Jakarta – Cakranusantara.net | Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) dalam KUHP adalah Peraturan yang mengatur sejumlah tindak pidana yang terberat dan paling ringan yang paling sering terjadi dalam masyarakat sehingga menjadi pasal aktual yang terjadi dalam masyarakat.
Meskipun pasal-pasal yang mengatur tindak pidana tersebut sudah di rumuskan sejak berlakunya Code Penal di Belanda tahun 1870 dan berlaku di Indonesia/ Hindia Belanda tahun 1918.
Pengertian Aktual dalam pasal tindak pidana tertentu ini adalah berlakunya pasal yang mengatur tindak pidana tersebut masih tetap dapat dilaksanakan dan diterima oleh masyarakat karena penerapannya masih dianggap adil dan untuk mewujudkan Kepastian hukum.
Kalaupun terdapat pasal-pasal yang dianggap tidak adil karena perbuatan yang dirumuskan tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat sekarang ini, maka rumusan tersebut yang di rubah, disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang ini.
Contoh : Rumusan pasal 362 KUHP adalah Barang siapa mengambil barang sebahagian/ atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Dalam rumusan diatas tidak menyebutkan berapa harga atau nilai barang yang dicuri milik si korban, sehingga pelaku yang mengambil barang orang lain seharga 15 ribu rupiah saja sudah dapat dijatuhi pidana penjara lima tahun.
Pemidanaan tersebut dianggap tidak adil bagi pelakunya. Sementara pasal 364 KUHP yang melarang penjatuhan pidana bagi pelaku pencurian adalah jika barang yang dicuri tersebut bernilai kurang dari 250 Dua ribu rupiah disebut sebagai tindak Pencurian ringan.
Dengan demikian jika barang yang dicuri diatas dari 250 ribu rupiah maka pelaku sudah diancam dengan pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana selama 5 tahun maksimalnya.
Akibatnya timbul protes dari masyarakat yang tidak terima hanya karena mengambil satu buah semangka, satu tandan kakao, kayu bakar untuk dipakai memasak, harus diproses, ditahan dan diadili dalam persidangan.
Terhadap protes masyarakat tersebut, Mahkamah Agung mengapresiasinya dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dalam KUHP, yang semula dibawa 250 dirubah menjadi 2,5 juta ribu rupiah, sehingga seseorang yang mengambil barang milik orang lain yang nilai barang tersebut dibawah 2,5 juta rupiah, maka pelakunya tidak dapat diproses dalam persidangan tapi penyelesaiannya dilakukan dengan cara mediasi oleh kedua pihak (korban dan pelaku) atau oleh kepolisian setempat.
Penetapan angka 2,5 juta rupiah ini didasarkan atas perkiraan harga emas di tahun 1969, yang apabila dibandingkan sekarang ini terdapat kenaikan sebesar 10 ribu kali, sehingga harga 250 sama dengan 2,5 juta rupiah.
Jenis Tipiter yang masih aktual tersebut adalah Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Tubuh dan nyawa, Kejahatan atau Tindak Pidana Terhadap Harta Kekayaan, Kejahatan atau Tindak pidana Terhadap Kesusilaan, Kejahatan atau Tindak Pidana Terhadap Kesopanan/ Kehormatan dan Kejahatan terhadap Ketertiban Umum.
Unsur–unsur Tindak pidana sebagai berikut.
1. Harus ada perbutan yang dilarang. Artinya jika perbuatan baru sebatas niat/ mens rea, maka hal itu belum berupa suatu tindak pidana. Harus ada Actus Rea atau Tindakan/ perbuatan yang nyata.
Seseorang yang memaki-maki musuhnya tapi baru dalam hatinya maka perbuatan itu bukan sebagi tindak pidana, karena baru dalam hatinya saja, belum diwujudkan dalam suatu tindakan atau perbuatan. Walupun perbuatan memaki-maki orang lain adalah dilarang dalam agama dan itu menjadi dosa, tapi dalam hukum pidana bukan sebagai tindak pidana.
2. Perbuatan yang dilarang tersebut harus dirumuskan dalam suatu Undang-undang. Jika larangan itu hanya diatur dalam suatu peraturan seperti Perda maka pelaku tidak dapat dipidana penjara, hanya dapat dikenakan denda.
Sebab yang boleh mencantumkan sanksi pidana berupa pidana penjara hanyalah Undang-undang. Bahkan paham Legisme berpendapat, tidak ada hukum diluar Undang-undang. Hukum hanya Undang-Undang.
