oleh

Apapun Proyek Pemerintah, Dr Kurnia Zakaria : Sejak Awal Sudah Ada Niat Cari Cuan Untuk di Korupsi

Jakarta – Cakranusantara.net | Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu (12/4) KPK menangkap 25 orang yang diduga telah melakukan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Suap dan Gratifikasi dalam Proyek Pembangunan di Direktorat Jenderal Kereta Api Kementerian Perhubungan (DJKA Kemenhub) Tahun Anggaran (TA) 2018-2022 jalur kereta api wilayah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa-Sumatera, Rabu (24/5/2023).

Dalam Proyek Pembangunan ini apakah Menteri Perhubungan (Menhub), Budi Karya Sumadi mantan Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero) sejak 23 Oktober 2019 mengetahui, dan apakah Mantan Menhub Ignasius Jonan era 27 Oktober 2014 hingga 27 Juli 2016 mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) tahun 2009 hingga 2014 terlibat? perlu ada pemeriksaan lebih lanjut dari KPK, para saksi-saksi yang mengetahui melihat periode jabatan Menhub Budi Karya Sumadi dan Ignasius Jonan.

Terduga pemberi suap Dion Renato Sugiarto Direktur PT Istana Putra Agung, Muchammad Hikmat Direktur PT Dwifarita Fajarkharisma, Yoseph Ibrahim Direktur PT KA Manajemen Properti, Fahmi Arif Kurniawan owner Nazma Tata Laksana, dan UP PT KA MP Parjono. Dimana kelima tersangka dianggap melanggar pasal 5 dan/atau pasal 13 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebagai Penerima Suap, Harno Trimadi Direktur Prasarana Perkeretapian, Benard Hasibuan Penjabat Pembuat Komitmen Balai Teknis Perkeretaapian (PPK BTP) Jabagteng, Achmad Affandy PPK BPKA Sulsel, Fadliansyah PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian, Putu Sumarjaya Kepala BTP Jawa Bagian tengah dan Syntho Pirjani Hutabarat PPK Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Jabagbar yang diduga melanggar pasal 12 atau pasal 11 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Proyek yang diduga menjadi bancakan berjamaah, dari sejak awal perencanaan, sampai proses penunjukan kepanitiaan tender sampai pemenangnya, hingga pelaksanaan proyek berjalan dalam hal pembangunan (1) Jalur KA ganda Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso, (2) jalur kereta api di Makassar Sulawesi Selatan, (3) 4 proyek kontruksi jalur KA dan 2 proyek supervisi di Lampeyan Cianjur Jawa Barat dan (4) Proyek Perbaikan Perlintasan Sebidang Jawa-Sumatera. Dimana modus operasinya adalah memungut Upeti 5-10% dari nilai proyek, dimana para penerima suap menerima suap sebesar 14,5 miliar rupiah.

Putu Sumarjaya dan Benard menerima suap dari Dion pada 10/4/2023 sesar 800 juta rupiah, dalam proyek kereta api Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso. Kemudian pada (11/4) Dion beri suap Affandy sebesar 150 juta rupiah. Sytho terima suap 1,6 miliar rupiah dari Dion dan Fahmi dalam proyek di Makassar Sulsel. Harno dan Fadliasyah terima suap dari Yoseph sebesar 1,1 miliar rupiah dalam proyek Jawa-Sumatera. Barang bukti dalam OTT di empat lokasi ditemukan 2.07 miliar rupiah dan 20 ribu dollar AS dalam bentuk tunai, kartu debit bersaldo 346 juta rupiah, dan Saldo di rekening bank sebesar 150 juta untuk THR tahun 2023.

Hal itu disampaikan Dr Kurnia Zakaria. Lanjutnya, mengikuti pendapat teori Sutherland faktor penyebab terjadinya niat jahat pada kondisi patologi individual maupun sosial dapat dipengaruhi oleh pembelajaran proses tingkah laku kejahatan dipengaruhi lingkungan dan kesempatan. Kejahatan korupsi tidak mungkin dilakukan oleh orang terbelakang baik secara pendidikan maupun penghidupan tetapi dilakukan oleh kalangan pengusaha dan penjabat, pendidikan tinggi tidak bodoh dan pintar tidak terbelakang baik secara ental maupun imtelektual. Tidak mengalami kekurangan tetapi berkecukupan dan gaji sudah tinggi, sehingga disebut White Collar Crime.

Mereka diduga sudah melakukan berulang kali, karena hanya mendapatkan hukuman/ sanksi disiplin dan denda administratif. Peradilan secara kode etik pun tertutup dan disinyalir tidak transparan. Jadi kejahatan korupsi ini merupakan pelanggaran tindak pidana, tetapi juga merugikan masyarakat banyak dan keuangan negara, bukan hanya korban baik individu maupun kelompok tapi juga institusi.

Proyek Pemerintah yang berasal dari APBN, APBD ataupun bantuan luar negeri, baik yang bersifat Government maupun Foundation baik bersifat komersial/ pinjaman luar negeri maupun hibah. Memang hitungan kerugian yang dialami masyarakat secara perorangan sedikit, atau korban tidak merasakan dirinya korban. Tetapi bila kerugian dihitung secara kumulasi jumlah kerugian (yang dikorupsi) tentu lebih besar, minimal uang yang hilang 5-20% dari nilai proyek secara keseluruhan, tanpa perhitungan pajak dan restribusi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Walaupun dilakukan secara bersama-sama dan rahasia tetapi bukan Organized Crime. Tindak Pidana Korupsi (tipikor) dilakukan secara terorganisir tetapi tergantung situasi dan kesempatan dimana dipengaruhi lingkungan pekerjaan dan kebiasaan para pemangku kepentingan. Dilakukan secara berjamah (bersama-sama) dan rahasia. Semua harus dapat dengan besaran perolehan tiap orang bersifat relatif dan kasusitis situasi kondisi yang berbeda tetapi modus operandinya sama.

Tanggung jawab kementerian bila ada penyalahgunaan jabatan dan penyelewengan wewenang tetap harus dibawah komando Menteri walaupun jabatan Menteri dan Wamen bersifat politis. Tetapi Jabatan Irjen dan Dirjen adalah para penjabat Karir (ASN). Semakin tinggi jabatan semakin banyak godaan yakni Harta, Tahta dan Wanita.

Pola Tipikor dalam DJKA Kemenhub sudah dirancang sejak awal perencanaan proyek, setelah jadi usulan kemudian dirancang, siapa pelaku (institusi) dan siapa pelaksananya. Komandan teratas bisa tahu bisa tidak, atau bahkan pura-pura kaget.

Menteri bisa stop proyek atau mengambil alihnya, karena KPK, Kejaksaan, Kepolisian maupun Inspektorat pengawas punya divisi konsultasi pencegahan dan penindakan Tipikor sejak dini. Proyek yang dituju bersifat Multiyears/Jamak, sehingga pelaku Tipikor punya Argo jalan sejak awal hingga akhir. Jadi KPK harus periksa Menhub juga sebagai penanggung jawab koordinat Vertikal Kementerian. Baik yang menjabat maupun pada periode sebelumnya. Terlibat atau tidak, perlu libatkan PPATK, OJK serta DPR. Selain auditor negara, baik BPK maupun BPKP,” tutup Dr Kurnia Zakaria.

(Rmn)

Komentar

Tinggalkan Balasan