Jakarta – Cakranusantara.net | Pemerintah mulai was-was dengan angka subsidi yang sudah digelontorkan untuk kebutuhan masyarakat. Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan jika anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) saja yang seharusnya Rp. 170 triliun, membengkak hingga Rp. 502 triliun.
Menanggapi hal ini, Praktisi hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Bung Karno (UBK) Kurnia Zakaria menilai seharusnya anggaran subsidi BBM itu tidak membengkak karena ada back up-pan dana BBM subsidi seperti bio diesel solar, Pertalite dan Gas melon 5kg.
“Tapi malah BBM tidak bersubsidi belum setahun akan naik lagi sedangkan harga pangan belum turun,” kata Kurnia saat dihubungi Media, Minggu (21/8).
Padahal, sekarang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hampir semua posisi strategis, Dewan Direksi BUMN dipegang orang profesional dari kalangan swasta yang rata-rata orang keturunan “bermata sipit” tetapi masih saja disubsidi dengan dana APBN lebih besar daripada pemasukan bayar pajak perusahaan besar untuk penerimaan APBN.
“Belum lagi pembangunan infrastruktur yang membengkak biayanya dan penggunaan fungsinya diluar ekspektasi, contoh bandara Kalijati dan kereta MRT dan LRT tidak laku,” jelasnya.
Kemudian, tarif tol terlalu mahal dan tiap 2 tahun naik, pembangunan IKN yang masih taraf perencanaan. “Inilah yang saya khawatirkan pembangunan infrastruktur era Jokowi bernasib sama dengan era rezim terdahulu dan dibangun dengan tergesa-gesa,” lanjutnya.
Selain itu, tidak belajar dengan terbengkalai pembangunan wisma atlet Garuda di Jonggol era Soeharto, wisma atlet Hambalang era SBY, tidak lakunya kawasan pariwisata Tanjung Lesung era Jokowi periode pertama.dan hancur saat Tsunami meletusnya Gunung Anak Krakatau.
“Kemudian dijualnya Indosat, Telkomsel, Semen Cibinong, yang belum dibeli lagi dan penghapusan utang BLBI era Megawati dan gagalnya proyek pemindahan ibukota negara ke Maja Lebak, maupun saat era Orde Baru ke Jonggol Bogor, atau era Orde Lama ke Pontianak Kalimantan,” bebernya.
Jadi untuk hal ini, tegas Kurnia, diperlukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan audit investigasi, . Apakah ada indikasi tindak pidana korupsi (Tipikor) dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Juga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan menyatakan ada proses Monopoli migor dan Kartel migor. Ditjen Pajak harus tegas beri sanksi hukum sita perusahaan besar sawit penipuan kewajiban bayar pajak. Kemenhut KLH harus tegas beri sanksi hukum denda reboisasi hutan,” jelasnya.
Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung), kata dia, bahu-membahu proses hukum Tipikor, perusakan hutan oleh perusahaan nakal perkebunan sawit dan penggelapan dana reboisasi hutan sawit, penyelundupan BBM solar dan TPPU.
“Para pemilik perkebunan kelapa sawit besar umumnya dimiliki kaum oligarki 9 naga pengendali kebijakan pemerintahan dan menguasai legislatif Pembuat regulasi UU,” pungkasnya.
Dilansir dari ; Monitorindonesia
(RN-RedCN)
Komentar