Karena itu peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, peraturan tersebut otomatis batal demi hukum, karena peraturan yang dibawahnya bukanlah hukum, tetapi sebagai pedoman pelaksanaan dari suatu Undang-undang.
Karena itu peraturan yang lebih rendah seperti peraturan daerah, peraturan Menteri dan seterusnya tidak boleh memuat sanksi pidana penjara. Yang boleh adalah memuat sanksi denda dalam jumlah yang wajar besarnya, jika denda tidak dibayar maka pelaku dapat menggantinya dengan Kurungan.
Kurungan ini tidak sama dengan Penjara. Nanti kita jelaskan. Disebut dengan denda wajar misalnya: karena Restoran buka melewati batas waktu yang ditentukan dalam aturan PPKM, pemiliknya dikenakan denda 10 juta rupiah atau Kurungan 2 minggu/ 14 hari kerja.
Sanksi yang demikian tidak benar dan tak wajar, karena pelaku akan cenderung memilih penggantinya yaitu kurungan 14 hari, dari pada membayar 10 juta rupiah, padahal sanksi utamanya adalah denda bukan kurungan karena itu cukuplah dendanya 500 ribu rupiah.
Misalnya : agar suatu perbuatan disebut sebagai Tindak pidana maka harus dilarang perbuatan yang dilakukan tersebut dalam suatu Undang-undang, untuk mencapai prinsip atau asas Legalitas dalam hukum pidana yaitu asas Nullum delictum noella poena sine previa legi poenali yang artinya sesorang hanya dapat dipidana apabila perbuatan yang dilarang tersebut diatur/ dirumuskan dalam undang-undang pidana.
Undang-undang pidana tersebut sudah ada sebelum perbuatan dilakukan. Jadi terlebih dahulu ada Undang-undang yang memuat larangan tersebut barulah disusul dengan perbuatan yang melanggar larangan tersebut, (pasal 1 ayat (1) KUHP.
Dengan demikian suatu undang-undang tidak boleh berlaku surut, kecuali jika terjadi perobahan atas suatu Undang-undang dan perubahan undang-undang tersebut, lebih menguntungkan Tersangka/ Terdakwa, maka Undang-undang tersebut, yang diberlakukan meskipun berlakunya berlaku surut. Contoh : A mencuri bulan September 2022, barang yang dicuri nilainya 250 ribu rupiah, oleh Pasal 362 KUHP perbuatan A tersebut diancam dengan pidana penjara 5 tahun.
Untuk itu A ditangkap dan diproses, sebelum diputus oleh Pengadilan, terjadi perubahan pada bulan januari 2022, atas ketentuan pasal 362 KUHP yang membebaskan pelaku pencurian dibawah 2,5 juta rupiah dari sanksi pidana penjara asalkan si pelaku mengembalikan barang curiannya. Maka perubahan aturan bulan januari 2022 diberlakukan pada A yang mencuri di bulan September 2021. Ini yang disebut boleh berlaku surut UU pidana sepanjang UU tersebut lebih menguntungkan sipelaku/ tersangka.
3. Perbuatan bersifat melawan hukum. Yaitu melawan hukum formil, Wederrechttelijk yang artinya perbuatan yang dilakukan haruslah perbuatan yang bersifat melawan hukum, yaitu perbuatan tersebut dilarang dengan tegas dalam suatu undang-undang. Jika suatu perbuatan bertentangan dengan norma masyarakat seperti agama, kesusilaan, kepatutan tetapi tidak diatur dan dilarang dalam undang-undang, maka perbuatan bukan tindak pidana dan pelaku tidak dapat dipidana seperti santet atau kumpul hidup serumah tanpa pernikahan atau kumpul kebo, atau hutang yang tidak dibayar/ bukan krn penipuan atau penggelapan tapi karena perdata. Hal ini juga untuk lebih menguatkan asas legalitas dalam hak pidana.Sebaliknya perbuatan melawan hukum materil adalah perbuatan yang melanggar hukum meskipun perbuatan tersebut tidak melanggar suatu undang-undang tetapi jika perbuatan melanggar kepatutan, kesusilaan dalam masyarakyat, maka perbuatan itu adalah melanggar hukum. Hal ini dianut dalam UU Tipikor sebagai Tindak Pidana Khusus. Selainnya hampir semua tapi khusus menganut perbuatan melawan hak Formil.
