Jakarta – Cakranusantara.net | Perjanjian internasional memiliki pengertian sebuah kesepakatan yang dibuat oleh suatu negara dengan negara lain atau sejumlah negara yang disahkan secara tertulis dan ditandatangani oleh pihak yang terlibat.
Dengan adanya Perjanjian Internasional ini, biasanya akan menghasilkan suatu hukum yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak terkait yang telah menyetujui isi dari perjanjian tersebut.
Adapun pengertian perjanjian Internasional secara umum menurut tiga (3) ahli mengutarakan;
1. Oppenheimer – Lauterpacht mengartikan perjanjian Internasional itu merupakan suatu persetujuan antar negara yang mana diantara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian akan menimbulkan hak dan kewajiban.
2. B. Schwarzenberger mengemukakan bahwa perjanjian internasional merupakan persetujuan yang menimbulkan kewajiban-kewajiban dalam hukum internasional yang mengikat, dan terjadi antara subjek hukum internasional yaitu negara-negara atau lembaga-lembaga internasional.
3. Dr. Muchtar Kusumaatmadja, S.H, LLM menyatakan bahwa perjanjian Internasional merupakan perjanjian yang memiliki tujuan untuk menciptakan akibat-akibat tertentu yang dilakukan antar bangsa.
Sementara menurut Undang-undang dan konvensi
1. Konvensi Wina 1969
Perjanjian Internasional berdasarkan konferensi Wina tahun 1969 merupakan perjanjian yang bertujuan untuk mengadakan akibat hukum tertentu yang dilakukan oleh dua negara atau lebih.
2. Konvensi Wina 1986
Konvensi Wina tahun 1986 menjelaskan bahwa perjanjian Internasional merupakan persetujuan Internasional yang dalam hukum Internasional diatur dan ditandatangai secara tertulis oleh antar negara atau lebih, antar organisasi Internasional, atau antar satu atau lebih organisasi Internasional.
3. UU no 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri
Perjanjian yang memiliki sebutan atau bentuk apapun dan diatur dalam hukum Internasional dan secara tertulis dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain baik satu atau lebih, organisasi Internasional, atau subjek hukum Internasional lainnya, yang dapat menimbulkan kewajiban dan hak yang bersifat hukum publik terhadap pemerintah Republik Indonesia.
4. UU no 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional
Perjanjian Internasional ini merupakan perjanjian yang diatur dalam hukum Internasional baik dalam bentuk apapun dan nama apapun yang dibuat secara tertulis dan menimbulkan kewajiban dan hak di bidang hukum publik.
Latar Belakang
Perjanjian Internasional itu sendiri sebenarnya memili latar belakang, dan sudah ada sejak ribuan tahun lalu, yang dibuktikan dengan penemuan prasasti berisi perjanjian perbatasan wilayah yang dilakukan oleh penguasa Umma dan Lagash di Sumeria kuno pada kisaran tahun 2100 SM.
Menyusul kemudian perjanjian Kadesh yang disepakati oleh Raja Het Hattusilli III dan Raja Fir’aun Ramses II sebagai bentuk penyalesaian perang antara keduanya.
Perjanjian Internasional pada masa peradaban kuno masih mencakup tentang budaya dan wilayah geografis saja dan belum ada konsep organisasi dan hukum internasional seperti yang ada pada masa modern.
Seiring berjalannya waktu, hubungan antar negara terus mengalami perkembangan-perkembangan dan pada tahun 1625, Hugo Grotius, seorang pakar hukum Amerika menjelaskan tentang teori traktat yang diatur berdasarkan keadilan, namun pada masa itu perjanjian Internasional yang berlaku belum menerapkan aturan dasar yang harus dipatuhi semua negara.
