Jakarta – Cakranusantara.net | Kepala Divisi (Kadiv) Hubungan Masyarakat (Humas) Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Irjen Pol Dedi Prasetyo berharap agar media bisa meluruskan berbagai macam spekulasi terkait informasi yang berkembang dengan mengutip dari narasumber yang expert agar tidak memperkeruh suasana.
Hal itu di ungkapkan Kurnia Zakaria selaku pengamat hukum kasus terbunuhnya Brigadir J, pada intinya saya setuju sekali, akan tetapi mengapa media dan masyarakat mempercayai opini narasumber di luar keterangan para ahli yang dipakai polisi karena diragukan ke obyektifannya dan pengaruh kerja dilingkungan polri diragukan bisa bebas berpendapat.
“Sehingga media pun selalu mencari alternatif nara sumber lain secara akademis kompeten. Apalagi akademisi sekaligus paktisi akan lebih akurat tidak teoritis dan tidak selalu werstern theory mindsed, mindsetnya selalu diterima masyarakat awam dan kewajaran secara fakta hukum, bukan rekayasa dan pembenaran belaka,” imbuhnya.
Keterangan pers disampaikan pejabat kepolisian sering menimbulkan kontraversi antara pejabat A dengan Pejabat B, menimbulkan ketidakwajaran secara logika, akhirnya masyarakat cenderung ambil sikap antipati terhadap aparat hukum yang selalu mengutamakan kepastian hukum daripada keadilan masyarakat.
Masyarakat berharap, polisi lebih memilih melakukan restorative justice, yang artinya polisi harus melihat sosiologis massa daripada penegakan hukum belaka. Apalagi korban dibebankan pembuktian bukan hanya melaporkan kerugian yang dialami, akan tetapi disertai bukti yang dia punya dan juga saksi-saksi kadang-kadang ditanya ditambah membantu biaya operasional penyelidikan. Membuat laporan kehilangan kalau tidak ada uang tempel mana mungkin dibuat cepat. Polisi lebih banyak menunggu laporan, tetapi jangan juga laporan polisi ditindaklanjuti karena ada kepentingan dan relasi kuasa,” ujarnya.
Jadi mengapa masa lebih percaya rumor daripada keterangan pers polisi. Inilah tantangan Korps Bhayangkara yang sudah berusia 76 tahun dan sekarang lebih dipercayai dan tetap dibutuhkan di masyarakat.
Kasus kematian Brigadir J jadi taruhan nama baik Institusi Polisi bersifat Obyektif, Prediktif, Responsilibitas dan Transparansi Berkeadilan (PRESISI). Kuasa Hukum tentu saja sebagai bagian Aparat Penegak Hukum (APH) dalam UU Advokat No.18 tahun 2003.
“Boleh saja melakukan Upaya Hukum dan harus mempercayai alibi dan melakukan pembenaran klien karena itu funsi advokat sebagai pemberi bantuan hukum terlepas kasus pro bono atau komersial, terlepas dari faktor kepentingan satu suku, agama, paham politik yang sama,” lanjutnya.
Tentu saja bertanggung jawab atas fakta hukum yang diungkapkan itu berbeda dengan versi polisi, bila sama buat apa ada advokat, akan tetapi Advokat tidak akan menyuruh klien berbohong,” tutup Kurnia yang mengutarakan pendapatnya sebagai akademisi sejak tahun 2001 dimulai dosen STIH IBLAM dengan modal lulusan S2 UI sekaligus sebagai advokat sejak 1998 sebagai Ketua Posbakum PN Jakarta Selatan.
(RN-RedCN)
Komentar