Sejarah – Cakranusantara.net | Sejak awal kemerdekaan tidak ada perbedaan visi tentang sistem ketatanegaraan Indonesia, antara penganut sistem parlementer dan sistem presidentil.
UUD 1945 yang sudah di sahkan pada 18 Agustus 1945, menjalankan sistem presidentil kabinet. Dimana para menteri adalah membantu presiden, bukan mewakili partainya.
Pada 22 Agustus 1945 sudah dibentuk
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang fungsinya untuk sementara waktu sebagai DPR. Ketuanya Sutan Syahrir pandangan ketatanegaraan kelompok Sutan Syahrir dari PSI (Partai Sosialis
Indo) yang dapat dukungan dari wakil presiden Moh. Hatta melalui maklumat Presiden No. X Tanggal
16 Oktober 1945.
Merubah sistem pemerintah yang presidentil, menjadi pemerintahannya sistem parlementer melalui cara: “sebagai realisasi dari maklumat pemerintahan tersebut kabinet presidentil yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sendiri diganti dengan kabinet ministril sebagai perdana
menteri Ben Andersun dalam bukunya “Revolusi Pemuda” terbitan pustaka “Sinar Harapan” pada tahun 1988, peristiwa X tersebut, adalah “Kudeta Diam-Diam”.
Sebenarnya Bung Karno tahu, apa yang
dilakukan oleh Sutan Syahrir mengenai perebutan kekuasaan itu. Akan tetapi Bung Karno tidak membuat reaksi apa-apa, karena seperti dalam pidato Bung Karno 17 Agustus 1946
“Bahwa dengan pengertian yang sedalam-dalamnya serta keyakinan yang sekuat-kuatnya akan pengertian arti persetujuan bangsa maka pemerintah selalu mempersatukan, menghindarkan perelisihan”.
Saat perundingan Belanda-Indonesia dipimpin Sutan Syahrir 1946 ketua BANIP baru Adam Malik menular perundingan itu, akibatnya PM Sutan Syahrir mengundurkan diri pada 23 Februari 1946.
Tunggu Komando
Sebanarnya pendongkelan terhadap Bung Karno melalui acara gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965 /atau oleh pelakunya (Soeharto-Nasution) menamakan G.30.S/PKI memang dilakukan oleh kekuatan dalam negeri /atau yang disebut Bung Karno oknum-oknum yang tidak benar dengan dukungan kuat dari Amerika Serikat.
Sebenarnya dari segi kekuatan masih lebih besar kekuatan unsur pendukung Bung Karno daripada pendongkelnya. Amir Mahmud yang ditahun 1966 menjabat sebagai panglima Kodam Jaya memberi kesaksian:
“bahwa pada waktu itu di Jakarta, terdapat 40 Batalyon pasukan bersenjata, kalau diadakan perbandingan kekuatan”.
Maka pasukan yang mendukung Presiden Soekarno lebih besar dari pasukan yang mendukung Orde Baru (Orba). Malahan Jendral Hartono, Panglima Korp Komando Operasi/KKO-Marinir menemui Bung Karno, minta izin agar barisan Soekarno diperkenankan membela Bung Karno menghadapi mereka yang menyebut namanya Angkatan 66.
Akan tetapi dengan sangat arif Bung Karno menginstrusikan “tunggu komandoku”. Maka terhindarlah konflik bersanjata antara kekuatan pendukung Bung Karno dengan kelompok Orde Baru dan akibatnya terhindarlah perpecahan bangsa, akhirnya RI masih ada, berarti RI adalah Soekarno.
Bukan tanpa fakta, sejarah Indonesia membuktikan Presiden Soekarno (Bung Karno) masih banyak dipilih/diminati rakyat Indonesia sampai saat ini. Karena Bung Karno sebagai pemimpin Besar Revolusi Indonesia dengan visionernya yang luar biasa dan belum ada tandingannya.
(Red)
Komentar