oleh

Tipiter: Pendapat Pakar Hukum Terkait Kasus Pembunuhan Brigadir J

Jakarta – Cakranusantara.net | Kasus Pembunuhan yang dilakukan oleh Tersangka Sambo, memunculkan pertanyaan di kalangan mahasiswa, apakah mungkin tersangka Sambo nantinya dapat bebas berdasarkan ketentuan pasal 49 ayat (1) dan (2) KUHP dikaitkan dengan dugaan Pelecehan seksual yang dilakukan oleh Josua (J) alm.

Pembelaan darurat atau Nodweer yang diatur dalam pasal 49 KUHP, dikenal dengan Alasan pembenar, harus memenuhi syarat tertentu yaitu:

1. Pembelaan diri dilakukan harus pada saat datang serangan dari pelaku, saat itulah dilakukan pembelaan diri dari sikorban seperti menghalau, menepis, menendang atau memukul pelaku saat serangan itu dilakukan.

Tidak boleh pembelaan diri pasal 49 KUHP ini dilakukan setelah serangan selesai dilakukan, sekalipun jaraknya singkat dari saat serangan dilakukan. Tujuannya adalah untuk menghindarkan pembalasan atau balas dendam dari korban karena merasa dilindungi oleh pasal 49 KUHP. Sebab pembalasan oleh korban bisa saja lebih besar atau berat dari serangan yang dilakukan oleh pelaku, yang disebut dengan Eigen Righting atau main hakim sendiri.

Contoh kasus Yupe alm dengan Depe yang masing-masing pihak mendalilkan dirinya membela diri tapi oleh penyidik menetapkan kedua pihak sama-sama menjadi tersangka penganiayaan.

Dalam kasus Sambo, syarat diatas tidak dipenuhi, karena pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh J sudah berlangsung beberapa hari sebelumnya yaitu TKP nya di Magelang kemudian berobah di Jakarta. Pembelaan diri ini dilakukan mestinya harus saat pelecehan seksual terjadi. Dan harus dapat dibuktikan adanya pelecehan seksual tersebut.

2. Pembelaan yang dilakukan harus seimbang dengan serangan yang datang. Jika serangan hanya datang untuk menganiaya maka pembelaan harus berupa perlawanan yang berakibat luka bagi si pelaku, tidak boleh mengakibatkan kematian, kecuali jika serangan itu dilakukan untuk membunuh si korban.

3. Alat yang digunakan untuk membela diri harus seimbang. Jika serangan dilakukan dengan tangan kosong maka pembelaan diri harus tangan kosong atau jika dilakukan dengan senjata tajam boleh membela diri dengan menggunakan senjata api yang ada ijinnya, karena kedua senjata tersebut sama-sama mematikan.

4. Pembelaan diri dilakukan dalam kondisi darurat, tidak ada jalan keluar untuk menghindar atau melarikan diri sehingga terpaksa membela diri.

2. Penerapan pasal 340 KUHP.

Dengan demikian dalam kasus pembunuhan ini, Sambo tidak bisa lolos dari pasal pembunuhan pasal 340 tentang Pembunuhan berencana atau pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dengan sengaja, hanya dengan alasan bahwa tersangka melakukan pembunuhan karena pembelaan darurat yang diatur dalam pasal 49 KUHP.

Tetapi bukan tidak mungkin Tersangka Sambo bisa lolos dari Pembunuhan berencana yang diancam dengan pidana mati, jika unsur rencana tidak dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan. Bisa saja konstruksi hukum yang dibangun oleh Pengacara Sambo, menjadikan pelecehan seksual menjadi motif pembunuhan yang timbul seketika setelah mendengar telepon dari PC (istrinya), dan KM kontak Bripka RR, sesampainya di Jakarta dari perjalanan Magelang tentang adanya pelecehan seksual yang dilakukan oleh J di Magelang atau Jakarta, informasi ini membuat Tersangka tergoncang jiwanya, lalu muncul niat Tersangka untuk membunuh J dengan memerintahkan bharada RE untuk menembak J, dan menyatakan pembunuhan yang dilakukan oleh kliennya adalah Pembunuhan dengan sengaja, agar terhindar dari ancaman pidana mati. Itu lah sebabnya, motif perlu di buktikan dalam Pembunuhan Berencana, untuk memperkuat dan menentukan kapan sesungguhnya timbul Niat pelaku, tentu niat ini timbul setelah ada motif yang mendorongnya. Karenanya harus di ketahui apa motif pelaku yang mendorong niat melakukan pembunuhan berencana, meskipun sebahagian ahli berpendapat bahwa Motif bukanlah unsur dari pasal Pembunuhan berencana, karena itu tidak perlu dibuktikan apa motif pelaku.

