HAP – Cakranusantara.net | Untuk membicarakan atau menggambarkan hukum acara pidana (tertulis) di zaman dahulu sebelum berlakunya hukum acara pidana (disingkat KUHAP) atau sebelum Belanda menjajah Indonesia, adalah merupakan suatu hal yang sangat sulit, sebab pada waktu itu yang berlaku adalah hukum adat atau hukum tidak tertulis.
Hukum adat adalah merupakan pencerminan hukum yang terpencar
dari jiwabangsa Indonesia dari abad ke abad, yang hidup dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat digambarkan secara singkat yaitu apabila di antara mereka dalam masyarakat itu timbul suatu
perselisihan, baik perkara pidana maupun perkara perdata, maka dalam
penyelesaian perkara ini akan diajukan kepada penguasa (pemerintah),
dan pemerintah inilah yang nantinya akan mengambil keputusan yang
harus diturutinya.
Dalam hal ini adalah Kepala Desa atau kepala suku yang mengambil peranan penting, sebab semua perkara yang timbul antara penduduk desa dipecahkan atau diselesaikan sendiri dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh kepala desa atau Kepala Suku. Dan pada saat itu belum ada pengertian tentang pemisahan antara
perkara pidana dan perkara perdata, jadi anggapan mereka bahwa perselisihan utang piutang atau jual beli tanah adalah sama dengan perkara pencurian, pembunuhan dan lain sebagainya, yang kesemuanya akan diadili dan diputus oleh penguasa.
Hukum adat delik yang terhimpun dalam ”Pandecten van het Sdatrecht” bagian X yang dikutip oleh Soepomo menyebutkan berbagai bentuk sanksi adat terhadap pelanggaran hukum adat sebagai berikut :
(1) Pengganti kerugian ”immaterieel” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikah gadis yang telah dicemarkan.
(2) Bayaran ”uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
(3) Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
(4) Penutup malu.
(5) Berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
(6) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum.
Moh. Said Dirjokoesoemo dalam bukunya yang berjudul ”Petunjuk Praktis tentang Pengusutan dan Pemeriksaan Perkara Pidana” hlm. 13 dan 16, yang telah memberikan gambaran tentang acara pidana pada waktu itu (masa berlakunya hukum adat), dengan gambaran sebagai berikut :
a. waktu itu tidak ada perbedaan antara perkara pidana dan perkara perdata;
b. semua perkara penduduk suatu desa sedapat mungkin diselesaikan dengan perdamaian oleh desa sendiridengan pimpinan kepala desa ;
c. perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh desa, baru dimintakan peradilan kepada suatu hakim ;
d. dalam penyelesaian di muka hakim harus ada penggugat dan yang digugat;
e. dalam suatu perkara pada umumnya penggugat yang harus membuktikan kesalahan tergugat;
f. cara hakim memutus perkara didasarkan atas rasa keadilan, jika
dari pemeriksaan perkara tidak dapat diambil kepastian, hakim biasa memberi keputusan yang sifatnya memberi kepuasan kepada kedua belah pihak, dan
g. perkataan ”jaksa” adalah perkataan Jawa asli, rupa-rupanya sebelum
Belanda menjajah kita, jabatan jaksa itu sudah ada, akan tetapi apabila Jaksa itu adalah pegawai penuntut umum, tidak demikian dulu-dulunya. Sampai kini kiranya masih terdengar ucapan-ucapan
di kalangan orang tua dan rakyat, bahwa Jaksa adalah pemutus perkara; jadi Jaksa adalah hakim.
Selain itu masih banyak bentuk-bentuk lain berlakunya hukum adat delik, antara lain di Sulawesi Selatan (Wajo) dahulu dikenal pidana adat yang bersifat mempermalukan atau menghina pelanggar adat di muka umum, ini disebut ”ri ule bawi” (dipikul seperti babi). Si pelaku diikat kedua kaki dan tangannya, kemudian dengan sebilah bambu diselipkan antara dua kaki dan kedua tangan yang terikat itu, lalu dipikul oleh dua orang dibawa ke rumah penguasa adat, dan sepanjang jalan sampai pada rumah penguasa adat disaksikan oleh anggota masyarkat hukum tersebut.
