Jakarta – Cakranusantara.net | Alat Bukti yang sah dalam Persidangan, menurut pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Materi
1. Sistim Pembuktian dan Alat Bukti dalam KUHAP dan Dalam UU Tipikor.
2. Keterangan Saksi dan Lingkupnya.
3. Karakteristik Justice Colaborator dan Whistle Blower dalam Perkara Pidana.
1. Sistim Pembuktian Perkara Pidana.
Dalam pemeriksaan perkara pidana dikenal beberapa sistim pembuktian yang dianut oleh suatu negara, yang pada dasarnya terdiri dari,
a. System Positive Wetterlijk.
Suatu sistim yang mengutamakan alat bukti dalam memutuskan bersalah tidaknya si terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya oleh jaksa penuntut umum (JPU). Hakim hanya boleh memutus bersalah terdakwa apabila alat bukti yang diperiksa menunjukkan terdakwa bersalah tidak boleh mempertimbangkan apakah alat bukti tersebut suatu alat bukti yang direkayasa atau tidak, kecuali fakta hukum membuktikan sebaliknya.
b. System Negarive Wetterlijk.
Dalam sistim ini, pemeriksaan perkara pidana tidak hanya berdasarkan pada alat bukti yang sah tapi disertai dengan adanya keyakinan Hakim bahwa melalui alat bukti tersebut timbul keyakinan Hakim, terdakwa bersalah melanggar apa yang telah didakwakan oleh penuntut umum.
Dalam hal ini, keyakinan Hakim tersebut harus berdasarkan alat bukti yang sah yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan. Dengan demikian Hakim tidak boleh memutuskan bersalah tidaknya terdakwa hanya berdasarkan keyakinan hakim saja tetapi harus didasarkan pada alat bukti yang diajukan dalam persidangan.
Indonesia menganut sistim pembuktian Negativ wetterlijk yang di rumuskan dalam KUHAP. Adapun Alat bukti yang sah diatur dalam pasal 184 KUHAP, meliputi,
1). Keterangan Saksi
2). Keterangan Ahli.
3). Surat.
4). Petunjuk
5). Keterangan Terdakwa.
Menurut Pasal 183 KUHAP, untuk meyatakan terdakwa bersalah, harus didasarkan pada dua alat bukti minimum dan kedua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan Hakim bahwa terdakwa bersalah, sebaliknya jika berdasarkan dua alat bukti tersebut hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah misalnya penilaiannya kedua alat bukti tersebut sebagai hasil rekayasa maka Hakim akan memutus terdakwa tidak bersalah.
Keyakinan Hakim ini muncul dari alat bukti Petunjuk berupa adanya persesuaian anatara alat bukti yang diajukan. Adanya persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi lainnya, serta bersesuaian dengan alat bukti Keterangan ahli, surat didukung oleh Barang bukti.
Barang bukti bukan alat bukti tapi barang physik yang mendukung atau yang digunakan melakukan tindak pidana. Jika alat bukti Surat menyatakan seperti Visum et Revertum menyatakan bahwa kematian korban disebabkan adanya benda runcing yang dipaksakan masuk dalam dada sebelah kiri dari punggung korban, maka barang bukti yang diajukan harus jenis pisau, sangkur, tombak dan benda runcing lainnya, jika diajukan golok maka hakim akan menilai tidak ada persesuaian antara surat VER dengan barang bukti Golok yang diajukan
2. Lingkup Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah keterangan yang di sampaikan dalam persidangan dibawah sumpah.
a. Syarat Saksi.
1) Saksi sudah berusia dewasa dan disumpah. Jika tidak bersedia disumpah misalnya saksi masih dibawah usia, maka keterangannya tidak memiliki nilai pembuktian yang kuat, jika dibantah maka bantahan tersebut membuat keterangannya tidak dipertimbangkan oleh Hakim.
2) Saksi tidak memiliki hubungan darah atau hubungan kerja dengan terdakwa.