Yang dimaksud dengan Unsur didahului dengan rencana dalam pasal 340 KUHP, harus memenuhi syarat tertentu sehingga pembunuhan dapat disebut sebagai pembunuhan berencana.

Pertanyaan lainnya adalah Apakah Penghinaan harkat dan martabat bisa di ajukan sebagai alasan pembenar dalam kasus pembunuhan oleh Tersangka Sambo. Dalam KUHP maupun UU ITE, tidak ada istilah penghinaan harkat dan martabat, jadi tidak ada batasan apa itu penghinaan harkat.

Yang ada adalah Penghinaan pasal 310, dan Pemfitnahan pasal 311 KUHP serta pasal 313 KUHP tentang Pencemaran nama baik. Pada dasarnya Penghinaan dan lainnya adalah penyerangan terhadap nama baik atau kehormatan seseorang atau lebih, agar masyarakat mengetahui aib, kelakuan jelek dari orang yang dihina agar orang menjauhkan diri dari orang tersebut.

Penghinaan ini dianggap sebagai tindak pidana ringan karena ancaman pidananya ringan yaitu kurang dari satu tahun, karenanya putusan Hakim atas kasus penghinaan hanya pidana percobaan saja.

Jika Tersangka Sambo menggunakan pelecehan seksual sebagai alasan atau motif melakukan pembunuhan pada J adalah sah-sah saja, tapi bukan sebagai alasan pembenaran atas tindakan pembunuhan tersebut, namun dapat menjadi pertimbangan meringankan bagi hakim jika pelecehan seksual tersebut dapat dibuktikan, bahkan tindak pidana yang dilakukan dapat mengarah pada Pembunuhan dengan sengaja bukan pembunuhan berencana.

Jika hal ini terjadi maka alasan pembunuhan berupa pelecehan seksual yang sudah dapat dibuktikan dalam persidangan maka hukuman yang di jatuhkan bisa lebih ringan. Jika pembunuhan sengaja pasal 338 KUHP ancamannya 15 tahun, putusan pidana yang di jatuhkan hakim bisa saja selama 12 – 13 tahun.

Atau sebaliknya jika yang terbukti adalah Tindak pidana Pembunuhan Berencana pasal 340 KUHP, ancaman Pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun penjara. Hakim akan memilih, hukuman mana dari ancaman tersebut yang dijatuhkan sesuai dengan keyakinannya bahwa hukuman yang di jatuhkan sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Menurut saya yang di jatuhkan adalah pidana penjara 20 tahun, dan berita atau info pelecehan seksual yang mendorong tersangka melakukan pembunuhan dapat menjadi hal meringankan sehingga bukan tidak mungkin, putusan Hakim menjadi 18 tahun sampai dengan 20 tahun penjara. Meskipun berita yang disampaikan oleh PC dan KM tentang pelecehan seksual tersebut adalah tidak benar atau bohong semata, tetapi faktanya berita tersebut sudah terlanjur membuat tersangka marah dan berniat membunuh J.

Oleh sebab itu mereka yang memprovokasi dengan berita bohong yaitu PC dan KM harus di pertanggungjawabkan atas perbuatannya yang sudah memprovokasi tersangka dengan pasal 220 KUHP, termasuk pasal-pasal lain yang sudah di persangkakan.

Apalagi jika digunakan teori Qonditio sine quanon dari Von Buri, bahwa semua faktor adalah sebab untuk timbulnya akibat. Maka faktor yang adequat adalah telepon atau laporan tentang pelecehan seksual, yang sudah dibantah oleh Polres Jaksel yang menyatakan, tidak ada peristiwa pidana dalam laporan tersebut sehingga dihentikan penyidikannya.

Karena itu, laporan palsu ini, harus dipertanggungjawabkan sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri.

Dengan adanya bukti provokasi bohong pelecehan seksual ini menjadi petunjuk kapan mulai timbul Niat/ mens rea tersangka untuk melakukan Pembunuhan.

Sebab untuk adanya pembunuhan berencana harus jelas pembuktian dari apa motifnya?. Kapan timbul Niat/ mensrea yang disebabkan oleh motif tersebut?. Dan kapan dilakukan perbuatan/ Actus rea?. Serta kapan timbulnya akibat kematian bagi korban terakhir?. apakah kematian korban sebagai akibat langsung dari Perbuatan pelaku?.

