oleh

Tepatkah Penggunaan APBD Untuk Pembangunan Gedung Kejati dan Kejari

Jakarta – Cakranusantara.net | Dalam Pasal 1 angka 14 Permendagri No.14 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Permendagri No.32 Tahun 2011 tentang pemberian hibah, dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD, apakah ini sudah tepat atau tidak, untuk membantu pembangunan gedung aparat penegak hukum (APH). Harus dipertimbangkan dari azas manfaat bagi masyarakat setempat, dan ada persetujuan DPRD serta dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) yang disetujui Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Karena hibah dari Pemerintah daerah (Pemda) khususnya Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) harus bersifat tidak wajib, tidak mengikat, dan tidak terus menerus, kontinyu, atau jamak karena ada kaitannya menunjang penyelenggaraan urusan Pemda.

Dalam pasal 4 Permendagri No.13 tahun 2018 tentang perubahan ketiga atas Permendagri No.32 Tahun 2011 dalam hal pemda dapat memberikan hibah. Badan, Lembaga, atau Organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum dengan memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib, dan belanja urusan pilihan dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat masyarakat.

Sesuai pasal 6 ayat (1) Permendagri No.123 tahun 2018 tentang perubahan keempat atas Permendagri No.32 tahun 2011 hibah harus dituangkan dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) sesuai peraturan presiden No.54 tahun 2010, dimana penggunaan hibah dalam bentuk proyek pengadaan barang dan jasa, dimana proyek penggunaan APBD untuk pengadaan barang dan jasa harus melalui tender terbuka, transparan, dan kompetitif.

Ketua Komisi D, DPRD Provinsi DKI Jakarta Ida Mahmudah menyetujui pengajuan dana hibah oleh SKPD (Satuan Kerja Pemda) ke lembaga kejaksaan agung, untuk konsultasi dan kontruksi awal pembangunan renovasi total untuk kejaksaan tinggi DKI Jakarta sebesar 30.2 miliar rupiah, atas usulan SKPD Cipta Karya, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Pemprov DKI Jakarta pada (1/11/2021) lalu.

Ternyata pola ini, Pemda membantu membangun gedung Kejaksaan dengan menggunakan APBD itu sudah biasa di Indonesia, dan bisa mengikat bagi kedua belah pihak, dimana kejaksaan butuh biaya pembangunan renovasi kantornya. Sedangkan, Pemda sebagai “uang bantuan operasional” saja bisa berdampak, kejaksaan tidak bersifat obyektif dalam penegakan hukum bila ada bermasalahan hukum, baik di lingkungan Pemda maupun DPRD DKI Jakarta, atau Pemda menjadi “obyek balas budi“.

Dalam penegakan hukum, seperti biasa semua Proyek pembangunan Infrastuktur, pasti ada pengawas khusus dari pihak APH, baik dari kejaksaan maupun kepolisian, selain diaudit BPK maupun Inspektorat. Nanti pasti ada “perlindungan khusus balas budi” dari kejaksaan, karena ikut serta dalam membangun renovasi kantornya. Pola ini, juga bisa terjadi di tempat lain, antara lain :

1. APBD Pemprov Jawa Barat tahun 2020-2021 untuk pembangunan Kejati sebesar 126 miliar rupiah.

2. APBD Pemda Kabupaten Bangka untuk Pembangunan Kejari sebesar 8,3 miliar rupiah.

3. APBD Pemprov Kalimantan Tengah untuk pembangunan Kejati sebesar 55 miliar rupiah yang diusulkan SKPD DPUPR.

4. APBD Pemprov Riau untuk pembangunan Kejati sebesar 37.888 milyar rupiah yang diusulkan SKPD DPUPR.

5. APBD Pemprov Jawa Tengah untuk pembangunan Kejati dengan nilai pagu 5.857 milyar rupiah atas usulan SKPD Bina Marga, dan Cipta Karya, DPUPR Pemprov.

