oleh

Hukum Menjadi Mesin Pencetak Uang Oleh Oknum APH

Jakarta – Cakranusantara.net | Mengamati dari sebuah berita media online, seorang ASN Hakim Agung MA tertangkap OTT KPK dalam kasus suap dan gratifikasi dalam kasus penanganan kasus oleh Kuasa Hukum advokat Yosep Parera dan Eko Suparno di Semarang dan Jakarta.

“Akan tetapi apakah KPK hanya menangkap PNS Kepaniteraan bidang Perdata Dessy Yustria, Muhajir Habibie dan Edi Wibowo yang berkaitan dengan kasus Kasasi/ PK yang ditangani Hakim Agung ASN ataukah SD dan ETP hakim yudisial/panitera pengganti?, KPK meralat beritanya itu sendiri bahwa tidak menangkap Hakim Agung hanya menangkap aparat Kepaniteraan, KPK belum memberi penjelasan lebih lanjut kasus OTT KPK hari ini. Apakah KPK salah tangkapkah atau tebang pilih?,” ungkap Pengamat hukum Advokat Kurnia Zakaria.

Dalam pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi pada intinya melarang perbuatan mengambil/ mencari untung yaitu mengambil/ mencari keuntungan yang dilakukan dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana. Perbuatan mencari untung sebagai perbuatan memperoleh penambahan keuntungan secara materiil dan finansial diluar gaji/ honorariun maupun tunjangan dan fasilitas negara berikan.

“Pasal 3 ini dikaitkan dengan Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 adalah memberikan hadiah atau janji kepada pegawai, mengingat kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatan atau kedudukan orang itu termasuk delik korupsi. Pasal 3 ini juga bisa dikaitkan dengan pasal 5 UU No.31 Tahun 1999 tentang Delik Suap dan UU No.8 Tahun 1980. Kasus suap (bribery) dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga/ kuasa hukum yang membutuhkan jasa dari aparat penegak hukum (APH) atau sebaliknya Pemerasan (extortion) dimana prakarsa dari petugas bagian pembantu aparat penegak hukum kepada para pihak pencari keadilan atau pelayanan publik bidang hukum dalam KUHP tentang Pemerasan dalam Jabatan dan Pasal Suap dalam KUHP,” lanjut Kurnia.

Dalam hal ini KPK bila mengenakan delik suap dan pasal 3 UU No.31 tahun 1999 dalam kasus OTT kasus pengurusan perkara di MA harus dapat membuktikan :

Penyalahgunaan kewenangan yang ada karena jabatannya, artinya menyalahgunakan kekuasaan/ haknya yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan. Memanfaatkan kesempatan berarti menyalahgunakan waktu/ moment yang ada karena jabatan atau kedudukan.

“Menyalahgunakan sarana artinya menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Artinya yang bersangkitan memiliki kekuasaan atau peluang untuk melakukan sesuatu yang disebut Kesempatan,” ujarnya.

Sementara itu, seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan biasanya akan mendapatkan sarana tertentu untuk menjalankan kewajiban dan kewenangannya. Sarana itu merupakan segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan.

“Seseorang dengan jabatan atau kedudukan tertentu akan memiliki wewenang, kesempatan, dan sarana tertentu yang dapat ia gunakan untuk menjalankan tugas dan kewajiban, semuanya pasti diberi rambu-rambu tertentu berdasarkan prosedur, tata cara, atau petunjuk teknis tertentu. Apabila dilanggar dan tidak digunakan sebagaimana mestinya, maka terjadi penyalahgunaan wewenang, kesempatan, dan sarana yang dimiliki,” paparnya.

Wewenang mengandung hukum publik adalah wewenang menimbulkan keperdataan dan berakibat hukum. Kesalahan dalam menjalankan wewenangnya jika memenuhi unsur Obyektif karena tindakannya bertentangan dengan hukum dan mendapatkan ancaman hukuman (sanksi pidana). Kesalahanya juga harus berunsur Subyektif (tindakan yang tidak dikehendaki UU).

Korupsi dikalangan APH dikategorikan Criminaloids adalah mereka yang melakukan praktik-praktik kriminal dalam menjalankan tugas pada pekerjaannya. Tetapi kejahatannya dilakukan secara tersembunyi dan terstruktur. Bukanlah kehendak jahat dari pelaku melainkan moral mereka yang tidak sensitif.

“Criminaloids ini adalah orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan terhormat dimasyarakat. Mereka memakai standar ganda di mata masyarakat, selalu terlihat orang yang berbuat baik, akan tetapi dibalik jabatan dan instansi menggunakan cara yang tidak etis dalam menjalankan pekerjaan pada profesinya itu,” cetusnya.

Motifnya untuk mencukupi kebutuhan hidup yang berlebihan hedonisme, maupun pengumpulan harta kekayaan baik secara mewah ataupun mencukupi kehidupan dibalik layarnya seperti biaya anak sekolah di luar negeri, liburan rutin keluar negeri, koleksi barang antik atau seni, tidak cukup hanya punya satu istri, terjerat kehidupan malam, sosialita high class, ingin ekspansi kegiatan bisnis menjamin masa pensiun/ investasi bisnis.

“Jadi gaji tunjangan dan fasilitas yang didapat tidak cukup bagi pejabat tersebut. Pengamat melihat mobil dinas para pejabat eselon satu setingkat menteri atau Kepala Badan dan Ketua Komisi bukan lagi kelas kendaraan MPV atau SUV sekelas Toyota Camry, Toyota Fortuner atau Mitsubishi Pajero tetapi sudah Toyota Alphard/Vellfire atau Hyundai Palisade atau Mercedes Benz tipe AMG,” jelasnya.

Kebiasaan dalam memberi sesuatu dianggap sebagai kultur birokrat dan yudikator untuk memperlancar/ mempermudah suatu maksud dan tujuan dengan memberi kesenangan/ hadiah kepada pejabat agar tidak dipersulit/ dipercepat maksud tujuan seseorang terhadap pelayanan publik walaupun dalam bentuk sukarela maupun dianggap tradisi yang bisa saja menjadi keterpaksaan atau keharusan yang tadinya didasari atas kesukarelaan belaka tetapi sekarang atas permintaan yang harus dipenuhi bila tidak ingin kesulitan atau dikalahkan baik secara sembunyi-sembunyi maupun ada yang terang-terangan.

Dulu sifatnya melalui cash atau transfer rupiah tetapi sekarang memakai mata uang asing cash yang diberikan melalui perantara sehingga perantara itu yang bakal menjadi tumbalnya manakala ia kesandung kasus. Nilainya bukan lagi puluhan juta rupiah akan tetapi sudah mencapai hingga milyaran rupiah. Hukum menjadi Komersial dan menurut Harga Pasar,” tandas Kurnia Zakaria yang juga merupakan Dosen pada Universitas ternama di Jakarta.

(RN-Red)

Komentar

Tinggalkan Balasan