Jika diurut syarat ini dengan hasil Rekonstruksi ke dua maka diperoleh fakta;

1. Tersangka baru mendengar kabar adanya pelecehan seksual yang dilakukan oleh J di rumah dinas Jakarta melalui kontak telepon PC dan KM. Bukan diperoleh saat berada di Magelang. Beda halnya jika informasi pelecehan seksual ini diperoleh ketika tersangka masih berada di Magelang, maka kemungkinan niat membunuh sudah timbul sejak di Magelang. Maka tenggang waktu di Magelang dengan pelaksanaan eksekusi di jakarta sudah dapat menggambarkan adanya tenggang waktu yang cukup untuk berpikir dengan tenang meneruskan atau membatalkan niat pembunuhan tersebut, sehingga unsur berencana terlihat dipenuhi.

2. Tapi yang terjadi dari hasil Rekonstruksi kedua adalah Tersangka Sambo emosi berat dan pulang ke rumah dinas di Jakarta setelah mendapat telepon dari PC dan MK bahwa J telah melakukan pelecehan seksual terhadap PC di rumah dinas jakarta. Mendengar informasi tersebut tersangka mengumpulkan Brigadir RR, Bharada RE, dan MK, menjelaskan niatnya untuk membunuh J dengan cara menembak, dan memanggil J kelantai dua, serta memerintahkan RR, RE dan MK, untuk bunuh J yang di ralat oleh pengacaranya, hanya memberi perintah Hajar bukan menembak J.

3. Berikutnya tersangka menembaki dinding agar tampak seperti tembak menembak. “Jika perintahnya adalah Hajar, kenapa mesti repot menembaki dinding tembok, agar tampak yang terjadi seperti tembak menembak. Tapi dalam KUHAP. Pengakuan atau keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang paling lemah kedudukannya.

5. Menurut saya, tidak ada tenggang waktu yang cukup antara timbulnya niat membunuh “yang lahir dari motif pelecehan seksual” dengan pelaksanaan niat tersebut atau perbuatan eksekusi. Niat tersangka (tsk) untuk membunuh, baru timbul setelah PC dan MK mengkontak Tsk bahwa J melakukan pelecehan seksual, di rumah dinas Jakarta, dan membuat Tsk, emosi hebat dan menyiapkan pistol yang digunakan saat itu, dan memerintahkan untuk menembak.

4. Perbuatan Rencana dalam pasal 340 KUHP, dengan ancaman pidana mati, mensyaratkan adanya tenggang waktu yang cukup antara timbulnya niat membunuh dengan pelaksanaan eksekusi membunuh. Tenggang waktu yang cukup tersebut tidak dirumuskan batasannya dalam KUHP, hanya disebut adanya waktu untuk berpikir dengan tenang bagi pelakunya, dan berpikir atau menimbang apakah ia akan terus melaksanakan niatnya membunuh, dan mengetahui apa akibat dari perbuatannya baik bagi korban dan keluarganya maupun bagi dirinya sendiri dan keluarganya.

Tetapi waktu yang cukup itu tidak digunakan untuk membatalkan niatnya, tetapi niatnya itu diteruskan bahkan disempurnakan, dengan menyusun suatu rencana, seperti kapan di eksekusi, dimana di eksekusi dicari tempat yang pas, siapa yang mengeksekusi, alat apa yang digunakan untuk eksekusi, dan cara-cara menghilangkan alat bukti dan cara melarikan diri.

5. Dari uraian diatas, tampak bahwa memang perencanaan sepertinya terwujud dalam perbuatan tersangka, hanya saja jarak waktu yang terjadi antara timbulnya niat dan pelaksanaan eksekusi dihari yang sama, terlalu sempit atau singkat untuk mempersiapkan semua perencanaan tersebut, maka perlu kehati-hatian, majelis Hakim dalam mempertimbangkan terbukti tidaknya unsur didahului dengan rencana.

Sebab unsur lain sudah sangat sempurna pembuktian dan alat buktinya. Jika tidak terbukti unsur rencana ini, maka dakwaan Subsider Pembunuhan dengan sengaja yang terbukti atau pembunuhan spontan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana selama 15 tahun.

Maka kita percayakan pada Majelis Hakim yang akan memutus berdasarkan Fakta Hukum dan keyakinannya, dalam menjatuhkan pidana pada tersangka/terdakwa Sambo.

Demikian pendapat pakar hukum dengan mahasiswanya yang membahas terkait kasus pembunuhan J dengan tersangka Sambo. Namun sayangnya tidak punya akses/ link untuk mengajukan diri memberikan pendapat ahli pidana dalam kasus ini.

Gambar animasi Google hanya pelengkap bahan berita

(RN-Red)

Komentar

Tinggalkan Balasan