3) Saksi hanya menyampaikan keterangan atas tindak pidana yang langsung dilihatnya, atau langsung didengarnya atau yang dirasakan nya.
4) Keterangan saksi tidak boleh merupakan hasil penilaiannya sendiri atas suatu tindak pidana dan tidak boleh meyampaikan pendapat dari orang lain atau suatu testimoni.
b. Macam-macam jenis Saksi.
1) Saksi yang melihat, mendengar, merasakan suatu tindak pidana.
2) Saksi Unus testis Unnus testis. Satu saksi bukanlah suatu kesaksian. Harus lebih dari satu saksi
3) Saksi Mahkota iaitu Saksi yang paling berharga karena menentukan terang benderang suatu tindak pidana yang terjadi.
4) Justice Colaborator iaitu saksi yang di tunjuk dari salah satu turut serta pelaku tindak pidana tapi bukan pelaku utama yang bersedia menjelaskan secara lengkap dan utuh tentang tindak pidana yang terjadi.
5) Whistle blower iaitu Saksi yang ber itikad baik yang datang dari anggota masyarakat atau datang dari suatu lingkungan terjadinya tindak pidana, misal karyawan yang mengetahui terjadinya korupsi di kantornya yang dilakukan oleh atasannya. Keterangan yang disampaikannya didasarkan atas itikad baik.
3. Karakteristik Justice Colaborator dan Whistle blower.
1). Pengertian
Pada Selasa (18/10/2022), agenda Pengadilan Negeri (PN) Jakarta selatan (Jaksel) dalam pemeriksaan perkara Sambo, adalah sampai membacakan Surat dakwaan pada terdakwa Richard Eliezar yang sudah ditetapkan sebagai Justice Colaborator. Peranannya baru terlihat, terdengar dalam agenda persidangan hari itu dari Surat dakwaan yang dibacakan JPU. Dimana dakwaan yang memuat kronologis peristiwa menurut versi RE yang diperoleh dalam pemeriksaan BAP di Polres Jaksel.
Dalam kapasitasnya sebagai Justice Colaborator akan terlihat pada keterangan RE yang memberikan gambaran lebih jelas dan utuh baik terhadap motif, niat, rencana dan aktor intelektual dari Perkara Pembunuhan Berencana ini. Dan sanggahan atas keterangan RE ini akan dilakukan oleh Pengacara Sambo nanti dalam persidangan berikutnya pada agenda Pemeriksaan alat bukti berupa Keterangan Saksi.
Dalam Perkara pidana dikenal adanya saksi Justice Colaborator, dan Whitle Blower yang sifat keterangannya dapat mengungkap kebenaran materil tentang proses terjadinya pembunuhan berencana yang disebut sebagai Saksi Mahkota.
Perbedaannya, Justice Colaborator adalah Kerangan Saksi yang berasal dari salah satu pelaku tindak pidananya, tetapi bukan sebagai pelaku utama atau sebagai aktor intelektual dari Pembunuhan Berencana maupun dalam perkara lain seperti Tindak Pidana Korupsi. Sementara Whistle Blower adalah keterangan saksi yang disampaikan oleh seseorang yang mengetahui secara utuh terjadinya atau akan terjadinya tindak pidana yang terjadi atau yang akan terjadi.
Biasanya saksi yang ini berasal dari lingkup keterdekatan hubungan emosional, hubungan kerja saksi dengan pelaku utama/ aktor intelektual dari tindak pidana yang bersangkutan, disebut sebagai saksi yang beritikad baik. Persamaannya adalah baik Justice colaborator maupun Whistle blower bertujuan untuk mengungkap kebenaran suatu peristiwa pidana dengan sebenar-benarnya.
