungan Kendeng.
Walaupun secara konverensif, gundulnya hutan itu menyebabkan bencana banjir. Hal itu disebabkan lantaran, fungsi hutan banyak yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Lahan-lahan yang sekarang menjadi lahan tanaman musiman, artinya tanaman keras yang seharusnya dapat menjadi sumur serapan, sehingga air mengalir ke wilayah cekungan,” ucap Henggar. Rabu (21/12/22).
Artinya kami tidak tinggal diam, kami butuh masukkan dari teman teman akademisi, dari kementrian dan dari para pelaku terkait, kami butuh masukan yang bisa membangun demi Pati menjadi lebih baik,” ujarnya.
Untuk itu, memasuki acara utama FDGN Pati Bersatu yang dipimpin oleh Asmuri selaku moderatot (memandu acara forum discusion) pada pagi ini.
“Irwan Edhi Kuncoro dari dirjen energi sumber daya dan mineral jawa tengah sebagai narasumber bahwa diskusi hari ini adalah untuk mencari solusi terbaik. Kewenangan ESDM ataupun dari dirjen kehutanan dapat memberikan solusi masing masing sesuai dengan kewenangannya,” terangnya.
Narasumber kedua Arif dari ESDM jawa tengah menyampaikan, bahwa wilayah pegunungan Kendeng ada sekitar 8000 hektar. Setelah kejadian banjir bandang itu, bisa menjadi catatan, bahwa hutan ini akan membawa dampak yang baik jika diolah dengan baik.
“Untuk menahan laju erosi. Juga para petani dapat menanam atau mengelola lahan lahan sesuau tanaman yang dapat dioptimalkan,” terangnya.
Saman menambahkan, tentang konsep kehutanan sosial jika mulai tahun 1998 – 2000 hutan mulai habis, dan siapa yang ambil kita juga tidak tahu. Karena pengelolaan hutan bersama masyarakat LMDH.
“Berdasarkan pengelolaan dilapangan, tanaman hutan juga sering hilang. Ada dua mantri hutan yang mengawasi seluas 400 ha ini sangat sulit karena begitu besar wilayahnya,” terangnya.
Dengan demikian, maka pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri (permen) no 39 tahun 2018, konsep tentang pengelolaan wilayah hutan.
“Pengelolaan hutan sosial ini sudah berjalan lama, ada sekitar 1,1 juta ha yang sudah dilepas oleh negara untuk dilelola oleh perhutani,” lanjutnya.
Dan yang sudah kami lakukan adalah tumpangsari dengan berbagai tanaman yang ada, seperti ; Pete, Mangga, Alpukat dan tanaman sejenisnya.
“Selama 35 tahun melalui kementrian bahwa pengelolaan ini harus dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat tentang Kelompok Tani Hutan (KTH),” tuturnya.
Jika selama ini ada gonjang ganjing, tentang pungli silahkan tangkap, dan adili sesuai dengan hukum yang berlaku. Yang ada konsep hutan sosial ini untuk penghijauan kembali, dan tidak pungli dari regulasi atau aturan tersebut.
Kenapa tiba tiba di Pati ada penebangan membabi buta, isu ini yang harus kita tepis. Dengan 1,1 juta ha ayo kita kelola bersama untuk memakmurkan masyarakat hutan dan penghijauan kembali,” tegasnya.
Ir. Soekarno dari DRPD Pati komisi B mengatakan, kembalikan ekositem yang ada sehingga dapat beralih fungsi kembali sesuai dengan fungsi hutan yang sudah ada, dan kita butuh 40 tahun untuk mengembalikan fungsi hutan kembali normal,” katanya.
Regulasi permen no 5 tahun 2021 tapi selanjutnya keluar perpres no 55 tahun 2022 yang sekarang pengelolaannya ada diwilayah provinsi. Pertanyaan, apakah sudah lestari, apakah sudah sejahtera kawasan karas gunung kendeng.
“Banyaknya penambang atau galian C yang masih beraktifitas hingga saat ini. Adapun aktivitas yang dilakukan CV. Lestari mengakibatkan alih fungsi dan drainase hingga menyebabkan kerusakan yang cukup siknifikan,” tuturnya.
Peserta audiensi H. Mohtadi warga Desa Tayu Kulon menyatakan, jika sangat sering mobil Dum Truk bahkan hapir ratusan mobil setiap harinya. Penambangan merajelela dan sangatlah meresahkan warga masyarakat yang terdampak.
Apa bedanya tanaman karet, selain tanaman tersebut kenapa langsung hilang, karena selama ini karet tidak ada yang menebang, tapi langsung dilakukan normalisasi,” tanyanya.
Sukrisno warga Duren Sawit Kayen juga menyampaikan, bahwa Saman harus ke Kendeng dan KTH harus bisa duduk bersama, dan kami sudah melakukan sabuk kendeng dengan tanaman nanas madu, sekali tanam untuk selamanya.
“Kapulaga ataupun serai juga bisa menjadi alternatif tanaman keras, untuk dapat menyerap air dan dapat menahan laju air,” tandasnya.
Ali S warga sukolilo juga mengatakan, pengiat lingkungan bahwa kerusakan Gunung Kendeng hanya sebatas wacana saja tanpa adanya solusi terbaik. Disitu ada oknum Aparat Penegak Hukum (APH) yang melakukan penebangan, namun tidak lewat KTH, akan tetapi dijual kepada masyarakat dan kami ada buktinya.
“Artinya kami minta tindak tegas para oknum tersebut, berapa kerugian kami (warga) yang terkena dampaknya. Dan juga satu hal penambangan liar yang merusak alam kami, kenapa penambangan diijinkan dekat pemukiman, sumber mata air, bahkan dekat dengan cagar budaya. Ini tidak sebanding dengan dampak kerugian yang ada selama ini,” cetusnya.
Baca Juga : Pungli, KTH “Tani Makmur” Maitan Capai Milyaran Rupiah Raib
Ruslan juga turut menyikapi hal itu, ada beberapa hal yang sudah merjadi perbincangan, sejak tahun 2017 IPHPS ada beberapa kontroversi sampai sekarang. Namun SK sejak 35 tahun masih dipertanyaan oleh warga hingga sekarang.
“Munculnya KHDPK menjadi tidak logis, karena terjadi iuran atau pungli terhadap masyarakat (KTH), jika dihitung, dengan luas 436 ha x 3 Juta rupiah maka jumlahnya mencapai 1,3 milyar rupiah,” tegas Ruslan.
(*/Red)
Komentar