Berlakunya Hukum Acara Pidana (Tertulis)
1. Zaman Pendudukan Penjajahan Belanda sebelum negeri Belanda merdeka dari jajahan Prancis, maka berlakulah hukum pidana Prancis yang disebut “Code Penal”, namun setelah
merdeka maka Belanda segera membuat atau menyusun sendiri Kitab
Undang-undang Hukum Pidananya yang disebut “Nederlandsch Wetboek
van Strafrecht”, maka Indonesia (Hindia Belanda) sebagai negara jajahan
Belanda berdasarkan asas konkordansi dalam hukum pidana, yaitu ”dimana sedapat mungkin hukum pidana yang berlaku di Indonesia sesuai dengan hukum pidana yang berlaku di negeri Belanda”.
Karena di Indonesia warganya terdiri dari berbagai golongan, maka
bagi tiap-tiap golongan penduduk Indonesia dibuat Kitab Undangundang Hukum Pidana sendiri, sebagai berikut:
a. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan “Koninklijk Besluit” 10 Fabruari 1866, yang berisi hanya meliputi kejahatan-kejahatan saja.
b. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, untuk golongan penduduk Indonesia dan Timur, ditetapkan dengan ”Ordonantie” tanggal 6 Mei 1872, hanya berisi kejahatan saja.
c. Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan “Ordonantie”, tanggal 15 Juni 1872, berisi hanya pelanggaran-pelanggaran saja.
d. Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan penduduk Indonesia dan Timur, ditetapkan dengan “Ordonantie” tanggal 15 Juni 1872, yang hanya berisi pelanggaran-pelanggaran saja.
Sedangkan bidang hukum acara pidana, maka diberlakukan sebagai berikut:
a. Reglement op de Rechtterlijke Organisatie (Stbl. 1848 No. 57), yang memuat ketetapan-ketetapan mengenai organisasi dan susunan peradilan (justitie) di Indonesia.
b. Reglement op de burgerlijke Rechtvordering (Stbl. 1849 No. 63), yang memuat hukum acara perdata bagi golongan penduduk Eropa dan yang disamakan dengan mereka.
c. Reglement op de Strafvordering (Stbl. 1849 No. 63), yang memuat hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan yang disamakan dengan mereka.
d. Landgerechtsreglement (Stbl. 1914 No. 317), yang memuat acara dimuka pengadilan Landgerecht yang memutus perkara-perkara kecil untuk segala bangsa, dan yang terpenting.
e. Inlandsch Reglement, yang biasa disingkat IR (Stbl. 1848 No.16), yang memuat hukum acara perdata dan hukum acara pidana dimuka pengadilan ”Landraad” bagi golongan penduduk Indonesia dan Timur Asing, hanya berlaku di Jawa dan Madura yang ditetapkan berdasarkan Pengumuman Gubernur Jenderal Tanggal 3 Desember 1847 Stbld Nomor; 57, maka mulai tanggal 1 Mei 1848 berlakulah ”Indlands Reglement” atau disingkat I.R. atau lengkapnya ”Reglement op de uitoefening van de politie, deBurgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen of Java en Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura yang berlaku adalah ”Rechtsreglement voor deBuitengewesten” (Stbld. 1927 Nomor: 227).
Berdasarkan beberapa kali perubahan-perubahan IR tersebut, maka dengan Stbld 1941 Nomor: 44 diumumkan kembali IR dengan perubahan menjadi “Herzien Inlandsch Reglement” atau disingkat HIR Namun demikian, dalam praktiknya kedua-duanya masih tetap diberlakukan, yaitu IR masih tetap berlaku di Jawa dan Madura, sedangkan HIR berlaku di kota-kota lainnya, seperti Jakarta (Batavia), Bandung, Semarang, Surabaya, malang dan lain-lain.
Disamping berlaku IR dan HIR, masih banyak berlaku bermacammacam hukum acara di luar Jawa dan Madura, maka akhirnya disatukan dalam bentuk ”Rechtsreglementvoorde Buitengewesten” Stbld. 1927 Nomor: 227, mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1927.