2) Sayarat Saksi Justice Colaborator
a) Justice Colaborator adalah orang yang berasal dari pelaku kejahatan atau turut serta, yang bersedia memberitahukan tentang proses, motif dan cara dilakukannya suatu tindak pidana, khususnya kejahatan sifatnya extra ordinary crime seperti Pembunuhan Berencana, Tindak pidana Korupsi, Narkotika, Terorisme. Saksi ini disebut sebagai Saksi mahkota, yang berasal dari salah satu pelaku turut serta yang diberi label mahkota dan diatur dalam pasal 116 KUHAP.
b) Keterangan yang disampaikan adalah keterangan yang sangat penting dan relevan untuk mengungkap terjadinya tindak pidana, serta dapat diyakini kebenarannya karena saksi ini turut serta sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan.
Konsep Restorative justice menyatakan, tidak semua orang harus diperlakukan sama karena ada hal-hal
yang membedakan orang tersebut dengan orang lain, sehingga atas perbedaannya itulah seseorang dapat saja tidak dipidana, asalkan bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang diakibatkannya.
Dalam hal ini, konsep restorative justice sangat tepat diterapkan untuk melindungi Justice Collaborator dengan argumentasi sebagai berikut.
c) Keberadaan saksi Justice colaborator bukanlah sebagai pelaku utama dari tindak pidana yang bersangkutan
d) Status Justice colaborator sebagai pelaku tindak pidana mengharuskan saksi tersebut di nyatakan bersalah dan dijatuhkan pidana yang hukumannya lebih ringan dibanding dengan pelaku turut serta lainnya, hingga pidana/ hukuman percobaan atau pidana bersyarat.
“Di beberapa negara sudah ada kesepakatan berapa lama hukuman yang dijatuhkan pada saksi ini jika bersedia sebagai saksi Justice colaborat saat saksi tersebut mengajukan dirinya sebagai Justice colaborator”
e) Pelaku tindak pidana yang bersedia sebagai saksi Justice Colaborator, mengajukan permohonan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) disertai dengan syarat tertentu dan memperoleh persetujuannya. Sejak persetujuan tersebut, LPSK berkewajiban untuk melakukan pendampingan dan pengamanan pada saksi tersebut.
3) Tujuan dan Dasar Hukum
a) Konsep Restorative Justice berlandaskan pada asas ketidak samaan sebgai keadilan. Kontribusi yang diberikan oleh Justice Collaborator dalam mengungkap suatu kasus tindak pidana yang sifatnya lebih rumit dan “pelik” pengungkapannya seperti Pembunuhan berencana yang tidak meninggalkan jejak untuk ditelusuri akibat TKP dan barang bukti sudah dihilangkan, termasuk tindak pidana lain seperti Korupsi dan Narkotika
b). Justice Colaborator merupakan bentuk dan wujud dari konsep Restorative Justice iaitu pengembalian keadilan pada korban atau keluarganya. (Selama ini dianggap wujud keadilan ada pada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) tanpa melibatkan si korban atau keluarganya).
Sekaligus untuk menimbulkan efek positif bagi masyarakat dimana pihak-pihak yang potensial menjadi Justice Collaborator tidak akan takut lagi untuk mengungkap kebenaran tindak pidana yang didalamnya ikut sebagai pelakunya dengan harapan akan memperoleh hukuman yang paling ringan atas kesediaannya mengungkap kasus.
Dasar Hukum
Pengaturan tentang Justice Collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan sesuatu hal yang baru, dan hanya berlaku pada tindak pidana yang pengungkapan kasusnya membutuhkan waktu yang lama karena rumit dan sukar disebabkan tidak ada informasi yang memadai utntuk mengungkap kasus tersebut.
Kitab Undang-Undang hukum acara pidana (KUHAP)secara eksplisit tidak mengatur tentang Justice Collaborator, justru pengaturan justice colaborator diawali setelah ditemukan keberadaannya dalam dokumen internasional iaitu,
1) United nations Convention Against Corruption/ UNCAC (Undang-Undang nomor 7 tahun 2006 tentang konvensi PBB anti korupsi).
Instrumen ini merupakan dasar hukum yang melatarbelakangi lahirnya ide tentang Justice Collaborator dalam peradilan pidana. Pengaturan berkaitan dengan Justice Collaborator dalam peradilan pidana yang diatur dalam pasal 37 Konvensi tersebut adalah;
Ayat (2) : setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.