Pembahasan tentang traktat semakin gencar dilakukan pasca perang dunia I, secara tertulis hingga ribuan perjanjian yang didaftarkan ke sekretariat Liga Bangsa-Bangsa. Lagi-lagi di masa itu perjanjian internasional belum sempurna karena masih terdapat penjelasan yang masih rumpang dan belum memberikan sumbangsih yang berarti kepada perkembangan hukum Internasional.
Kemudian, pada tahun 1969, diadakanlah konvensi Wina yang membahas rancangan perjanjian Internasional yang dilakukan oleh badan khusus yang dibentuk oleh PBB yaitu Komisi Hukum Internasional.
Setelah itu, penetapan hasil rumusan konvensi Wina 1969, perjanjian Internasional kemudian menemui titik terang dan akhirnya diberlakukan hingga sekarang.
Jenis Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional itu sendiri memiliki jenis yang sangat banyak, yang disesuaikan dengan beberapa hal, lebih jelasnya mari kita bahas perjanjian Internasional yang telah diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan isinya
Berdasarkan isinya, perjanjian Internasional ini juga dibagi lagi menjadi beberapa :
a. Perjanjian yang berisi tentang ekonomi.
b. Perjanjian yang berisi tentang politik.
c. Perjanjian yang berisi tentang kesehatan.
d. Perjanjian yang berisi tentang batas wilayah.
e. Perjanjian yang berisi tentang hukum.
Contoh perjanjian Internasional berdasarkan isinya adalah SEATO, ANZUS, NATO, IMF, IBRD, dan CGI.
2. Berdasarkan proses/ tahapan pembuatannya
Proses atau tahapan pembuatan perjanjian Internasional masih dibagi lagi menjadi dua jenis, bersifat penting dan bersifat sederhana.
Perjanjian yang bersifat penting akan melalui tahapan-tahapan yang lebih panjang dibanding perjanjian sederhana, melalui proses perundingan antar negara, proses penandatanganan, dan proses ratifikasi.
Sedangkan perjanjian yang bersifat sederhana hanya melalui dua tahapan yaitu perundingan dan penandatanganan.
Contoh jenis perjanjian Internasional berdasarkan tahapan pembuatannya adalah perjanjian masalah wabah AIDS yang mencakup penanggulangan dan karantina, serta perjanjian masalah batas negara, baik laut maupun teritorial lautan.
3. Berdasarkan subjeknya
Perjanjian Internasional juga diklasifikasikan berdasarkan subjek atau pihak yang melakukan perjanjian, di antaranya adalah:
a. Perjanjian yang dilakukan antara satu negara dengan negara lain baik satu maupun lebih, di mana negara tersebut merupakan subjek hukum internasional.
b. Perjanjian yang dilakukan oleh suatu negara dengan subjek hukum Internasional yang dapat berupa organisasi Internasional dan lain-lain.
c. Perjanjian yang dilakukan oleh satu subjek hukum Internasional dengan yang lainnya kecuali negara, dapat berupa antar organisasi Internasional.
Contoh perjanjian Internasional berdasarkan subjeknya adalah kerjasama antara MEE dengan ASEAN.
4. Berdasarkan pihak yang terlibat
Perjanjian Internasional berdasarkan pihak yang terlibat, dibagi menjadi dua yaitu bilateral dan multilateral dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Perjanjian bilateral yaitu perjanjian yang melibatkan dua pihak atau dua negara yang sifatnya khusus yaitu berisi hal yang hanya menyangkut kepentingan kedua belah pihak yang terlibat. Perjanjian bilateral merupakan perjanjian yang bersifat tertutup, karena selain pihak yang bersangkutan, pihak lain atau pihak ketiga tidak akan dibiarkan ikut campur didalamnya.
b. Perjanjian multilateral atau Law Making Treaties yaitu perjanjian yang melibatkan banyak pihak dan bersifat terbuka karena mengatur hal-hal yang tidak hanya menyangkut pihak yang terlibat saja, akan tapi kepentingan umum sehingga memungkinkan pihak lain untuk ikut serta di dalamnya.