4. Perbuatan dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan adalah sikap batin yang melandasi perbuatan tersebut apakah pelaku mengetahui perbuatannya melanggar hukum dan menghendaki akibat yang timbul dari perbuatan (Teori Pengetahuan dan Teori Kehendak).
Hal itu harus dibuktikan bahwa pelaku sudah mengetahui bahwa perbuatannya melanggar suatu Undang-undang maupun akibat yang timbul dari perbuatannya, jika pengetahuan tersebut dilanjutkan dalam suatu perbuatan maka pelaku dianggap sudah menghendaki akibat yang timbul. Jadi tidak ada lagi alasan atau pembelaan dengan menyatakan, maaf pak Polisi, saya tidak berniat membunuh si korban, maksud saya hanya melukal saja, tapi Rekonstruksi di tempat kejadian perkara (TKP) menunjukkan pelaku membawa sebuah celurit atau golok dan mengejar sikorban kemudian menyabetkan celurit tersebut kearah leher atau kepala si korban dan mengakibatkan kematiannya.
Dalam hal ini, pelaku sudah mengetahui membawa golok dan menyabetkannya kearah kepala korban adalah pelanggaran hukum dan mengetahui akibat berupa kematian jika diarahkan celurit tersebut kearah kepala korban, semua orang sudah mengetahui jika benda tajam diarahkan ke Kepala seseorang akan berakibat kematian.
Dengan demikian pelaku sudah mengetahui perbuatannya dan menghendaki akibatnya yang disebut Sengaja sebagai maksud diancam dengan pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana penjara 15 tahun.
Lain halnya, jika celurit itu diarahkan oleh pelaku kearah kaki korban, maka dapat dipastikan tidak akan berakibat kematian, jika si korban tetap meninggal maka pasal yang didakwakan tidak boleh pasal 338 KUHP tetapi didakwa melanggar pasal 354 ayat 2 KUHP yaitu melakukan Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman pidana 12 tahun penjara.
Dalam rinciannya, kesalahan diatas disebut Dolus yaitu sengaja sebagai tujuan, sengaja sebagai maksud dan sengaja sebagai kemungkinan. Semua jenis-jenis sengaja tersebut masuk dalam kualifikasi bersengaja. Jika sebaliknya pelaku tidak mengetahui dan tidak menghendaki akibat yang timbul dari perbuatannya, tetapi akibat tersebut tetap terjadi, meskipun pelaku sudah berusaha mencegahnya, maka jenis kesalahannya disebut sebagai Culpa atau kelalaian atau kurang berhati-hati.
Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaiannya diancam dengan pidana yang lebih ringan seperti pidana percobaan, atau pidana penjara satu tahun, seperti Kecelakaan lalu lintas.
5. Pelakunya dapat dipertanggung jawabkan.
Artinya yang dapat dipidana dengan pidana penjara adalah mereka yang bisa bertanggung jawab.
Orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan adalah jika orang tersebut saat melakukan tindak pidana berada dalam posisi seperti orang yang sedang sakit ingatan pasal 44 KUHP, orang dibawah umur pasal 45 KUHP, orang yang bertindak kerena terpaksa/ overnacht pasal 48 KUHP, orang yang membela diri/ Nodweer pasal 49 KUHP, orang yang menjalankan perintah Undang-undang pasal 50 KUHP dan orang yang menjalankan perintah atasan pasal 51 KUHP tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya pasal 44 dan 45 disebut sebagai alasan pemaaf, pasal 48 dan 49 disebut sebagai alasan pembenar dan pasal 50, 51 disebut sebagai alasan penghapus pidana.
Dari unsur-unsur tindak pidana diatas terdapat dua golongan yaitu golongan monoistis, berpendapat : kelima unsur tersebut harus terdapat pada suatu tindak pidana, jika salah satu unsur tidak ada atau tidak dipenuhi maka perbuatan bukanlah tindak pidana. (Jika terdapat kasus dalam praktek dimana pelaku sebagai korban pemalakan sepeda motor di fly over summa recon bekasi, melakukan perlawanan dan mengakibatkan si pembegal meninggal dunia, oleh polres setempat tidak memproses si pelaku yang sebelumnya adalah sebagai korban, tetapi melepaskannya dengan alasan pembelaan darurat pasal 49 KUHP, maka polres termasuk penganut Monoistis yaitu semua kelima unsur tersebut harus terpenuhi dalam suatu tindak pidana, jika satu unsur saja tidak terpenuhi maka pebuatan bukan sebagai Tindak pidana.
