oleh

Tipiter : Opini Publik Terus Berkembang di Forum Diskusi dan Keadilan

Jakarta – Cakranusantara.net | Opini Publik tampak terus berkembang. Sehingga sangat layak dikaji dan dianalisis oleh para pakar hukum. Terlebih siapa yang harus bertanggungjawab atas Pembunuhan Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau bisa disebut Brigadir J.

Uraian secara umum ;

1. Siapa yang bertanggung jawab atas tindak pidana yang sudah terjadi. jawabnya adalah Pelaku tindak pidana itu sendiri, yaitu pelaku tunggal/ Dader atau Pleger dan turutserta atau Deelneming/ Medeplegtegheid.

Dalam kasus itu pelakunya adalah turut serta atau Delneming. Pada dasarnya turut serta ini ada dua jenis aktor Intelektualnya;

1. Uitlokker (Penganjur) yaitu orang yang menganjurkan untuk melakukan suatu tindak pidana. Siapa yang sianjurkan tentu orang yang dapat dipengaruhinya. Bagaimana cara mempengaruhinya yaitu dengan cara :

a. Menyediakan sarana untuk melakukan tindak pidana.

b. Menyediakan dan memberikan sejumlah uang, barang atau penghapusan hutang agar orang yang turut serta terpengaruh dalam melakukan apa yang dia kehendaki oleh Uitlokkernya/ penganjurnya.

Disebut penganjur terkandung maknanya sama seperti saran, advis, dimana orang yang dianjurkan bebas memilih apakah bersedia melakukan anjuran dari aktor materilnya atau sebaliknya menolak“.

c. Ada kesepakatan tentang (harus dibuktikan adanya kesepakatan penganjur dengan orang yang dianjurkan) tentang Tindak pidana apa yang hendak dilakukan, jika anjuran adalah “Hajar” maka akibatnya berupa luka berat, jika anjurannya “Tembak” maka akibatnya korban mati.

Tanggungjawab penganjur hanya pada akibat luka berat karena anjurannya hanya berupa “hajar”, akan tetapi orang yang dianjurkan (pleger) yang menembak, tanggung jawabnya sampai pada matinya si korban.

d. Kesepakatan tentang cara-cara melarikan diri dan menghilangkan alat bukti untuk menghilangkan jejak pembunuhan.

Syarat ini harus dibuktikan oleh penuntut agar Ferdy Sambo (FS) dapat disebut sebagai Uitlokker (aktor) intelektual dan lainnya sebagai medepleger dalam hal ini ( FS, RR, MK dan Bharada E ) dan dari medepleger ini, ada plegernya yaitu eksekutor yang menyebabkan matinya si korban J.

Dalam kasus ini, Rekonstruksi kedua, tembakan Bharada E, tidak langsung mematikan korban, tapi masih mengerang yang akhirnya FS menembak kepala J yang menyebabkan kematian, ( harus dibuktikan hasil otopsi ). Berarti FS sebagai Aktor Intelektual sekaligus sebagai Pleger. Hukuman bagi aktor intelektual lebih berat dibanding hukuman pada pleger maupun medepleger ( RR, MK dan Bharada E ).

2. Doenpleger atau menyuruh lakukan yaitu orang yang disuruh melakukan tindak pidana, dengan syarat;

a. Suruhan tidak disertai imbalan atau tanpa memberikan sesuatu pada orang yang disuruh.

b. Orang yang disuruh bersedia, atau mau melakukan suruhan adalah murni untuk memenuhi kehendak doenplegernya.

c. Pada Doenpleger terdapat kesenjangan kedudukan atau jabatan sosial, antara orang yang menyuruh dan yang disuruh. Secara gramatikal menyuruh berarti memerintah yang tidak bisa ditolak oleh orang yang disuruh.