Contoh perjanjian Internasional berdasarkan pihak yang terlibat adalah konvensi Wina 1961, konvensi hukum laut 1958, konvensi Jenewa 1949, dan perjanjian antara Indonesia dan Filipina yang berisi pemberantasan bajak laut.
5. Berdasarkan fungsinya
Berdasarkan fungsinya, jenis perjanjian Internasional dibagi menjadi dua yaitu perjanjian yang menimbulkan suatu hukum dan perjanjian khusus, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Perjanjian yang membentuk hukum ( Law making treaties ) yaitu perjanjian yang bersifat multilateral karena perjanjian tersebut membentuk sebuah hukum dan meletakkan kaidah serta ketentuan hukum untuk masyarakat Internasional.
b. Perjanjian khusus ( Treaty contract ) merupakan perjanjian yang bersifat khusus karena hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak terkait atau yang mengadakan perjanjian itu, treaty contract biasanya berupa perjanjian bilateral antar negara.
Contoh perjanjian berdasarkan fungsinya adalah perjanjian antara Indonesia dengan Republik Rakyat China tentang dwikewarganegaraan, dimana isi perjanjian tersebut hanya mengikat antara kedua pihak.
Fungsi dan Manfaat
Secara umum, fungsi perjanjian Internasional adalah untuk menjalin kerjasama yang menghasilkan hak dan kewajiban bagi negara-negara yang terlibat didalamnya untuk mencapai tujuan bersama.
Sedangkan dalam konteks perjanjian multilateral fungsinya adalah membuat ketentuan hukum yang berlaku bagi warga Internasional.
Fungsi dan manfaat perjanjian Internasional lainnya adalah untuk mempermudah komunikasi dan transaksi antara satu negara dengan negara lain serta menjadi sarana untuk menjalankan kerjasama Internasional secara damai dengan adanya sumber hukum Internasional.
Tahapan-tahapan
1. Perundingan, adopsi, otentikasi
Perundingan merupakan sebuah proses awal untuk melakukan sebuah perjanjian Internasional, dimana negara atau pihak yang terlibat akan mengirimkan utusan baik satu atau beberapa orang dengan surat kuasa penuh untuk mewakili dalam proses perundingan, adopsi naskah dan otentikasi.
Beberapa negara terkadang memberikan surat kuasa yang bersifat permanen kepada perwakilan untuk mewakili menyampaikan kehendak negara tersebut dalam setiap perundingan agar tidak selalu mengeluarkan surat kuasa setiap melakukan perjanjian.
Namun ada delegasi negara yang tidak membutuhkan surat kuasa dalam mewakili negaranya dalam perundingan yaitu menteri luar negeri, kepala pemerintahan, dan kepala negara.
Setelah selesai melakukan proses perundingan, adopsi naskah akan dilakukan oleh negara yang terlibat dalam perundingan kecuali jika pihak yang terlibat tersebut berkehendak lain sesuai yang diatur dalam konvensi Wina 1969 pasal 9. Pasal tersebut juga menyebutkan bahwa dibutuhkan dua per tiga persetujuan dari negara yang hadir untuk melakukan adopsi naskah dalam suatu konferensi Internasional, kecuali negara-negara yang terlibat memutuskan kehendak yang lain.
Prosedur selanjutnya yang juga diatur dalam konvensi Wina 1969 yaitu prosedur otentikasi dokumen dimana negara-negara yang terlibat dalam perjanjian dapat menentukan prosedur tersebut dengan cara masing-masing.
Selain itu, konvensi Wina 1969 juga mengakui prosedur otentikasi tradisional yang dilakukan dengan cara initialling yaitu dimana perwakilan setiap negara yang menjadi perunding utama menuliskan inisial namanya di bawah setiap halaman naskah perjanjian. Prosedur tradisional juga dapat melalui proses penandatanganan ad referendum yang mana perjanjian akan dianggap sah setelah melewati proses penandatangan yang telah dikonfirmasi.
2. Penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi
Dalam melakukan perjanjian, suatu negara atau subjek hukum Internasional harus menempuh beberapa cara sebagai itikad bahwa mereka bersedia terikat dalam perjanjian, beberapa cara yang dilakukan adalah penandatangan ( signature ), pengesahan (ratifikasi), penyetujuan (approval) atau penerimaan (acceptance), aksesi dan beberapa cara lainnya dengan persetujuan pihak yang terlibat. Biasanya, sebelum melakukan perjanjian Internasional, pihak-pihak yang terlibat akan menentukan prosedur yang akan dilakukan dalam proses perjanjian.
Pada konvensi Wina pasal 12 menyatakan bahwa penggunaan prosedur penandatanganan bisa saja dilakukan negara-negara yang terlibat menyetujuinya dan telah diatur dalam traktat.
Agar lebih jelas mari kita lihat kasus yang pernah terjadi antara Irak dan Kuwait dimana mereka melakukan perjanjian tentang perbatasan pada tahun 1963, namun pada tahun 1990, Irak menganggap bahwa perjanjian tersebut belum sah dan tidak berlaku karena mereka hanya sekadar menandatangani perjanjian tersebut. Namun, Dewan Keamanan PBB dengan tegas mengatakan bahwa perjanjian tersebut telah terdaftar di PBB dan tidak memerlukan prosedur ratifikasi setelah proses penandatanganan.
Selanjutnya, adalah prosedur pertukaran dokumen berupa nota diplomat yang dilakukan masing-masing pihak sesuai yang diatur oleh konvensi Wina 1969 pasal 13, traktat yang telah ditukar akan dianggap sah ketika pihak yang bersangkutan telah menyelesaikan prosedur konstitusionalnya dan memberitahukan kepada pihak ketiga. Prosedur tersebut hampir mirip dengan proses ratifikasi yang dalam konvensi Wina 1969 didefinisikan sebagai tindakan negara yang telah menyetujui untuk terikat dalam sebuah perjanjian atau traktat dalam taraf Internasional.
Selanjutnya, pasal 14 (2) dalam konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa prosedur penyetujuan dan penerimaan hampir mirip dengan ratifikasi dari segi syaratnya.
Sementara itu, untuk prosedur aksesi, beberapa perjanjian multilateral mungkin membutuhkannya, sebagai contoh adalah perjanjian yang telah melewati tenggang waktu sehingga tidak dapat ditandatangani. Namun prosedur tersebut hanya bisa dilakukan jika pihak yang terlibat dalam perjanjian menyetujuinya dan perjanjiannya memungkinkan untuk dilakukan aksesi.
3. Pengakhiran, penangguhan, dan penarikan
Pengakhiran perjanjian (termination) merupakan istilah yang digunakan apabila salah satu pihak dalam perjanjian bilateral memutuskan untuk mengakhiri keterlibatan dalam perjanjian, sedangkan penarikan (withdrawal) digunakan dalam perjanjian multilateral yang mana salah satu pihak tidak bersedia mengakhiri perjanjian.
Beberapa faktor yang menyebabkan suatu perjanjian berakhir, ditarik atau ditangguhkan adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang terlibat dalam perjanjian, salah satu pihak yang memutuskan perjanjian, tujuan perjanjian yang telah tercapai, dan lain sebagainya.
4. Suksesi perjanjian
Suksesi perjanjian merupakan kondisi dimana suatu negara atau pihak yang terlibat dalam perjanjian Internasional mengalami perubahan kedaulatan baik karena pembubaran negara maupun pergantian pemerintahan.
Dalam kasus tersebut negara yang baru terbentuk akan mewarisi dan terikat dalam perjanjian yang telah melalui proses ratifikasi oleh negara sebelumnya, namun dalam keadaan tertentu pewarisan perjanjian tersebut tidak harus diberlakukan kepada negara baru yang bersangkutan.