6. APBD Kota Pontianak untuk pembangunan Kejaksaan Negeri Pontianak sebesar Rp 20.280.000.000,00

7. Surat Kajati Banten, permohonan dana bantuan kepada Gubernurnya, untuk pembangunan renovasi kantor Kejati sebesar Rp 55.965 milyar.

8. APBD Kota Cilegon juga digunakan untuk kantor baru Kejari.

Dalam UU kejaksaan No.11 tahun 2021 tentang perubahan UU No.16 tahun 2004 tidak ada aturan darimana dana pembangunan kejaksaan di tingkat Provinsi, Kota/Kabupaten. Dalam UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan negara dalam Pasal 16 hingga 20 pengunaan APBD harus berdasarkan Perda atas persetujuan DPRD. UU No.6 tahun 2021 tentang APBN, tahun 2022 dalam penjelasan lampirannya kita temukan anggaran kejaksaan agung hanya mendapat 24,567 triliun rupiah dan APBD perubahan tahun 2022, ada tambahan 9,6 triliun rupiah.

Sedangkan anggaran tahun 2023 ada penambahan 1,264 triliun rupiah. Untuk renovasi kantor Kejagung yang terbakar, tahun 2023 dianggarkan dari APBN sebesar 549,6 miliar rupiah.

APBD Provinsi DKI Jakarta, untuk membantu pembangunan kantor kejaksaan tinggi DKI Jakarta berdasarkan Pasal 312 ayat (1) UU No.23 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana Cipta Karya DPUPR Pemprov DKI Jakarta tertulis di item, biaya anggaran konsultasi manajemen dan konstruksi pembangunan Gedung Kantor Kejati dianggarkan nilai pagu Rp 4.279 milyar, dan nilai HPS Rp 4.229 milyar, dengan tender terbuka diikuti oleh 17 perusahaan dalam bentuk PT, baik BUMN maupun BUMD dan CV yang memenuhi persyaratan, dan ditentukan oleh pimpinan lroyek pengadaan barang dan jasa, dimana ditentukan pemenang proyek PT Amarta Karya (Persero) sebesar Rp 208.788 milyar dengan jangka waktu pengerjaan 394 hari. Dan proyek sarana pendukung gedung baru Kejati dimenangkan oleh PT Binacitra Teknologi Indonesia sebesar Rp 56.964 milyar, dimana jumlah keseluruhan hampir 212 miliar rupiah.

Jadi secara etika, mengapa pembangunan kantor APH, semuanya menjadi tanggungan Pemda atau Negara?. Menurut Kurnia, seharusnya Pemda hanya bersifat membantu, tidak secara keseluruhan, mungkin hanya menyediakan lahan tempat, atau membantu penyediaan sarana peralatan dan kelengkapan kantor seperti bantuan furniture atau bantuan akses sarana manufaktur.

Negara dan kelembagaan yang bertanggung jawab membangun, baik dari APBN maupun bantuan dari Luar Negeri yang tidak bersifat mengikat, dan tidak mempunyai kepentingan. Tetapi anggaran Kejagung dalam hal ini masih kurang, untuk membangun, maupun renovasi. Sedangkan, Pemda sendiri masih banyak infrastruktur, seperti perbaikan jalan, jembatan, maupun renovasi sarana umum seperti kantor dinas serta pendidikan, seperti sekolah, puskesmas, pasar maupun bantuan sosial untuk masyarakat.

Masih banyak Pemda tidak punya PAD dan masih tergantung APBD dari bantuan APBN, baik dalam bentuk DAK maupun bantuan pemerintah pusat. Anggaran belanja dan gaji honor pegawai Pemda sendiri hampir melebihi anggaran, untuk pembangunan, dana pendidikan dan kesehatan masyarakat. Tapi hukum dan keadilan masyarakat juga harus diutamakan agar menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan tidak dipengaruhi oleh Oligarki,” hal itu diungkapkan oleh Dr Kurnia Zakaria selaku pakar hukum dan juga dosen di Universitas Indonesia, Minggu (9/4/2023).

(Rmn)

Komentar

Tinggalkan Balasan