Jakarta – Cakranusantara.net | Satuan Pengamanan (Satpam) Tri Yuni Utami yang dulu diadili Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) karena dianggap desersi selama 2 tahun setelah menolak rekayasa kasus pemerkosaan di wilayah Polsek Biromau, Polres Donggala, Polda Sulawesi Tengah tahun 2014 yang lalu.
Hal itu diungkapkan Kurnia Zakaria., SH., MH., saat dia (Yuni) menjadi Unit Penyidik Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polsek Biromau dan terakhir berpangkat Brigadir Dua (Bripda).
“Kali ini, Yuni kembali melaporkan secara terbuka dalam videonya di media sosial (Medsos) yang menyatakan menjadi korban Penganiayaan Berat yang dilakukan WNA RRC warga Perumahan Resinda Blok A6 Nomor 20 Karawang, Jawa Barat hingga patah kaki. Karena menolak menyembah Matahari,” lanjut Kurnia.
Tri Yuni Utami mantan Polwan itu, meminta keadilan agar WNA tersebut segera ditangkap dan ditahan. Selanjutnya dilakukan proses hukum karena telah melakukan penganiayaan berat hingga mengakibatkan orang lain mengalami luka permanen (cacat).
“Karena patah kaki sesuai Pasal 354 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana maksimal delapan tahun penjara. Penganiayaan berat yang dilakukan pelaku telah mengakibatkan korban. Jatuh sakit dan tidak mampu melakukan pekerjaannya menjadi Satpam di perumahan Resinda Karawang,” tegasnya.
Ditambah, terganggunya pikiran secara Psikis, Traumatis yang dalam UU No.6 Tahun 2011 tentang Imigrasi, Pelaku tidak dapat dideportasi ke negeri asalnya karena tidak memenuhi pasal 13 UU No.6 Tahun 2011 dan bila ada bukti hasil visum et repertum dan saksi yang bersangkutan dianggap minimal 2 orang yang mengetahui melihat mendengar kejadian tersebut pelaku dapat ditangkap dan ditahan sesuai dengan aturan UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
“Kemungkinan Pengamat mengapa korban Yuni Utami secara terbuka bercerita di video yang viral di media sosial karena takut kasus laporannya tidak diproses oleh Polres Karawang karena dianggap mantan polisi yang mempunyai catatan buruk karena di PTDH kan oleh Polda Sulawesi Tengah.
Sudah bukan menjadi rahasia umum, kemungkinan korban takut apabila Golongan High Class dan punya relasi Kuasa dapat merekayasa kasus Perkara Pidana. Laporan penganiayaan menjadi laporan palsu dan pencemaran nama baik dan fitnah, maka dia perlu dukungan Opini Publik sebagai Keadilan Masyarakat dalam menuntut Keadilan dan Kepastian Hukum.
“Dalam tradisi kepercayaan menyembah Matahari ini biasanya dianut Penganut Agama Shinto yang dianut mayoritas Penduduk Negara Jepang dimana Tuhannya adalah Dewa Matahari Amaterasu. Tetapi bila ada etnis China yang menganut Dewa Matahari ini disebut penganut kepercayaan Dewa Pangu. Yang percaya Dewa Pangu matanya menjelma menjadi Matahari dan Bulan.
Dalam hal WNA memiliki rumah di Indonesia sesuai PP No.103 Tahun 2015 mengatur WNA boleh membeli dan memiliki rumah di Indonesia dengan mengajukan hak pakai yang berlaku selama 30 tahun dan diperpanjang pertama 20 tahun dan dapat diperpanjang kedua terakhir 30 tahun lagi.
“Totalnya hak pakai WNA hanya boleh 80 Tahun. Dengan syarat WNA mempunyai Kitas (Izin Bekerja dan tinggal menetap sementara) dan membeli property harus diatas lima milyar rupiah dan sudah tinggal di Indonesia minimal Satu tahun dan ijin menetap minimal Dua tahun,” terangnya.
Pengamat mendapatkan informasi harga Jual perumahan Resinda Karawang dari pihak Developer berkisar Ratusan juta hingga 3 milyar rupiah. Awalnya sebelum rumah itu direnovasi/ dipugar menjadi mewah dan perumahan ekspatriat etnis Asia Timur yang bekerja di Kawasan Industri Pabrikasi Karawang.
“Pelaku (WNA penghuni rumah Blok A6 No.20 Kompleks Resinda Karawang) tersebut sudah melanggar Pasal 28 huruf E dan pasal 29 UUD Negara RI Tahun 1945 jo Kovenan Hak Sipil dan Politik No.22 jo Kepmenag No. 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama dan Melanggar Pidana sesuai UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama dan Pasal 156a KUHP,” tandas Kurnia Zakaria selaku Pakar Hukum yang tergabung di Peradi.
(RN-RedCN)
Komentar