Golongan kedua adalah Kelompok Dualistis, yaitu memisahkan antara unsur perbuatan yaitu unsur nomor 1-3 dengan unsur sikap batin/ kesalahan yaitu unsur no 4 dan 5.
Konsekwensi pendapat ini adalah Pada kasus pembegalan diatas, perbuatan si korban yang menjadi pelaku pembunuhan si pembegal, sudah memenuhi unsur tindak pidana, sehingga terhadapnya harus dilakukan proses penyidikan dan penuntutan di pengadilan.
Soal unsur no 4 dan 5 tentang kesalahan harus dibuktikan di pengadilan apakah pelaku bersalah atau tidak dapat bertanggung jawabkan, sehingga jika pelaku tidak terbukti bersalah di pengadilan atau tidak dapat bertanggung jawab, maka putusan pidana terhadap pelaku adalah putusan Onslag/ Bebas tidak murni, yaitu perbuatan pelaku bukan sebagai tindak pidana dan pelaku dilepaskan dari tuntutan hukum.
Konsekwensinya Jaksa dapat mengajukan Banding. Sebaliknya jika putusan pidana adalah putusan Vrijsprak atau putusan bebas murni yaitu putusan membebaskan pelaku/ terdakwa dari tuntutan hukum maka konsekwensinya jaksa tidak bisa mengajukan banding, langsung mengajukan kasasi.
Contoh membedah Pasal KUHP yang disangkakan.
Dengan mengetahui unsur-unsur tindak pidana ini, maka mahasiswa tinggal meneruskannya dengan membedah unsur-unsur tindak pidana dari pasal yang didakwakan dalam KUHP atau di luar KUHP. Misalnya, Pasal 362 KUHP. tentang Pencurian.
Unsur objektif.
1. Barang Siapa.
Adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang yang sehat akalnya dan dan sudah dewasa.
2. Mengambil.
Artinya Memindahkan suatu barang dari suatu tempat ke tempat lain, selama barang belum berpindah berarti belum ada pencurian karena tidak memenuhi unsur mengambil. Jika seseorang masih memegang atau mengelus atau meraba barang yang hendak dicuri maka itu belum disebut sebagai Pencurian, paling maksimal sebagai percobaan Pencurian yang ancaman pidananya lebih ringan yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimumnya.
3. Barang.
Yaitu Barang yang diambil dan bernilai bagi pemiliknya, baik barang bergerak ataupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud.
Unsur Subjektif
4. Sebahagian atau seluruhnya milik orang lain.
Artinya, Barang yang diambil tersebut adalah milik orang lain atau barang tersebut sebagian adalah milik orang lain. Misalnya, Suami mengambil dan menjual sepeda motor isterinya, maka si suami disebut mengambil milik orang lain, meskipun si Suami yang membelinya, karena dalam harta perkawinan terdapat harta bersama. Jika si Isteri mengadukannya (delik aduan), si Suami dikenakan pasal Pencurian.
5. Dengan maksud memiliki.
Artinya Barang yang diambil tersebut dikuasai sendiri atau dijual atau di gadaikan atau dihibahkan ke orang lain, sebab orang yang sah menjual atau menggadaikan adalah si pemiliknya, maka si pencuri memperlakukan dirinya sebagai pemilik padahal pencuri. Seperti Suami memberikan sepeda motor diatas ke pacar atau selingkuhannya, beda halnya jika motor tersebut dijual suami tanpa pengetahuan isteri adalah digunakan untuk membiayai pengobatan anaknya yang lagi sakit maka unsur dengan maksud memiliki, tidak terpenuhi artinya perbuatan bukan tindak pidana, karena hasil penjualan motor digunakan untuk biaya obat anaknya yang sakit.
Contoh lainnya.
Pasal 285 KUHP dikenal dengan pasal Pemerkosaan. Yaitu, Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan persetubuhan dengan seorang wanita yang bukan isterinya diancam dengan pidana penjara maksimum 12 tahun.
Unsur-unsur pasal yang harus dibuktikan dari pasal 285 KUHP tersebut adalah :
1) Barang siapa
Hal ini menunjuk pada subjek hukum pidana iaitu orang yang sdh dewasa dan sehat akalnya. Dalam kasus pemerkosaan ini sipelaku atau pemerkosa, dibuktikan bahwa dia sudah dewasa dan sehat akalnya.