Ayat (3) : setiap negara wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan dalam konvensi ini.
Adapun pengaturan berkaitan dengan Justice Collaborator diatur dalam Pasal 1 sebagai berikut, point (3) : Saksi pelaku yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum,dan memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
2) Dasar hukum lainnya dari Juctice Colaborator dan Whistle blower antara lain adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakukan bagi pelapor tindak pidana (Whistle Blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara Tipiter.
Justice Collaborator (JC) adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Selanjutnya JC tersebut, akan memperoleh penghargaan yang dapat berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah, perlakukan khusus, dan sebagainya.
3) Munculnya eksistensi Justice Colaborator, didasari oleh beberapa ketentuan meliputi: Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(1) Saksi korban dan Pelapor tidak dapat dituntut atas laporan dan kesaksiannya
(2) Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
4) Pasal 197 angka (1) huruf f KUHAP tentang surat putusan pemidanaan yang salah satu bagiannya membahas tentang ‘keadaan memberatkan dan meringankan terdakwa’. Dalam hal ini, keadaan meringankan meliputi memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum sebelumnya, berusia muda, baik/ sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan anggota keluarga.
5) Selain itu, keberadaan Justice Collaborator juga didukung dengan Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua LPSK tentang perlindungan bagi pelapor, Whistle Blower, dan Justice Collaborator.
Hampir sama dengan ketetapan dalam pasal 37 UNCAC 2003, yaitu pasal 26 United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime 2000 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009.
Kriteria untuk menjadi JC tercantum dalam SEMA No. 4 tahun 2011 pada Angka (9a) dan (b) dan keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM, yaitu digunakan dalam mengungkap tindak pidana yang luar biasa atau yang terorganisir, dan Justice Colaborator, bukanlah pelaku utama, dan keterangan yang diberikan pelaku harus signifikan, relevan, dan andal, serta pelaku mengakui tindakan yang dilakukannya disertai kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dengan pernyataan tertulis, mau bekerja sama dan kooperatif dengan penegak hukum.
2. Whistle blower adalah laporan yang disampaikan oleh seseorang atau lebih yang mengetahui akan terjadinya suatu tindak pidana korupsi atau sudah terjadi tindak pidana korupsi di instansi atau kantor tertentu, disertai dengan alat bukti yang mendukung laporannya itu.
Kapasitasnya sebagai pelapor ini biasa didukung oleh statusnya sebagai staf atau karyawan pada perusahaan tempatnya bekerja dimana korupsi tersebut sedang atau sudah terjadi. Dengan demikian ada bedanya dengan saksi pelapor yang biasanya adalah sebagai korban dari tindak pidana yang terjadi.
Karena whistle blower ini datang dari orang yang beritikad baik maka sudah sepatutnya negara memberikan perlindungan maksimal bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota keluarganya.
a. Persamaan dan Perbedaannya.
Istilah whistle blower dan justice collaborator kini kerap muncul dalam penanganan kasus korupsi di KPK. Istilah keduanya dikutip dari SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tipiter.
Dalam SEMA disebutkan, whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan Tipiter dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku Tipiter, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi didalam proses peradilan.
Tipiter yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, Tipiter telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.
b. Dalam SEMA dijelaskan bahwa keberadaan dua istilah ini bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu Tipiter tersebut. Salah satu acuan SEMA adalah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.
Sedangkan Ayat (3) pasal tersebut adalah, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.
Whistle blower maupun justice collaborator memiliki perlindungan berbeda satu sama lain. Hal ini, sesuai ketentuan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Demikian berita ini kami terbitkan, guna mengedukasi bagi masyarakat umum, agar bisa paham dengan hukum. Karena manusia yang pintar adalah mereka yang gemar membaca dan memahami seluk beluk perkara.
(RN-Red)
Komentar