Untuk golongan Eropa berlaku ”Reglement opde Strafvordering dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Reglement Hukum Acara Pidana dan Reglement Hukum Acara Perdata). Di samping itu, masih ada Landgerechts-reglement Stbld. 1914 Nomor : 137 sebagai hukum acara untuk pengadilan Landgerecht yaitu pengadilan untuk semua golongan penduduk yang memutus perkara yang kecil-kecil. Selain itu masih banyak pengadilan-pengadilan lain, seperti districhtsgerecht, regentschapsgerecht, dan di luar Jawa dan Madura terdapatmagistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara perdata yang kecil-kecil.
2. Zaman Pendudukan Penjajahan Jepang pada saat pendudukan Jepang di Indonesia pada umumnya tidak terjadi perubahan asasi, kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan undang-undang (Osamu Serei) Nomor: 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942, dikeluarkanlah aturan peralihan di Jawa dan Madura yang berbunyi: ”Semua badanbadan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dan pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer (Pasal 3)”.
Demikian pula di luar Jawa dan Madura pun pemerintahan militer Jepang mengeluarkan peraturan yang sama dan senada. Termasuk pula IR dan HIR tetap berlaku di Pengadilan Negeri (TihooHooin), pengadilan tinggi (Kootoo Hooin) dan pengadilan agung (Saikoo Hooin). susunan pengadilan ini diatur dengan Osamu Serei Nomor: 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.
Pada waktu itu semua golongan penduduk, kecuali bangsa Jepang, di
Indonesia hanya terdapat dua pengadilan, yaitu ”TihoHooin”dan”Keizai
Hooin”, yang merupakan kelanjutan dari pengadilan pada waktu penjajahan
Belanda ”Landraad” dan “Landgerecht” dan yang dipergunakan adalah
”Herzien Inlandsch Reglement” dan Landgerechts-reglement.
3. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 pada saat Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agusutus 1945, keadaan tersebut diatas masikeadaan dipertahankan dengan ditetapkannya UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara RI pada tanggal 18
Agustus 1945, di mana pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi ”Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Untuk memperkuat aturan peralihan ini, maka Presiden mengeluarkan suatu aturan pada tanggal 10 Oktober 1945
yaitu Peraturan Nomor: 2 tahun 1945.
Maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, dengan ”Herzien Inlandsch Reglement” dan Landgerechtsreglement tetap
diberlakukan, maka pada tahun 1951 dikeluarkanlah Undang-Undang
(Drt) No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan dalam Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil di Indonesia, maka telah diadakan
unifikasi hukum acara pidana dan susunan pengadilan yang beraneka
ragam sebelumnya. Kemudian lahirlah beberapa peraturan perundan-gundangan hukum acara pidana dengan aturan-aturan yang lebih khusus.
Berdasarkan Undang-undang (drt) No. 1 Tahun 1951 tersebut, terbentuk pengadilan yang berlaku di seluruh Indonesia dan untuk semua golongan penduduk, yaitu :
1. Pengadilan Negeri untuk pemeriksaan tingkat pertama;
2. Pengadilan Tinggi untuk pemeriksaan tingkat kedua atau banding; dan
3. Mahkamah Agung untuk pemeriksaan tingkat kasasi.
Di dalam Pasal 6 Undang-Undang (drt) No. 1 Tahun 1951 menetapkan, bahwa ”untuk seluruh Indonesia berlaku sebagai pedoman untuk acara perkara pidana di Pengadilan Negeri berlaku ”HerzienInlandsch Reglement” (HIR), kemudian pada tahun 1965 dibuatlah Undang-Undang No. 19 Tahun 1946 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Di dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1946 kekuasaan presiden sangat besar mencampuri urusan peradilan, sehingga kekuasaan negara yang merdeka untuk penegakan hukum dan keadilan tidak akan tercapai, maka pada tahun 1970 dibuatlah Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang RI No. 19 Tahun 1946.
Di dalam Pasal 12 Undang-undang RI No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi, bahwa ”hukum acara pidana akan diatur dalam undang-undang tersendiri”, maka pada tahun 1981 yaitu tepatnya pada tanggal 31 Desember 1981 telah lahirlah Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Nagara No. 3209). (Red)
Komentar