2. Dengan kekerasan,
Unsur kedua ini dibuktikan bahwa persetubuhan dilakukan dengan paksaan karena kekerasan atau ancaman kekerasan bukan karena suka sama suka.
Dalam hal ini, dibuktikan adanya suatu gerakan tangan atau kaki ketubuh si korban seperti memukul, menendang, mengikat, menyumpal mulut, dan sebagainya, atau digunakan dengan alat tertentu seperti senjata tajam atau senjata api, yang pada intinya membuat si korban tidak berdaya atau tidak mampu melawan.
3) Melakukan Persetubuhan.
Dalam hal ini, buktikan bahwa sudah terjadi persetubuhan. Persetubuhan adalah memasukkan alat kelamin pria kedalam vagina perempuan, dan dilakukan berulang kali atau pinggulnya turun naik, membuktikannya selain ada saksi yang melihat persetubuhan tersebut, juga adanya hasil visum yang menyatakan adanya benda tumpul yang masuk dalam vagina, dan barang bukti lainnya seperti pakaian korban di TKP, sperma diatas sprei dan sebagainya.
4) Persetubuhan harus terhadap perempuan. Jika orangnya adalah transgender maka tidak masuk sebagai persetubuhan dan buktikan bahwa perempuan tersebut bukan isterinya. Jika isterinya yang di perkosa maka si pelaku tidak dapat dikenakan pasal 285 KUHP tapi melanggar UU No.23 tahun 2004 tentang kekerasan seksual dalam rumah tangga.
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu :
1) Menurut kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan
antara lain Kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang
dimuat dalam Buku III.
Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak.
Pelanggaran adalah perbuatan-
perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai suatu tindak
pidana, karena undang – undang merumuskannya sebagai delik.
2) Tindak pidana formil dan tindak pidana materil.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Tindak pidana materil inti larangannya adalah menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan
akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.
3) Delik Dolus dan Delik Culpa.
Delik Dolus memerlukan adanya kesengajaan. Misalnya
Pasal 354 KUHP: “dengan sengaja melukai berat orang lain”
sedangkan Delik Culpa orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP dapat di pidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya.
4) Delik Commissionis, delik ommisionis dan delik commissionis per omissionis commissa.
Delik commisionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378).
Delik ommisionis adalah delik yang terdiri dari tidak melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat, misalnya dalam Pasal 164: mengetahui suatu permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk
mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang
berwajib atau orang yang terkena.
Delik commissionis peromissionem commissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu akan tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan jalan tidak memberi makan pada anak.
5) Delik tunggal dan delik berganda.
Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan sekali perbuatan sedangkan delik berganda adalah delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan berulang kali perbuatan.
6) Delik menerus dan delik tidak menerus.
Dalam delik menerus adalah tindak pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan / perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus. Dengan demikian tindak pidananya berlangsung
terus menerus sedangkan delik tidak menerus adalah tindak pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan / perbuatan yang terlarang itu tidak berlangsung terus. Jenis tindak pidana ini akan selesai setelah dengan
telah dilakukannya perbuatan yang dilarang atau telah timbulnya akibat.
7) Delik laporan dan delik aduan.
Delik laporan adalah tindak pidana yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya sedangkan delik aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan /
korban. Dengan demikian, apabila tidak ada pengaduan, terhadap tindak pidana tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan.
8) Delik biasa dan delik yang dikualifikasikan.
Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat memberatkan sedangkan delik yang dikualifikasikan adalah tindak pidana dalam bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberatan, sehingga ancaman
pidananya menjadi lebih berat.
3. Akibat Dari Tindak Pidana/Hukuman.
Suatu tindak pidana dapat menimbulkan kerugian maupun penderitaan bagi orang lain yakni korban tindak pidana. Kerugian maupun penderitaan tersebut berupa kerugian materill, penderitaan fisik dan penderitaan psikis. Kerugian materill adalah kerugian yang menyangkut masalah perekonomian yang diderita oleh korban tindak pidana.
Penderitaan fisik adalah penderitaan yang terletak pada fisik korban tindak
pidana. Penderitaan psikis adalah penderitaan yang menyangkut mental
korban tindak pidana. Suatu tindak pidana juga dapat mengakibatkan pelaku tindak pidana diancam pidana.
Ancaman pidana adalah hukuman atau sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dalam Pasal 10, meliputi Hukuman Pokok dan Hukuman Tambahan.
(RN-RedCN)
Komentar