Karenanya orang yang disuruh tidak punya mensrea (niat jahat), yang menyuruhlah yang punya mensrea, itu sebabnya orang yang disuruh tidak di hukum, atau tidak pertanggung jawabkan, yang menyuruh yang punya mensrea yang di hukum, tapi pada Uitlokker atau penganjur, baik penganjur maupun yang dianjurkan kedua-duanya dihukum/ dipidana.

d. Mensrea atau niat jahat dari orang yang dianjurkan, pada Uitlokker/ Penganjuran timbul saat orang yang dianjurkan menyetujui anjuran uitlokker, itu sebabnya mensrea dan motif orang yang dianjurkan sama dengan mensrea dan motif dari penganjurnya, sehingga berbeda dengan doenpleger atau menyuruh melakukan. Pada Doenpleger atau menyuruh melakukan tindak pidana, terdapat hal-hal sebagai berikut ;

a. Ketidaktahuannya tentang perbuatan yang disuruh, sebagai tindak pidana atau tidak, karenanya bersedia melakukan suruhan tersebut. ( Atasan menyuruh anak buah mengambil uang dari bank, setelah diambil langsung di OTT sama KPK pada hal tidakntau kalau uang yang diambil adalah uang korupsi ).

b. Tidak mempunyai mensrea dan motif untuk timbulnya tindak pidana, yang memiliki mensrea adalah orang yang menyuruh atau aktor intelektual, karenanya yang disuruh tidak dapat dipidana.

Baca Juga : Tipiter: Pendapat Pakar Hukum Terkait Kasus Pembunuhan Brigadir J

Tipiter, Tindak Pidana Menghilangkan Nyawa Orang

Kesimpulan

1. Dari Uraian-uraian diatas, dihubungkan dengan fakta hukum berupa hasil rekonstruksi kedua dan Berita Acara Pemeriksaan Perkara (BAP), tampaknya Bharada E tidak masuk kualifikasi sebagai turut serta dalam melakukan Pembunuhan berencana itu.

Karena tidak ikut memutuskan dan menyepakati tentang pembunuhan yang sudah mulai di rencanakan sejak di Magelang, saat laporan dugaan Pelecehan seksual PC. ( Syarat perencanaan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai persiapan sejak dari Magelang sebelum dilaksanakan penembakan ).

Dalam hal ini, Bharada E baru mendapat perintah atau suruhan untuk menembak J, saat dirumah dinas di lantai dua (tempat eksekusi dilakukan), jadi unsur adanya tenggang waktu yang cukup antara niat dengan perbuatan penembakan oleh bharada E tidak terpenuhi.

2. Penembakan yang dilakukan oleh Bharada E, masuk kualifikasi pasal 338 KUHP, bahkan bukan tidak mungkin menjadi pelanggaran pasal 354 ayat 2, ( Penganiayaan berat yang disengaja mengakibatkan kematian ), jika pengacara dapat membuktikan bahwa akibat tembakan Bharada E tidak langsung mengakibatkan kematian J karena masih mengerang -erang.

3. Bharada E dapat dikualifisir melakukan penembakan untuk melaksanakan perintah dari atasannya ( Syarat pasal 51 KUHP.

1). Adanya Perintah yang diberikan oleh atasan langsung oleh pelaku, dalam hal ini adalah FS.

2). Perintah tidak dapat ditolak karena adanya suatu keadaan darurat atau hal yang tidak normal dengan mengancam akan membunuh bharada E dengan keluarganya, meskipun yang bersangkutan tahu menembak j adalah pelanggaran hukum ( ini pernyataan dari pengacaranya yang dulu sebelum diganti ), maka Pengacara harus dapat membuktikannya. Sehingga masuk sebagai alasan pembenaran atau hal untuk meringankan bagi majelis Hakim.

4. Fakta hukum adalah Bharada E sudah ditetapkan sebagai Justice Colaborator (JC) oleh LPSK, maka syarat untuk itu tentu sudah dipenuhi. Yang tampak dan menonjol adalah sejak Bharada E ditetapkan sebagai JC, sejak saat itu berubah skenario yang tadinya adalah tembak menembak antara bharada E dengan J.

Menunjukkan perannya sebagai JC untuk membuat terang benderang Pembunuhan berencana itu. Akan tetapi semuanya kembali pada keyakinan Hakim, yang mana teori dan fakta hukum yang dianutnya.

Baca Juga : Tipiter: Dalam KUHP dan ITE Tidak ada Penghinaan Harkat dan Martabat

(RN-Red)

Komentar

Tinggalkan Balasan