5. Ketidakabsahan
Akibat hal-hal tertentu, perjanjian Internasional juga dapat mengalami ketidakabsahan, sebagai contoh jika di dalam perjanjian tersebut terdapat kekeliruan atau salah satu pihak melakukan kecurangan atau memaksa pihak lain dalam pembentukan perjanjian.
Perjanjian yang dianggap tidak absah karena hal-hal tersebut secara otomatis batal, terutama jika isi di dalamnya melanggar norma atau hukum Internasional seperti yang disebutkan dalam konvensi Wina 1969 pasal 52 dan pasal 64.
6. penyimpanan, pendaftaran dan publikasi
Setelah semua proses perjanjian selesai dilakukan, hal terpenting selanjutnya adalah proses penyimpanan dokumen perjanjian yang mana terdapat perbedaan antara perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral.
Dalam perjanjian bilateral biasanya kedua pihak sama-sama menyimpan dokumen asli yang telah ditandatangani, kecuali jika mereka sepakat untuk hanya membuat satu dokumen yang disimpan oleh salah satu pihak atau meminta pihak ketiga untuk menyimpannya.
Sementara itu, dalam perjanjian multilateral, salah satu pihak atau negara akan ditunjuk untuk menyimpan dokumen perjanjian yang telah ditandatangani. Selain itu, pihak yang ditunjuk terkadang juga merupakan staf administrasi dari organisasi yang mengadakan perjanjian atau organisasi Internasional.
Dalam piagam PBB pasal 102 (1) dan konvensi Wina 1969 pasal 80 mewajibkan kepada negara anggota untuk mendaftarkan perjanjian yang telah dilakukan kepada sekretariat PBB untuk kemudian diterbitkan, hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir adanya perjanjian terselubung yang sering terjadi saat masa perang dulu.
Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional
Status perjanjian Internasional dalam hukum nasional Republik Indonesia masih menghadapi ketidakjelasan karena baik hukum, praktik, dan doktrin Indonesia mengenai hal tersebut masih belum mengalami perkembangan sehingga sering menimbulkan masalah praktis.
Hal tersebut terjadi karena sistem hukum Indonesia yang masih belum memiliki hukum dan doktrin yang terkait dengan perjanjian Internasional.
Contoh Perjanjian Internasional Indonesia dengan Amerika
Indonesia telah banyak menjalin kerjasama dan perjanjian Internasional dengan negara-negara lain di dunia dalam berbagai bidang, salah satunya adalah Amerika.
Berikut adalah perjanjian yang dibuat Indonesia dengan Amerika Serikat:
1. Bidang Perdagangan
a. Exchange of notes about agreement on 5 November 1960 (pertukaran nota mengenai persetujuan tanggal 5 November 1960)
b. Persetujuan komoditas pertanian antara Republik Indonesia dengan pemerintah Amerika dengan judul-1 pengembangan perdagangan pertanian dan undang-undang bantuan tahun 1954 sebagaimana yang telah diamandemen (5 November 1969)
2. Bidang Finansial
a. Perjanjian pinjaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Amerika Serikat dengan AID pinjaman No 497- N-01 4
b. Pertukaran nota antara Pemerintah Republik Indonesia (23 Maret 1961) dan Pemerintah Amerika Serikat (31 Maret 1961) mengenai personil yang bertugas di luar negeri.
3. Bidang Investasi
a. Pertukaran nota antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat tentang investasi di Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 7 Januari 1967
Demikianlah kurang lebih ulasan tentang perjanjian Internasional yang telah kami rangkum, semoga bermanfaat dan dapat menjadi sebuah referensi bagi teman-teman yang ada di Universitas. Khususnya, yang ingin mempelajari seluk beluk tentang perjanjian Internasional pada pelajaran Ilmu Hukum Internasional. Diterbitkan, Sabtu (22/10/2022).
(RN-Red)
Komentar